Connect with us

Opini

Topeng Diplomasi di Tengah Tangisan Gaza

Published

on

Lord Ian Austin, utusan perdagangan Inggris untuk Israel, berdiri di Haifa, memandang Bayport dan Technion Institute dengan kagum—seolah dunia tak sedang terbakar. Padahal hanya beberapa hari sebelumnya, David Lammy, Menteri Luar Negeri Inggris, mengecam keras tindakan Israel di Gaza. Ia menyebutnya “ekstremis” dan “mengerikan,” seraya mengumumkan penghentian negosiasi perdagangan antara Inggris dan Israel. Kontrasnya mencolok. Di satu sisi, Lammy bicara soal keadilan dan kemanusiaan; di sisi lain, Austin menulis tentang “hari penuh inovasi” di akun media sosial kedutaan. Pujian yang terasa seperti luka terbuka bagi siapa pun yang mengikuti tragedi di Gaza.

Menurut laporan Al Mayadeen, sejak 18 Maret 2025, setidaknya 3.613 nyawa melayang dan 10.156 lainnya terluka di Gaza. Angka-angka itu bukan sekadar statistik. Ia adalah tangis para ibu, tubuh-tubuh mungil yang tak sempat tumbuh dewasa, dan puing-puing rumah yang tak bisa lagi disebut rumah. Maka, ketika seorang pejabat Inggris mengagumi pelabuhan dan teknologi, kita bertanya: bagaimana mungkin kata-kata bisa begitu manis, sementara tindakan begitu pahit?

Di Indonesia, Palestina bukan sekadar isu luar negeri. Ia adalah getaran hati. Dari masjid-masjid Surabaya hingga warung kopi Jakarta, seruan “Free Palestine” bergema dalam doa, poster, dan diskusi. Kita masih ingat ketegasan Presiden Soekarno yang menolak hubungan diplomatik dengan Israel. Indonesia, sejak awal, telah memilih berdiri di sisi keadilan. Maka ketika negara yang sering disebut mercusuar demokrasi seperti Inggris tampak berdiri di dua kaki—mencela di satu sisi, merangkul di sisi lain—kita tak bisa tidak merasa gelisah.

Kontras antara Lammy dan Austin bukan hanya soal pembagian tugas antara menteri dan utusan dagang. Ini adalah cerminan dari paradoks diplomasi: di satu sisi, kecaman atas blokade bantuan kemanusiaan dan ancaman pembersihan etnis; di sisi lain, promosi bisnis dan kerja sama teknologi. Dalam tulisannya di PoliticsHome pada 23 Mei 2025, Austin menyatakan Inggris tetap “terbuka untuk bisnis.” Pernyataan yang sah secara birokratis, tapi terasa sunyi secara moral.

Apakah seorang utusan perdagangan bisa membuat kebijakan luar negeri? Tentu tidak. Tapi tindakan mereka mencerminkan posisi politik yang lebih luas. Saat seorang pejabat tinggi Inggris memuji Israel sebagai “demokrasi multikultural” yang menciptakan lapangan kerja bagi rakyat Inggris, kita harus bertanya: demokrasi seperti apa yang membombardir rumah sakit dan menghalangi bantuan pangan? Ribuan nyawa telah melayang di Gaza sejak Maret, namun Austin menyebut perdagangan dengan Israel membawa “manfaat besar.” Seolah penderitaan itu hanya bayangan samar di kejauhan.

Di Indonesia, kita memahami bahwa kemanusiaan bukan sekadar angka. Demonstrasi besar di Monas, dengan bendera Palestina yang dikibarkan tinggi-tinggi, bukan sekadar aksi politik. Ia lahir dari empati yang dalam. Dari hati yang paham bahwa di balik setiap serangan, ada anak yang kehilangan ibu, dan ibu yang kehilangan segalanya.

Pernyataan Austin soal konflik pun menyisakan keganjilan. Ia menyalahkan Hamas sebagai pemicu, merujuk serangan 7 Oktober sebagai awal dari semua kekacauan. “Situasinya mengerikan, seperti dalam perang,” katanya, “dan cara tercepat menyelamatkan nyawa adalah jika Hamas membebaskan sandera.” Sekilas terdengar logis. Tapi logika ini mengabaikan sejarah panjang pendudukan, blokade, dan kekerasan struktural yang dijalankan Israel selama puluhan tahun. Gaza bukan hanya zona perang; ia adalah simbol kegagalan dunia untuk menegakkan keadilan.

Menyalahkan satu pihak tanpa menggali konteks adalah seperti membaca satu paragraf dari buku sejarah yang kompleks. Di Indonesia, diskusi di media sosial hingga pengajian kerap mengangkat akar persoalan: pemukiman ilegal, pendudukan, dan penindasan sistematis. Kita tahu, penderitaan Palestina tidak bisa diringkas dalam satu narasi tunggal.

Namun, benarkah Austin sepenuhnya salah dan Lammy sepenuhnya benar? Diplomasi, pada akhirnya, adalah arena kompromi. Austin mungkin terikat mandat ekonomi. Lammy, di sisi lain, menghadapi tekanan publik, lobi politik, dan realitas geopolitik yang rumit. Keduanya bisa saja terjebak dalam sistem yang memaksa mereka memainkan peran ganda. Tapi bagi rakyat biasa, kontradiksi ini tetap menyakitkan.

Zarah Sultana, anggota parlemen dari Partai Buruh yang kini disuspensi, mengungkapkan kekecewaan ini dengan menyebut partainya penuh “retorika kosong.” Kritik yang menggambarkan jurang antara idealisme dan realitas. Di Indonesia, kita mengenal istilah “munafik” untuk sikap semacam ini—ketika kata dan tindakan tidak berjalan seiring.

Solidaritas rakyat Indonesia untuk Palestina menuntut kejujuran dari pemimpin dunia. Kita tidak bisa menerima pujian pada demokrasi sambil mengabaikan penjajahan. Tidak bisa memuji “inovasi” sambil menutup mata pada blokade bantuan. Aksi boikot, demonstrasi, hingga gerakan amal bukan sekadar simbol. Mereka adalah ekspresi tuntutan moral.

Kunjungan Austin juga datang di tengah ancaman baru dari pemerintah Israel. Menurut Haaretz, Menteri Ron Dermer memperingatkan bahwa Israel akan menganeksasi wilayah Tepi Barat jika Inggris dan Prancis mengakui negara Palestina di PBB pada Juni 2025. Aneksasi ini termasuk legalisasi pos-pos pemukim ilegal di Area C—sebuah langkah yang bisa menghancurkan semua peluang damai yang tersisa. Tapi Austin, di Haifa, memilih memamerkan proyek kereta ringan. Seolah dunia tidak sedang berada di ujung jurang.

Di Indonesia, ancaman ini pasti membangkitkan memori. Kita ingat bagaimana pada 2020, rencana aneksasi serupa memicu kemarahan publik. Mahasiswa, ulama, aktivis—semua bersatu dalam satu suara: tolak penjajahan. Karena bagi kita, isu Palestina bukan sekadar geopolitik, tapi soal hak hidup yang paling dasar.

Sikap ganda ini tentu bukan monopoli Inggris. Banyak negara lain bersikap serupa. Jerman, misalnya, mengecam keras serangan ke Gaza tapi tetap menjadi pemasok senjata terbesar Israel. Uni Emirat Arab menjalin kerja sama militer meski mengaku mendukung solusi dua negara. Bahkan di Indonesia, yang selalu vokal dalam membela Palestina, ada celah-celah kompromi—dari jalur perdagangan tak langsung, hingga kerjasama dengan perusahaan asing yang terafiliasi dengan zionis. Dunia penuh kompromi, tapi ketika nyawa jadi taruhan, kompromi itu terasa seperti pengkhianatan.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari semua ini? Bahwa kejujuran dalam politik adalah barang langka. Bahwa diplomasi sering memakai topeng. Dan bahwa suara rakyat, seperti yang kita dengar di jalan-jalan Jakarta, kadang jauh lebih jujur daripada parlemen mana pun.

Konflik Gaza menguji keberpihakan dunia. Antara kata dan tindakan, antara prinsip dan kepentingan. Inggris menunjukkan betapa mudahnya prinsip dikorbankan demi ekonomi. Tapi Indonesia, meski belum sempurna, masih menjaga satu hal: empati.

Malam-malam di Jakarta yang sunyi kadang diselingi doa untuk Gaza. Sebuah pengingat bahwa di tengah dunia yang penuh sandiwara, masih ada hati yang jujur. Pertanyaannya: bisakah dunia belajar dari itu? Atau akan terus kita saksikan topeng-topeng diplomasi jatuh satu per satu, sementara Gaza tetap menangis dalam diam?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *