Opini
Toleransi Retak di Tengah Transisi Kekuasaan

Dalam suasana sosial yang tampaknya tenang, kadang kita lupa bahwa hak-hak dasar masih terus diuji. Di tengah keberagaman yang setiap hari kita rayakan di ruang publik, ada hal-hal mendasar yang perlahan mundur tanpa banyak disadari. Isu-isu sensitif seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan seringkali tenggelam dalam hiruk-pikuk politik dan rutinitas negara yang sibuk mengejar pertumbuhan.
Yang kita alami bukan sekadar kemunduran, tapi semacam kehilangan arah. Dalam kehidupan berbangsa yang majemuk, di mana kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin secara konstitusional, angka-angka yang dipaparkan dalam laporan SETARA Institute tahun ini justru memperlihatkan luka yang makin dalam. Bukan luka baru, tapi luka lama yang dibiarkan menganga, diperparah oleh abainya negara dan tajamnya ketidaktoleranan sosial.
Laporan tahunan SETARA yang dirilis pada 25 Mei 2025, mencatat ada 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB) sepanjang 2024. Dibandingkan tahun 2023, angkanya melonjak: dari 217 peristiwa dan 329 tindakan. Lonjakan ini bukan hanya soal jumlah, tapi tentang kemunduran sistematis. Dari 402 tindakan tersebut, 159 dilakukan oleh aktor negara, sisanya—243 tindakan—oleh aktor non-negara. Seolah mengkonfirmasi bahwa baik instrumen kekuasaan maupun ruang sosial telah menjadi medan yang rawan bagi kebebasan menjalankan keyakinan. Negara tak lagi cukup kuat untuk menjamin, dan masyarakat tak lagi cukup lapang untuk menerima.
Tindakan intoleransi oleh masyarakat meningkat drastis dari 26 kasus menjadi 73. Begitu pula tindakan diskriminatif oleh negara, melonjak dari 23 ke 50. Ini bukan sekadar angka, tapi lonceng peringatan. Di saat aparat sibuk menjaga stabilitas politik dan pemerintah fokus pada transisi kekuasaan, jaminan atas kebebasan dasar warga negara justru kehilangan tempat. Presiden Jokowi menutup satu dekade kekuasaannya dengan catatan stagnasi dalam isu KBB. Alih-alih meninggalkan warisan positif dalam hal toleransi dan perlindungan terhadap keberagaman, ia justru menyisakan warisan kegamangan birokrasi dan absennya kepemimpinan moral.
Presiden Prabowo, meski belum lama menjabat, juga belum menunjukkan langkah konkret. Janji dalam Asta Cita 8 yang menjanjikan peningkatan toleransi antarumat beragama hingga kini belum terartikulasi secara nyata. Transisi pemerintahan, yang seharusnya menjadi momen pembenahan dan reformasi, justru menunjukkan arah sebaliknya: negara belum hadir secara serius untuk menjamin hak-hak dasar warga negara dalam ruang keberagamaan. Kekosongan ini semakin diperparah oleh absennya regulasi baru yang inklusif dan keberlangsungan regulasi lama yang diskriminatif—seperti Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006.
Salah satu bentuk kemunduran paling mencolok adalah maraknya kembali penggunaan pasal penodaan agama. Dari 15 kasus pada 2023, angka ini melonjak menjadi 42 kasus pada 2024. Sebanyak 7 di antaranya berujung pada pendakwaan oleh aparat, dan 7 lainnya penetapan tersangka. Sisanya—29 kasus—merupakan pelaporan yang dilakukan oleh masyarakat. Pola ini memperlihatkan betapa delik penodaan agama telah berubah menjadi instrumen penundukan, bukan lagi sebagai pelindung dari ancaman nyata, tapi senjata untuk menyingkirkan yang berbeda. Negara tak hanya gagal mencegah, tapi justru ikut menggunakan hukum untuk membungkam keragaman tafsir, ekspresi, dan keyakinan.
Gangguan terhadap tempat ibadah pun masih terus terjadi, meskipun mengalami penurunan dari 65 kasus (2023) menjadi 42 kasus (2024). Tapi penurunan ini tidak mencerminkan perbaikan sistemik, karena regulasi yang mengatur pendirian rumah ibadah masih menyisakan sembilan lokus diskriminasi. Bahkan ketika syarat administratif dipenuhi—dukungan 90 pengguna dan 60 warga sekitar—penolakan tetap terjadi, dan aparat lokal lebih sering memilih kompromi politik ketimbang menegakkan keadilan. Dalam konteks ini, negara gagal menunjukkan otoritas moralnya.
Dari sisi pelaku, institusi pemerintah daerah mencatat jumlah pelanggaran tertinggi di antara aktor negara: 50 tindakan. Disusul kepolisian (30), Satpol PP (21), serta masing-masing 10 tindakan oleh TNI dan Kejaksaan. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran tidak hanya bersumber dari pusat, tapi juga menyebar secara masif di wilayah-wilayah. Jawa Barat kembali menjadi provinsi dengan jumlah pelanggaran KBB tertinggi (38 peristiwa), diikuti Jawa Timur (34), DKI Jakarta (31), Sumatera Utara (29), Sulawesi Selatan (18), dan Banten (17). Data ini memperlihatkan bahwa titik-titik konflik keberagamaan bukan terjadi secara sporadis, melainkan terakumulasi di wilayah-wilayah dengan dinamika sosial-politik yang kompleks.
Sementara itu, aktor non-negara juga memperlihatkan pola pelanggaran yang kian mengkhawatirkan. Ormas keagamaan tercatat sebagai pelaku terbanyak (49 tindakan), disusul kelompok warga (40), individu warga (28), dan bahkan Majelis Ulama Indonesia (21 tindakan). Kecenderungan ini menunjukkan menguatnya konservatisme dalam ruang sosial keagamaan, di mana perbedaan semakin dicurigai, dan kebenaran semakin dimonopoli. Dalam konteks inilah, tekanan terhadap minoritas semakin kencang, dan ruang untuk ekspresi keagamaan yang damai makin menyempit.
Yang paling memprihatinkan, korban pelanggaran kini tak lagi terbatas pada kelompok agama minoritas. Tahun ini, pelaku usaha justru menjadi kelompok yang paling terdampak—69 peristiwa. Disusul individu (67), umat Kristen dan Katolik (35), tokoh agama (30), warga umum (23), bahkan umat Islam (17). Artinya, pelanggaran KBB telah merembes ke berbagai sektor kehidupan: ekonomi, sosial, dan politik. Bahkan dalam ruang usaha dan seni, seperti kasus pelarangan pemutaran film Kiblat, tekanan intoleransi tetap bekerja dan menciptakan kerugian nyata.
Semua ini seharusnya cukup untuk mendorong negara mengambil langkah drastis. Tapi apakah cukup dengan seruan moderasi, pidato toleransi, dan imbauan agar masyarakat saling menghormati? Rekomendasi SETARA sudah jelas: Presiden Prabowo perlu memasukkan pemajuan KBB dalam RPJP 2024–2045 dan RPJMN 2024–2029; mereformasi regulasi seperti PBM 2006 dan pasal penodaan agama; mempercepat pembentukan Badan Regulasi Nasional; dan memperkuat tata kelola inklusif di tingkat lokal. Tapi jika semua itu tak dijalankan dengan kemauan politik yang kuat, maka nasib KBB di Indonesia akan terus terombang-ambing dalam janji-janji yang kosong.
Di tengah gelombang intoleransi yang terus membesar, kita mesti bertanya: sampai kapan kita membiarkan kebebasan beragama hanya menjadi wacana simbolik? Sampai kapan negara menunda tanggung jawabnya? Dan berapa banyak lagi korban yang harus jatuh hanya karena berbeda keyakinan, berbeda tafsir, berbeda cara beribadah? Jika tidak dijawab hari ini, barangkali pertanyaan itu akan menjelma kutukan di masa depan. Sebuah kutukan atas kelalaian kita sendiri.