Connect with us

Opini

Trilogi Perang Dagang: Ketika Ekonomi Global Jadi Medan Tempur

Published

on

Kabar dari Bloomberg, sebagaimana dikutip RT pada Juni 2025, membuka jendela ketegangan yang mengusik hati nurani global: Uni Eropa (UE) tengah mempertimbangkan pembatasan kontrak pengadaan publik bagi produsen perangkat medis asal Tiongkok. Ini bukan hanya sekadar gesekan dagang—ini menyentuh sesuatu yang lebih dalam. Ventilator, masker, jarum suntik—alat-alat vital yang dulunya simbol penyelamatan kini berubah menjadi pion dalam konflik global. Apa jadinya jika pasokan terganggu? Di Indonesia, puskesmas di desa terpencil bisa kehilangan alat-alat krusial. Harga bisa melonjak. Nyawa bisa terancam.

Kita sedang menyaksikan satu babak baru dari drama geopolitik yang kian pelik. Perang dagang bukan lagi sekadar angka di laporan ekonomi. Ia hadir di meja makan, di ruang perawatan rumah sakit, di pasar-pasar lokal. Dan dalam perang ini, tiga kekuatan utama menjadi poros utama ketegangan: Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok.

Dalam trilogi konflik ekonomi ini, masing-masing kekuatan memainkan peran yang saling memengaruhi dan menekan. Uni Eropa, melalui International Procurement Instrument (IPI) yang disahkan pada 2022, melangkah tegas untuk melindungi akses timbal balik dalam pengadaan publik. Investigasi yang dimulai pada April 2024 mengindikasikan bahwa Tiongkok membatasi akses perusahaan Eropa di pasar pengadaannya. UE menilai ini sebagai praktik yang tak seimbang. Maka pada 2 Juni 2025, sebanyak 27 negara anggota UE melakukan voting, membuka jalan untuk penggunaan IPI.

Langkah itu memungkinkan UE menyesuaikan skor tender atau bahkan melarang perusahaan Tiongkok berpartisipasi dalam kontrak tertentu. Tiongkok segera merespons: memperpanjang investigasi anti-dumping terhadap brendi dari Eropa, sebuah isyarat bahwa ketegangan dagang tidak akan dibiarkan sepihak.

Sementara itu, Amerika Serikat, di bawah Presiden Donald Trump yang kembali menjabat sejak Januari 2025, mengambil langkah yang lebih agresif. Dengan mengaktifkan dekrit darurat berdasarkan International Emergency Economic Powers Act (IEEPA), Trump menetapkan tarif dasar 10% atas seluruh impor mulai 5 April 2025. Tarif tambahan juga diumumkan: 25% untuk Kanada dan Meksiko, serta lonjakan drastis sebesar 145% untuk produk-produk dari Tiongkok, berlaku mulai 9 April.

Langkah Trump bukan berhenti di sana. Pada 2 April, ia menyatakan tarif dasar global 10% sebagai kebijakan permanen, dan memperluas tekanan pada 57 negara. Tujuan utamanya adalah memangkas defisit perdagangan dan mendorong kebangkitan manufaktur domestik. Namun, langkah ini tidak berjalan tanpa perlawanan. Pengadilan perdagangan AS pada 28 Mei 2025 menyatakan penggunaan IEEPA dalam konteks ini ilegal. Meski begitu, kebijakan tetap dijalankan, sambil menunggu hasil banding.

Sebagai tanggapan, Tiongkok menaikkan tarif menjadi 125% untuk berbagai produk asal AS dan membatasi ekspor mineral langka—komponen penting dalam industri teknologi tinggi. Sementara itu, Uni Eropa pun mendapat ancaman tarif tambahan dari AS, sebesar 50% untuk baja dan aluminium, efektif mulai 1 Juni 2025. Namun, menurut laporan Reuters, pelaksanaannya ditunda selama 90 hari hingga 9 Juli.

Kita melihat sebuah pola yang jelas: tindakan, respons, dan balasan yang membentuk siklus penuh ketegangan. Instrumen yang digunakan bukan senjata atau misil, melainkan investigasi dagang, tarif impor, dan pembatasan ekspor—semuanya berdampak nyata terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat global.

Dampaknya pun mulai terasa. Keputusan UE untuk membatasi pengadaan dari Tiongkok bisa jadi strategi melindungi industri dalam negerinya. Tapi itu juga berarti pasokan alat kesehatan ke rumah sakit Eropa mungkin terganggu. Harga alat-alat penting bisa naik. Waktu tunggu untuk kebutuhan medis bisa memanjang. Sebaliknya, Tiongkok kehilangan kontrak bernilai tinggi dan menunjukkan tanda-tanda membalas lebih keras. Investigasi terhadap brendi Eropa hanyalah awal.

Di Amerika Serikat, kebijakan tarif Trump memicu gejolak pasar. Reuters mencatat bahwa pada hari pertama pemberlakuan tarif 10% (5 April), pasar saham global anjlok. Dow Jones turun 4%, S&P 500 turun 5%, dan Nasdaq mencatat penurunan 6%—penurunan terburuk sejak pandemi 2020. Dana Moneter Internasional (IMF), pada 22 April, menurunkan proyeksi pertumbuhan global menjadi 2,8% untuk 2025, dari sebelumnya 3,3%. IMF secara gamblang menyebut tarif Trump sebagai penyebab utama. Inflasi di AS pun diprediksi naik menjadi 3%, menambah tekanan pada daya beli konsumen.

Indonesia tidak berada di luar pusaran ini. Kita adalah bagian dari rantai pasok global. Menurut data Kementerian Kesehatan 2023, sekitar 30% alat kesehatan yang digunakan di Indonesia berasal dari Tiongkok. Jika hubungan dagang antara UE dan Tiongkok memburuk, bukan tidak mungkin pasokan ke klinik-klinik di Sumatra, Sulawesi, atau Papua akan terganggu. Harga bisa melonjak. Pemerintah daerah akan kesulitan. Rakyat kecil akan jadi korban pertama.

Lebih jauh lagi, ekspor utama Indonesia seperti minyak sawit ke UE dan produk elektronik ke AS bisa terdampak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai perdagangan Indonesia–Tiongkok mencapai USD 127 miliar pada 2024. Gangguan dalam hubungan ekonomi antara tiga poros ini bisa menghantam buruh, menaikkan biaya hidup, dan memperlambat pertumbuhan nasional.

Amerika Serikat juga merasakan getaran balik. USDA melaporkan bahwa ekspor kedelai AS ke Tiongkok turun 67% dalam rentang 11–17 April 2025, sebagai respons atas tarif balasan dari Beijing. Ini bukan hanya angka. Ini cerita nyata dari petani di Midwest yang kehilangan pasar, hingga keluarga di Indonesia yang menghadapi harga barang yang lebih mahal.

Jika ditelaah lebih dalam, kita melihat bahwa perang dagang ini muncul dari motif perlindungan—UE menginginkan akses yang adil, Trump mendorong agenda “America First,” Tiongkok mempertahankan posisi sebagai produsen dunia. Namun, cara-cara yang digunakan, seperti tarif sepihak, investigasi anti-dumping, dan pembatasan ekspor, telah mengguncang stabilitas global. IMF dalam laporan tanggal 23 April 2025 memperingatkan bahwa ketidakpastian kebijakan menekan investasi global sebesar 4,4% di tahun ini. Artinya, pelaku bisnis menjadi ragu, investor memilih menahan diri, dan inovasi melambat.

Bayangkan dampaknya. Sebuah puskesmas di Maluku yang harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapat ventilator. Seorang ibu di Medan yang harus membayar lebih mahal untuk kebutuhan medis anaknya. Ini bukan lagi persoalan makroekonomi, melainkan tragedi yang menyusup ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Hari ini, 3 Juni 2025, dunia menanti. Pertemuan antara Maroš Šefčovič dari Uni Eropa dan Wang Wentao dari Tiongkok di sela Konferensi OECD di Paris disebut-sebut bisa menjadi titik balik. Bisa meredakan ketegangan, atau justru memperkeruhnya—tergantung pada hasil voting UE kemarin dan sikap masing-masing pihak ke depan.

Trump, meski pada 9 April sempat menarik kembali sebagian tarif (menurut Reuters), tetap mempertahankan lonjakan 145% untuk produk Tiongkok dan bahkan mengancam menaikkan tarif untuk baja dan aluminium menjadi 50% per 4 Juni. Dunia menyaksikan. Setiap keputusan bisa memicu efek domino di berbagai penjuru.

Dalam pusaran trilogi ini—Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok—Indonesia perlu menimbang dengan cermat. Kita tidak punya kemewahan untuk menjadi penonton pasif. Pemerintah harus bergerak cepat: mengamankan pasokan alat vital, memperkuat industri strategis dalam negeri, dan mendiversifikasi mitra dagang. Lebih dari itu, kita juga bisa mendorong diplomasi yang mempertemukan, bukan memisahkan.

Dunia sedang menghadapi krisis iklim, ancaman pandemi baru, dan instabilitas sosial. Inilah saatnya mendorong kerja sama, bukan memupuk permusuhan. Inilah saatnya perdagangan menjadi jalan damai, bukan alat tekanan.

Trilogi ini belum berakhir. Tapi satu hal pasti: jika jalan damai tak dipilih, maka yang menderita bukanlah para elite politik dan pengambil kebijakan, melainkan masyarakat dunia yang hanya ingin hidup dengan aman dan sejahtera.

Ke mana perang dagang ini akan membawa kita? Mari pikirkan baik-baik—sebelum kita kehilangan lebih banyak dari yang bisa kita perbaiki.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *