Connect with us

Opini

Teror di Suriah Baru: Minoritas Tanpa Perlindungan

Published

on

Banyak pihak menaruh harapan bahwa kejatuhan Bashar al-Assad akan mengakhiri babak gelap dalam sejarah Suriah. Rezim otoriter yang selama bertahun-tahun membungkam oposisi, menghancurkan kota-kota dengan senjata berat, dan menciptakan krisis pengungsi terbesar di abad ini akhirnya tumbang. Namun, ketika harapan itu mulai tumbuh, kenyataan justru lebih getir: kekacauan yang menggantikan kekuasaan tirani kini menjelma menjadi bentuk baru kekerasan yang lebih diam-diam, lebih terdesentralisasi, dan jauh lebih sulit dilawan—karena disertai pembiaran sistematis.

Naiknya Ahmad al-Sharaa sebagai pemimpin transisi tampaknya tidak disertai agenda kuat untuk memulihkan hukum, keamanan, dan perlindungan bagi semua warga Suriah. Di tengah kekosongan itu, tragedi demi tragedi mulai bermunculan. Salah satu yang paling mencolok, dan paling mengerikan, adalah meningkatnya kasus penculikan perempuan dari komunitas Alawiyah—sebuah kelompok minoritas yang secara historis diasosiasikan dengan kekuasaan Assad.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Teror terhadap Perempuan Alawiyah: Bukan Kriminal Biasa

Laporan Reuters yang mengulas penculikan puluhan perempuan Alawiyah sejak 2023 mestinya menjadi sirene bahaya, bukan hanya bagi Suriah, tetapi bagi dunia internasional. Dalam laporan itu disebutkan bahwa sedikitnya 33 perempuan dan gadis—usia 16 hingga 39 tahun—diculik dari wilayah-wilayah berpenduduk mayoritas Alawiyah seperti Tartus, Latakia, dan Hama. Dari mereka, sekitar separuh kembali, namun dalam keheningan yang mencurigakan, tanpa bersedia menceritakan apa yang terjadi. Sisanya masih hilang, dan keluarganya tak menemukan kejelasan apa pun, kecuali ancaman dan permintaan tebusan.

Ini bukan sekadar tindak kriminal. Ini adalah teror dengan pesan politik. Di saat komunitas Alawiyah kehilangan pelindung politiknya, kekerasan mulai diarahkan kepada mereka—terutama kaum perempuannya. Penculikan, pemerasan, perdagangan manusia, dan penghilangan paksa terhadap perempuan bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah strategi kekuasaan dalam situasi tanpa hukum. Dan yang lebih mengerikan lagi, negara membiarkannya.

Negara Diam, Teror Berlanjut

Yang membuat situasi ini semakin gawat adalah sikap aparat transisi Suriah yang diam, bahkan terkesan menutupi. Tidak ada pernyataan resmi yang tegas. Tidak ada investigasi transparan. Bahkan media pemerintah dan pejabat lokal menutup-nutupi fakta. Seorang direktur media di Tartus menyebut kasus-kasus tersebut hanyalah “konflik keluarga” atau “masalah pribadi”—narasi lapuk yang biasa digunakan oleh penguasa untuk mencuci tangan.

Pemerintah transisi tak hanya gagal merespons, tetapi justru mengukuhkan pembiaran. Diam mereka adalah bentuk legitimasi. Ia mengirimkan pesan kepada pelaku kekerasan: bahwa yang kalian lakukan bisa dimaafkan, karena korban kalian berasal dari kelompok yang tidak lagi dilindungi.

Di sinilah letak masalah utamanya: ketika hukum dan negara tidak lagi berfungsi, maka milisi, geng bersenjata, dan kelompok kriminallah yang akan mengambil alih kekuasaan nyata. Dalam konteks ini, tubuh perempuan menjadi komoditas, alat intimidasi, dan simbol penghinaan terhadap sebuah komunitas yang kehilangan pegangan politik.

Babak Baru Kekerasan Sektarian

Yang terjadi di Suriah pasca-Assad adalah transisi dari represi negara ke represi non-negara. Jika sebelumnya kekerasan dilakukan secara sistematis oleh aparat negara, kini ia dilakukan oleh entitas-entitas tak bernama: penculik tanpa identitas, pemeras lintas wilayah, dan penyelundup manusia yang bekerja di luar radar hukum.

Namun, ada satu benang merah yang tidak bisa diabaikan: kekerasan ini menyasar kelompok minoritas tertentu. Dalam hal ini, komunitas Alawiyah. Dan bisa dipastikan, kelompok-kelompok minoritas lain juga akan menghadapi bahaya serupa. Komunitas Kristen, Druze, Ismailiyah, bahkan kelompok Sunni di wilayah yang tidak loyal pada pemerintah pun bisa menjadi target berikutnya.

Jika hari ini perempuan Alawiyah bisa diculik, diancam dibunuh, dan dijual, maka besok giliran siapa? Tanpa mekanisme hukum yang tegas, kekerasan ini akan menjadi pola tetap, bukan pengecualian.

Dunia Internasional dan Ilusi Transisi

Dunia internasional perlu dikritik keras karena terlalu cepat menyambut “transisi kekuasaan” di Suriah tanpa mengukur kemampuan rezim baru dalam menjaga keamanan dan hak asasi manusia. Komunitas internasional seolah berasumsi bahwa setelah Assad tumbang, semua akan berjalan normal. Padahal sejarah membuktikan: kekosongan kekuasaan justru lebih sering memicu kekacauan daripada stabilitas.

PBB memang sedang menyelidiki kasus-kasus penculikan ini. Tetapi sampai kapan dunia hanya mengandalkan laporan dan investigasi, sementara korban terus berjatuhan? Berapa banyak lagi perempuan yang harus diculik, disiksa, atau diperdagangkan, sebelum komunitas internasional benar-benar turun tangan dengan mekanisme perlindungan yang konkret?

Ketika teror terhadap perempuan menjadi bagian dari “normal baru” di Suriah, maka dunia seharusnya tidak lagi bicara tentang transisi damai, tetapi tentang krisis kemanusiaan yang memerlukan intervensi nyata—bukan hanya diplomasi kosong.

Penutup: Dari Assad ke Al-Sharaa, dari Rezim ke Anarki

Banyak yang menyangka bahwa tumbangnya seorang diktator adalah kemenangan. Tapi di Suriah, kemenangan itu terasa pahit. Assad memang tumbang, tapi penderitaan rakyat tidak ikut tumbang bersamanya. Ia justru bertransformasi: dari represi negara menjadi kekacauan tanpa batas.

Apa yang menimpa perempuan Alawiyah hari ini adalah wajah baru dari kekerasan di Suriah: lebih sunyi, lebih pribadi, lebih mematikan. Dan ketika dunia memilih diam, maka dunia adalah bagian dari kekerasan itu sendiri.

Suriah tidak hanya butuh pemimpin baru. Ia butuh keadilan, hukum, dan dunia yang tidak lagi menutup mata. Jika tidak, maka sejarah akan mencatat bahwa setelah diktator pergi, datanglah teror—dan semua orang hanya menonton.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer