Connect with us

Opini

Tragis, Al-Sharaa dari Most Wanted ke Most Influential

Published

on

Dalam ruang redaksi Time Magazine, nama Ahmad al-Sharaa kini bertahta di daftar 100 orang paling berpengaruh tahun 2025, satu-satunya pemimpin Timur Tengah yang diakui. Dari pimpinan Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), pernah terafiliasi dengan Al-Qaeda, ia meloncat menjadi presiden interim Suriah, menggulingkan Bashar al-Assad. Namun, di balik gemerlap pengakuan global, warga Suriah bergulat dengan luka sektarian dan mimpi buruk yang tak kunjung usai. Ironi ini pahit, tragis, nyata.

Dulu, al-Sharaa adalah bayang-bayang di daftar buronan, sosok yang identik dengan senjata dan ideologi ekstrem. HTS, di bawah komandonya, bertempur melawan ISIS dan Al-Qaeda, tapi juga memaksakan aliansi dengan kelompok pemberontak, seringkali di ujung laras senapan. Robert Ford, mantan duta besar AS untuk Suriah, menyebutnya “ambisius” dan “berbicara lembut”, namun mempertanyakan: apakah ia politisi pragmatis atau ekstremis yang pandai bermain topeng? Pertanyaan ini menghantui.

Keberhasilan al-Sharaa menggulingkan Assad pada Desember 2024 adalah titik balik. Ia tak hanya komandan militer, tetapi juga arsitek politik yang merangkul minoritas sambil memimpin wilayah konservatif. Sebagai presiden interim sejak Januari, ia berkeliling kawasan, bertemu pemimpin negara, mencari dukungan untuk membangun kembali Suriah. Upayanya membuka blokir sanksi dan mengalirkan dana rekonstruksi menunjukkan ambisi besar. Tapi, di lapangan, Suriah tetap retak, berdarah.

Kekerasan sektarian adalah noda gelap di bawah kepemimpinan al-Sharaa. Maret lalu, di pesisir Suriah, pemberontakan pendukung Assad memicu pembantaian. Menurut Syrian Network for Human Rights, 803 orang tewas, sebagian besar warga sipil Alawit, dibunuh oleh milisi yang terkait longgar dengan pasukan pemerintah. Pemerintah al-Sharaa berjanji mengusut, tetapi hasil investigasi tak kunjung muncul. Keheningan ini memperdalam ketidakpercayaan, terutama di kalangan minoritas yang merasa terancam.

Pengakuan Time Magazine, didukung nominasi Ford, seolah merayakan potensi al-Sharaa sebagai penyelamat Suriah. Ford menulis, untuk mengalahkan Assad, al-Sharaa harus menjadi pemimpin politik, bukan sekadar prajurit. Tapi, di Suriah, “harapan” ini terasa kosong. Pembentukan angkatan bersenjata nasional tersendat, faksi-faksi tetap terpecah, dan pembunuhan sektarian sporadis terus terjadi. Stabilitas yang dijanjikan al-Sharaa masih ilusi, bayang-bayang yang sulit diraih.

Dunia internasional, dengan lensa pragmatis, melihat al-Sharaa sebagai solusi. Diplomasinya yang gesit, dari Kairo hingga Ankara, menunjukkan ia paham bahasa kekuasaan. Sanksi yang mulai mencair dan janji bantuan ekonomi dari negara tetangga memperkuat citranya sebagai pemimpin yang bisa diandalkan. Namun, di Suriah, rakyat biasa, terutama Alawit, Kurdi, dan Kristen, hidup dalam ketakutan. Milisi bersenjata masih berkeliaran, dan keadilan untuk korban kekerasan hanyalah janji kosong.

Kontras ini mencerminkan kompromi moral yang kerap diterima dunia. Al-Sharaa bukan satu-satunya dari kawasan yang masuk daftar Time. Mohammad Rasoulof, sutradara Iran, diakui atas keberanian seninya; Ismahane Elouafi atas inovasi pertanian; Noa Argamani atas advokasi kemanusiaan. Mereka tak membawa beban masa lalu seperti al-Sharaa. Pengakuan untuknya terasa seperti memoles noda, mengabaikan luka rakyat Suriah demi narasi “stabilitas” yang rapuh.

Mari kita hitung biayanya. Suriah, setelah lebih dari satu dekade perang, kehilangan lebih dari 500.000 nyawa, menurut perkiraan PBB, dengan 13 juta orang mengungsi. Ekonomi hancur, infrastruktur rata. Al-Sharaa mewarisi puing-puing ini, dan meski ia berjanji membangun kembali, realitasnya pahit. Listrik hanya menyala beberapa jam sehari di banyak wilayah, menurut laporan lokal. Sekolah dan rumah sakit masih reruntuhan. Harapan rekonstruksi terkubur di bawah birokrasi dan konflik internal.

Lalu, mengapa dunia merayakan al-Sharaa? Karena politik global menyukai narasi sederhana. Menggulingkan Assad adalah kemenangan simbolis, dan al-Sharaa adalah wajahnya. Tapi, kemenangan ini tak gratis. Minoritas Alawit, yang selama ini dikaitkan dengan rezim Assad, kini jadi sasaran balas dendam. Kekerasan Maret bukan insiden tunggal. Laporan dari Human Rights Watch mencatat peningkatan serangan terhadap komunitas minoritas sejak al-Sharaa berkuasa, meski skala kecil tapi konsisten.

Kegagalan al-Sharaa menangani kekerasan ini bukan sekadar soal kapasitas, tetapi juga prioritas. Fokusnya pada diplomasi dan citra global tampaknya mengorbankan keadilan lokal. Investigasi yang dijanjikan atas pembantaian Maret tak kunjung tiba, dan ini bukan kejutan. HTS, meski kini berusaha tampil moderat, memiliki sejarah intoleransi terhadap kelompok yang dianggap lawan. Al-Sharaa mungkin berbicara tentang inklusivitas, tapi rekam jejaknya bercampur darah.

Bandingkan dengan Rasoulof, yang karyanya, The Seed of the Sacred Fig, menantang tirani dengan seni, atau Elouafi, yang inovasinya menyelamatkan jutaan dari kelaparan. Kontribusi mereka tak memakan korban. Al-Sharaa, sebaliknya, membangun kekuasaan di atas kompromi dengan kekerasan. Menganggapnya “berpengaruh” berarti menerima bahwa pengaruh bisa lahir dari kehancuran, bahwa stabilitas bisa dibeli dengan mengabaikan keadilan.

Ironi terbesar adalah bagaimana dunia memandang Suriah. Bagi Barat, al-Sharaa adalah harapan untuk mengekang kekacauan Timur Tengah. Bagi tetangga Arab, ia adalah sekutu potensial untuk menyeimbangkan pengaruh Iran. Tapi, bagi warga Suriah, ia adalah pengingat bahwa perubahan tak selalu membawa kelegaan. Rumah-rumah di Homs masih gelap, anak-anak di Idlib masih kelaparan, dan kuburan massal di pesisir menyimpan cerita yang tak terucap.

Tragedi al-Sharaa bukan hanya pada perjalanannya dari buronan ke tokoh global, tetapi pada apa yang dikorbankan di sepanjang jalan. Dunia mungkin memuji ambisinya, tetapi rakyat Suriah membayar harganya. Pengakuan Time Magazine adalah cermin: ia menunjukkan betapa mudahnya kita merayakan “pengaruh” sambil menutup mata terhadap kepedihan. Al-Sharaa bukan harapan, melainkan peringatan—bahwa dalam politik, kemenangan sering kali dibangun di atas luka yang tak pernah sembuh.

Daftar Sumber:

  1. Laporan Time Magazine tentang 100 Orang Paling Berpengaruh 2025.
  2. Syrian Network for Human Rights, laporan tentang kekerasan di pesisir Suriah, Maret 2025.
  3. Human Rights Watch, laporan tentang serangan terhadap komunitas minoritas di Suriah pasca-2024.
  4. PBB, perkiraan korban dan pengungsi perang Suriah (data umum hingga 2024).
  5. Laporan media lokal Suriah tentang kondisi infrastruktur dan listrik (referensi umum).
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *