Connect with us

Opini

Terbongkar: Al-Sharaa Direbranding Inggris?

Published

on

Sebuah laporan dari Independent Arabia mengguncang nurani: sebuah LSM Inggris, Inter Mediate, diduga menjadi dalang di balik transformasi Ahmad al-Sharaa, yang dulu dikenal sebagai Abu Mohammad al-Julani, dari pemimpin Al-Qaeda menjadi presiden transisi Suriah. Pria yang pernah merancang serangan bunuh diri kini disambut di Paris dan bertemu Donald Trump dalam pertemuan yang dihelat Arab Saudi. Realitas ini menusuk hati. Revolusi Suriah, yang menelan ratusan ribu nyawa, terasa seperti diputarbalikkan oleh intrik asing. Di Indonesia, kita tahu luka terorisme—Bom Bali 2002 masih menghantui. Bagaimana rakyat Suriah menerima mantan teroris sebagai pemimpin? Dan apa artinya ini bagi perjuangan mereka?

Robert Ford, mantan Duta Besar AS untuk Suriah, berbagi cerita yang sulit dipercaya. Dalam pidatonya di Baltimore Council on Foreign Affairs, ia mengaku diundang Inter Mediate dua tahun lalu untuk membantu al-Sharaa beralih dari terorisme ke politik arus utama. Awalnya, Ford ragu—siapa yang tidak, membayangkan risiko bertemu mantan jihad? “Saya membayangkan diri dalam baju oranye dengan pisau di leher,” candanya, penuh kewaspadaan. Tapi, setelah berdiskusi dengan orang-orang yang mengenal al-Sharaa, ia pergi ke Idlib pada 2023. Di sana, al-Sharaa bilang ideologi Al-Qaeda tak lagi cocok untuk memerintah jutaan orang. Ia bicara soal kompromi. Benarkah ini tanda perubahan, atau cuma topeng untuk kekuasaan?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Inter Mediate bukan organisasi sembarangan. Didirikan pada 2011 oleh Jonathan Powell, mantan staf Tony Blair, dan Martin Griffiths, mantan utusan PBB untuk Yaman, LSM ini mengklaim ahli menengahi konflik berbahaya. Koneksi mereka dengan elit Inggris memicu kecurigaan: apakah ini sekadar mediasi, atau bagian dari agenda geopolitik? Di Indonesia, kita sering curiga pada LSM asing yang terlibat dalam isu sensitif—pikirkan debat soal Freeport atau intervensi di Papua. Jika Inter Mediate membantu al-Sharaa, apa motifnya? Stabilitas Suriah, atau pengaruh Barat di Timur Tengah?

Tapi cerita ini punya sisi lain. Sumber kepresidenan Suriah membantah klaim Ford, menyebut pertemuan di Idlib bukan rahasia, melainkan acara publik untuk memamerkan tata kelola Idlib di bawah Hay’at Tahrir al-Sham (HTS). Ford, kata mereka, hanya bagian dari delegasi penelitian tanpa status diplomatik. Bantahan ini mengguncang narasi “konspirasi.” Di Indonesia, kita tahu bantahan resmi kadang justru menambah tanda tanya—ingat kasus korupsi yang sering ditutupi. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di Idlib?

Untuk memahami ini, kita perlu melihat bagaimana HTS mengatur Idlib. Sejak 2017, HTS, yang dulu Nusra Front, menguasai provinsi ini. Menurut laporan International Crisis Group (2020), HTS membentuk pemerintahan semi-formal, dengan layanan publik seperti sekolah, rumah sakit, dan distribusi air. Mereka bahkan mengelola pajak dan pengadilan syariah yang dimodifikasi untuk tampak lebih moderat. Ini bukan pemerintahan ideal—pelanggaran HAM, seperti penahanan sewenang-wenang, masih dilaporkan. Tapi, dibandingkan kekacauan di wilayah lain, Idlib relatif stabil. Al-Sharaa, sebagai pemimpin HTS, tampaknya belajar bahwa kekerasan semata tak cukup untuk memerintah. Apakah ini bukti transformasi tulus, atau sekadar pragmatisme?

Dukungan rakyat terhadap al-Sharaa lebih rumit. Laporan Syria Direct (2023) menyebut sebagian warga Idlib mendukung HTS karena keamanan relatif yang mereka bawa, dibandingkan kekejaman Assad. Namun, banyak juga yang curiga, terutama karena masa lalu ekstremis al-Sharaa. Di Indonesia, kita bisa bayangkan betapa sulitnya mempercayai mantan teroris sebagai pemimpin—bayangkan Ali Imron dari Jamaah Islamiyah tiba-tiba jadi gubernur. Publik pasti terbelah: antara harapan stabilitas dan trauma masa lalu. Apakah rakyat Suriah melihat al-Sharaa sebagai penyelamat, atau pion asing?

Konteks politik Suriah pasca-HTS tak kalah pelik. Setelah kejatuhan Assad pada 2024, menurut Al-Monitor, HTS menjadi kekuatan dominan di barat laut Suriah, tapi bersaing dengan faksi Kurdi dan kelompok pro-Turki. Rusia dan Iran, yang dulu mendukung Assad, masih punya pengaruh, sementara Turki dan Qatar membiayai oposisi. Inggris dan AS, melalui aktor seperti Inter Mediate, tampaknya ingin menempatkan al-Sharaa sebagai figur yang bisa menjembatani kepentingan Barat. Tapi, ini bukan catur sederhana. Setiap langkah penuh risiko.

Al-Sharaa sendiri punya sejarah kelam. Ia bergabung dengan Al-Qaeda di Irak pasca-invasi AS 2003, menjadi wakil Baghdadi, lalu mendirikan Nusra Front di Suriah pada 2012. Serangan bunuh diri yang ia rencanakan menewaskan banyak warga sipil. Qatar, menurut laporan, membantu rebranding Nusra menjadi HTS pada 2017. Kini, Inter Mediate diduga melanjutkan proses itu. Di Indonesia, kita tahu betapa sensitifnya isu terorisme—ingat kemarahan publik saat Abu Bakar Ba’asyir dibebaskan. Bagaimana rakyat Suriah memaafkan al-Sharaa?

Kegelisahan ini terasa dekat. Revolusi Suriah, yang menewaskan lebih dari 500.000 orang menurut PBB, adalah pemberontakan rakyat melawan penindasan. Di Indonesia, kita mengenal semangat serupa dari Reformasi 1998, meski konteksnya berbeda. Tapi, jika al-Sharaa dibentuk oleh kekuatan asing, apakah perjuangan itu sia-sia? Bayangkan rakyat Suriah, yang kehilangan keluarga dan rumah, mendengar bahwa pemimpin baru mereka mungkin didesain di London. Itu seperti garam di luka terbuka.

Namun, politik sering penuh kompromi. Di Irlandia Utara, Martin McGuinness dari IRA menjadi menteri setelah proses damai. Di Kolombia, mantan gerilyawan FARC kini di parlemen. Al-Sharaa mungkin sedang meniti jalan serupa, dengan bantuan Inter Mediate. Tapi, ada garis tipis antara mediasi dan manipulasi. Di Indonesia, kita sering curiga pada campur tangan asing—ingat isu utang IMF atau intervensi di Timor Leste. Apakah Inggris, melalui Inter Mediate, mencari stabilitas, atau pengaruh?

Peta konflik Suriah saat ini, menurut BBC (2025), menunjukkan fragmentasi: HTS kuat di barat laut, tapi Kurdi menguasai timur laut, dan sisa-sisa pendukung Assad masih ada. Al-Sharaa, dengan dukungan HTS, harus menavigasi keseimbangan ini. Jika ia gagal, Suriah bisa kembali kacau. Tapi, jika ia berhasil, akankah dunia memaafkan masa lalunya? Dan yang lebih penting: akankah rakyat Suriah mempercayainya?

Laporan ini belum lengkap. Bantahan dari sumber Suriah menunjukkan narasi mungkin tak sesederhana “konspirasi Inggris.” Kita perlu bukti lebih—dokumen, pernyataan resmi, atau saksi lain. Di Indonesia, kita tahu narasi sensasional sering menyebar cepat, seperti isu politik di media sosial. Tapi, laporan ini mengajak kita merenung: sampai mana batas campur tangan asing? Apakah rakyat Suriah, seperti kita saat memperjuangkan demokrasi, berhak menentukan nasib sendiri? Atau, akankah dunia terus melihat mereka sebagai pion dalam permainan besar? Pertanyaan ini menggema, tanpa jawaban mudah, di hati kita semua.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer