Opini
Trauma dari Gaza yang Membunuh Tentara Israel

Tubuh Daniel Edri ditemukan sudah tak bernyawa, hangus terbakar di dalam mobilnya. Lokasinya sunyi—sebuah hutan di dekat Safad, wilayah pendudukan di utara Palestina. Tapi suara kematiannya menggema jauh melampaui pepohonan itu. Daniel, tentara cadangan Israel berusia 24 tahun, bukan mati karena peluru musuh. Ia mati karena luka yang ditanam oleh negaranya sendiri.
Pemerintah Israel menyebutnya perang. Mereka menyebut serangan ke Gaza sebagai “operasi militer”. Mereka kirim pasukan, rudal, dan tank—semuanya atas nama “keamanan nasional.” Tapi tak ada keamanan dengan membakar rumah-rumah warga sipil, membunuh anak-anak, dan menghancurkan hidup keluarga-keluarga Palestina. Yang ada hanyalah pembantaian. Dan di balik seragam, senjata, dan propaganda, para tentara seperti Daniel menyaksikan semuanya… lalu tak pernah benar-benar bisa kembali.
“Mom, aku selalu mencium bau tubuh terbakar. Aku melihatnya di mana-mana,” katanya kepada ibunya. Pernyataan itu menghentak. Karena yang Daniel lihat bukan adegan fiksi. Ia melihat neraka yang diciptakan pemerintahnya sendiri di Gaza—dan ia ikut menjadi bagian darinya.
Daniel pulang dari Gaza dan Lebanon bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai mayat berjalan. Ia bukan hanya menyaksikan kematian, tapi hidup bersamanya. Ia merasakan aroma kematian menempel di kulit. Ia membawa pulang jiwa yang remuk. Tapi negara yang mengirimnya ke sana tidak memberinya ruang untuk sembuh.
Kementerian Pertahanan Israel menolak memberikan pemakaman militer bagi Daniel karena ia tak lagi dalam tugas aktif saat meninggal. Seolah-olah trauma yang membunuhnya bukan bagian dari perang. Seolah-olah negara bisa lepas tangan begitu saja setelah memeras tenaga dan jiwanya di medan konflik.
Beginilah Israel memperlakukan para tentaranya: dimuliakan saat membawa senjata, dibuang saat pulang dengan jiwa yang hancur. Tidak ada penghormatan bagi rasa bersalah. Tidak ada pengakuan atas luka yang tak terlihat.
Daniel adalah korban—bukan dari pejuang Palestina, tapi dari kebijakan negaranya sendiri. Ia adalah korban dari politik militeristik yang tanpa malu-malu membungkus pembantaian dengan kata “pertahanan.” Padahal semua orang tahu: yang terjadi di Gaza bukan perang, melainkan eksekusi massal terhadap rakyat sipil yang tak bersenjata.
Sejak Oktober 2023, Israel telah menggempur Gaza dengan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ribuan warga sipil terbunuh, mayoritas perempuan dan anak-anak. Rumah sakit, masjid, sekolah—semuanya jadi target. Tapi yang tak banyak diberitakan adalah bahwa kekejaman ini juga kembali menghantam mereka yang mengklaim sebagai pelakunya sendiri.
Menurut laporan, setidaknya 40 tentara aktif Israel—mayoritas dari cadangan—telah bunuh diri sejak invasi ke Gaza dimulai. Belasan lainnya mengakhiri hidup setelah kembali dari dinas. Tidak ada lembaga resmi yang melacak data ini secara terbuka. Mereka disembunyikan di bawah permadani, agar citra “tentara pemberani” tetap utuh di mata publik. Tapi kenyataannya, para tentara itu hancur. Jiwa mereka rusak, dan banyak dari mereka memutuskan bahwa mati lebih baik daripada terus dihantui oleh horor yang mereka lihat—dan lakukan.
Inilah wajah lain dari perang kolonial: ia tidak hanya membunuh yang tertindas, tapi juga mengorbankan yang ditugaskan menindas. Karena tidak semua bisa bertahan hidup dengan darah di tangan mereka.
Pemerintah Israel hari ini memaksakan perang bukan hanya kepada rakyat Palestina, tetapi juga kepada anak-anak mudanya sendiri yang direkrut ke militer. Mereka diseret ke zona kematian, dilatih untuk tidak merasa, dan diharuskan kembali ke rumah seolah-olah semuanya baik-baik saja. Tapi Daniel Edri adalah bukti bahwa “semuanya tidak baik-baik saja.”
Ia berkata kepada temannya, “Aku kehilangan kendali. Aku bom waktu.” Ia mengalami ledakan-ledakan kecil dalam bentuk amukan, mimpi buruk, dan kehancuran mental yang pelan-pelan membunuhnya. Tapi negara tidak peduli. Negara hanya menghitung kemenangan lewat angka korban, bukan lewat luka batin para tentaranya.
Pemerintah Israel seolah tidak belajar apa-apa dari sejarah. Mereka menciptakan luka pada rakyat Palestina, dan berpura-pura heran saat luka itu membekas juga di tubuh tentaranya sendiri. Mereka membantai Gaza, lalu terkejut ketika para pembantai pulang dengan kehancuran dalam kepala.
Ini bukan tragedi individu. Ini adalah kegagalan sistemik. Pemerintah yang membiarkan perang menjadi kebiasaan, akan selalu mencetak generasi yang cacat secara jiwa. Dan hari ini, kita melihat hasilnya—di tubuh terbakar Daniel Edri.
Mungkin sebagian orang akan merasa sulit untuk bersimpati kepada tentara yang ikut menyerang Gaza. Tapi ini bukan soal simpati. Ini soal realitas bahwa kekerasan tidak pernah membebaskan siapa pun. Tidak korban, tidak pelaku. Daniel tidak mati karena musuh menembaknya. Ia mati karena negara mengubahnya menjadi alat perang, lalu meninggalkannya saat alat itu rusak.
Pemerintah Israel perlu bertanggung jawab, bukan hanya atas genosida yang mereka lakukan di Gaza, tetapi juga atas kematian para tentaranya sendiri. Karena setiap peluru yang mereka perintahkan untuk ditembakkan, membawa beban yang lebih besar dari sekadar target: ia membawa trauma, kehancuran, dan kematian yang perlahan.
Ketika negara terus menerus menciptakan perang, maka kematian seperti milik Daniel akan terus berulang. Tubuh-tubuh hangus, jiwa-jiwa yang hancur, dan generasi muda yang dibentuk bukan untuk berpikir dan merasa, tapi hanya untuk membunuh.
Daniel Edri dibakar oleh luka yang ia bawa dari Gaza. Tapi yang menyalakan api itu bukan dia sendiri. Yang menyalakan api adalah kebijakan brutal yang memaksa perang tanpa arah. Yang menyalakan api adalah pemerintah yang membiarkan kebiadaban menjadi normal. Yang menyalakan api adalah sistem yang memproduksi kematian, lalu membuang mereka yang tak kuat menanggungnya.
“Trauma dari Gaza yang Membunuh Tentara Israel”—itulah kebenaran yang ingin disembunyikan oleh negara. Tapi tubuh yang terbakar tidak bisa dibungkam. Ia berbicara dalam bisu. Ia melawan dalam hening. Dan kita yang masih punya hati, tidak bisa berpaling.