Opini
Terorisme 4.0: Ancaman Digital Mengintai Indonesia

Kabut tipis menyelimuti layar ponsel, menyembunyikan pesan-pesan berbahaya yang mengalir di grup Telegram, propaganda yang memikat di Instagram, dan transaksi terselubung di platform e-dagang. Ancaman terorisme kini tak lagi hanya berupa bom di keramaian, melainkan narasi radikal yang menyebar melalui jagat maya, merasuki pikiran tanpa suara. Laporan Kompas.id mengungkap betapa media sosial telah menjadi medan perang baru, dengan 180.954 konten radikalisme terdeteksi pada 2024, menandakan mutasi terorisme ke era digital—era Terorisme 4.0.
Penangkapan tiga terduga teroris di Jawa Tengah pada November 2024 oleh Densus 88 Antiteror Polri menggambarkan nyata ancaman ini. Mereka tidak hanya merencanakan aksi kekerasan, tetapi juga menyebarkan propaganda provokatif melalui media sosial, menargetkan pemuda rentan dengan narasi kebencian. Kasus serupa di Jakarta dan Malang menunjukkan pola yang sama: individu teradikalisasi melalui internet, bahkan belajar membuat bom dari situs daring. Ini bukan sekadar kejahatan, tetapi evolusi terorisme yang memanfaatkan algoritma digital untuk mempercepat radikalisasi.
Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memperkuat gambaran kelam ini. Dari 180.954 konten radikalisme yang terdeteksi, Instagram mencatatkan angka tertinggi dengan 86.203 konten, diikuti Facebook (45.449) dan TikTok (23.595). Platform seperti Telegram dan WhatsApp juga menjadi sarang koordinasi terselubung, dengan 4.751 dan 8.506 konten berbahaya. Yang lebih mengkhawatirkan, platform e-dagang dan dompet digital kini dimanfaatkan untuk menyamarkan aliran dana teroris, menunjukkan adaptasi cerdas terhadap ekosistem digital.
Terorisme 4.0, istilah yang mencerminkan keterkaitan terorisme dengan Revolusi Industri 4.0, bukan sekadar soal media sosial. Kelompok teroris mulai menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk memproduksi propaganda yang lebih menarik dan sulit dilacak. Laporan Kompas.id menyebutkan bahwa teknologi ini memungkinkan konten radikal menyebar dengan presisi, menargetkan individu berdasarkan perilaku daring mereka. Global Terrorism Index (GTI) 2025 memperingatkan bahwa AI, bersama dengan virtual reality dan platform gaming, memperluas medan radikalisasi, menciptakan ancaman yang belum sepenuhnya dipahami.
Fenomena lone wolf atau teroris mandiri menjadi ciri khas Terorisme 4.0 di Indonesia. Kasus HOK di Malang, yang termotivasi melakukan bom bunuh diri setelah terpapar konten daring, mencerminkan betapa mudahnya individu teradikalisasi tanpa kontak fisik dengan jaringan teroris. GTI 2025 mencatat peningkatan serangan oleh aktor tunggal secara global, didorong oleh “echo chambers” di media sosial yang memperkuat ideologi ekstrem. Di Indonesia, jajak pendapat Kompas (2021) mengungkap bahwa 40,6% responden melihat internet sebagai pendorong utama radikalisasi, di samping faktor ideologi (37,6%) dan tekanan ekonomi (26,5%).
Namun, ancaman ini tidak berdiri sendiri. Ketimpangan ekonomi dan pengangguran, terutama di kalangan pemuda, menjadi bahan bakar radikalisasi. GTI 2025 menegaskan bahwa kelompok ekstremis mengeksploitasi kekecewaan sosial, menawarkan tujuan dan dukungan finansial melalui narasi digital. Di Indonesia, daerah dengan akses informasi terbatas, seperti pedesaan terpencil, menjadi sasaran empuk propaganda daring. Ketika platform seperti TikTok menampilkan konten radikal yang dikemas menarik, pemuda yang terjebak kemiskinan mudah terpikat, menjadikan Terorisme 4.0 ancaman yang multidimensional.
Densus 88 telah berupaya keras menghadapi ancaman ini, namun tantangannya berat. Rapat Kerja Teknis Densus 88 pada April 2025 menegaskan bahwa terorisme siber adalah prioritas, dengan fokus pada teknologi intelijen dan analisis big data. Mereka memantau aktivitas daring, membangun kontranarasi berbasis toleransi, dan bekerja sama dengan platform seperti Meta, Google, dan TikTok untuk memblokir konten berbahaya. Namun, laporan Kompas.id menunjukkan bahwa pemblokiran konten belum cukup efektif, dengan penyebaran radikalisme tetap masif di jagat maya.
Kerja sama lintas sektor menjadi kunci, tetapi belum optimal. Densus 88 menggandeng tokoh agama dan organisasi seperti NU dan Muhammadiyah untuk mempromosikan moderasi beragama, sebuah langkah yang selaras dengan rekomendasi GTI 2025 untuk pendekatan “whole-of-society”. Program literasi digital dan wawasan kebangsaan juga digalakkan, menargetkan pemuda sebagai kelompok rentan. Namun, skala ancaman Terorisme 4.0, yang melibatkan teknologi canggih dan jaringan transnasional, menuntut investasi lebih besar dalam sumber daya dan keahlian teknis.
Aspek hukum juga perlu diperkuat. Pasal 13A UU No. 5 Tahun 2018 mengancam pidana bagi penyebar ideologi terorisme, tetapi regulasi ini belum cukup komprehensif untuk menghadapi ancaman siber. GTI 2025 menyoroti model USA Patriot Act, yang mengatur peran intelijen dan sektor swasta dalam menangani terorisme siber. Indonesia perlu mencontoh pendekatan ini, misalnya dengan melibatkan perusahaan teknologi untuk mendeteksi algoritma yang mempromosikan konten radikal, serta memperketat pengawasan transaksi di platform e-dagang.
Tantangan lain adalah keterbatasan teknologi. Sementara kelompok teroris memanfaatkan AI dan aplikasi terenkripsi, Densus 88 masih bergulat dengan anggaran terbatas untuk mengembangkan sistem intelijen berbasis big data. GTI 2025 merekomendasikan penggunaan teknologi seperti biometrics mining dan rekognisi wajah untuk melacak aktivitas teroris, tetapi implementasinya di Indonesia masih jauh dari ideal. Tanpa investasi signifikan, Indonesia berisiko tertinggal dalam perlombaan melawan Terorisme 4.0 yang terus berevolusi.
Faktor lingkungan juga tidak boleh diabaikan. GTI 2025 memperingatkan bahwa perubahan iklim dapat memperburuk ketimpangan sosial, mendorong radikalisasi di daerah rawan bencana. Di Indonesia, banjir dan kekeringan sering memicu konflik sumber daya, menciptakan celah bagi propaganda teroris. Strategi Densus 88 harus mengintegrasikan isu ini, misalnya melalui program pemberdayaan ekonomi di daerah terdampak, untuk menutup peluang kelompok ekstremis merekrut anggota baru melalui janji-janji palsu.
Kontranarasi di media sosial adalah senjata penting, tetapi harus lebih agresif. Densus 88 telah memulai dengan pesan-pesan perdamaian dan toleransi, tetapi konten ini sering kalah menarik dibandingkan propaganda teroris yang dikemas dengan visual memukau. Indonesia perlu belajar dari negara seperti Inggris, yang menggunakan kampanye digital kreatif untuk menandingi narasi ekstremis. Menggandeng konten kreator populer dan memanfaatkan algoritma untuk menyebarkan pesan positif bisa menjadi langkah strategis.
Kerja sama internasional juga krusial. Terorisme 4.0 bersifat transnasional, dengan jaringan seperti ISIS beroperasi lintas batas melalui platform digital. GTI 2025 menekankan pentingnya berbagi intelijen dengan lembaga seperti FBI atau Interpol. Indonesia telah menjalin kerja sama dengan beberapa negara, tetapi perlu memperluasnya untuk mengatasi ancaman teknologi baru, seperti deepfake atau serangan berbasis drone, yang berpotensi muncul di masa depan.
Pada akhirnya, ancaman Terorisme 4.0 di Indonesia adalah cerminan dunia yang semakin terhubung namun rentan. Laporan Kompas.id menjadi pengingat bahwa jagat maya bukan hanya ruang inovasi, tetapi juga medan pertempuran ideologi. Dengan 180.954 konten radikalisme mengintai di layar ponsel, Indonesia harus bertindak cepat—mengintegrasikan teknologi, memperkuat hukum, dan membangun narasi damai yang lebih kuat. Hanya dengan pendekatan holistik, ancaman ini dapat diredam, menjaga mimpi Indonesia Emas 2045 tetap utuh.
Pingback: Radikalisme Digital dan Jejak ISIS yang Masih Mengintai - vichara.id