Connect with us

Opini

Tepi Barat Membara: 40.000 Warga Palestina Terusir

Published

on

Langit Tepi Barat, suatu Sabtu yang pekat, kembali diselimuti kepulan asap dan desing peluru. Bukan karena perang antar negara, melainkan karena pasukan pendudukan zionis—yang oleh media arus utama kerap disamarkan dengan istilah “Israel Defense Forces”—menggelar serangkaian penggerebekan brutal di berbagai kota Palestina. Di Qaryut, Beit Fajjar, Beit Iba, hingga kawasan padat penduduk seperti kamp pengungsi Askar, suara tembakan menjadi lantunan pagi yang mengoyak ketenangan warga.

Laporan dari sumber-sumber lokal yang dikutip media independen menyebutkan bahwa di tengah serbuan tersebut, seorang pemuda Palestina tertembak, seorang anak ditangkap setelah mengalami kekerasan fisik, dan jam malam diberlakukan secara paksa di sejumlah titik. Bagi warga sipil, peristiwa ini bukan sekadar penggerebekan—ini adalah penjajahan yang menyusup hingga ke ruang-ruang domestik mereka, mencabik hak-hak paling dasar yang mestinya dijamin oleh konvensi internasional.

Kekejaman itu tak lagi bersifat sporadis. Menurut Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), gelombang operasi militer zionis sejak Januari 2024 telah memicu perpindahan paksa terbesar di Tepi Barat sejak Perang Enam Hari tahun 1967. Lebih dari 40.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka di Jenin, Tulkarm, dan sekitarnya. Ini bukan lagi tindakan militer, tapi pembersihan etnis yang dilakukan perlahan, sistematis, dan nyaris tanpa perhatian dunia.

Pernyataan UNRWA pada 5 April lalu menegaskan bahwa apa yang terjadi adalah kampanye militer terpanjang sejak Intifadah Kedua. Rumah-rumah dihancurkan, kamp pengungsi dibuldoser, keluarga diusir, dan kehidupan warga Palestina dikoyak di depan mata dunia. Namun entah kenapa, tak ada negara besar yang benar-benar mendesak pertanggungjawaban dari zionis, apalagi menerapkan sanksi yang berarti. Dunia seperti telah membiasakan diri terhadap kejahatan kolonial yang dibalut narasi keamanan.

Operasi militer ini bukan insiden terisolasi. Menurut data dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), sepanjang tahun 2023 saja, ada lebih dari 1.100 operasi militer zionis di wilayah pendudukan Tepi Barat. Jumlah korban jiwa dari pihak Palestina mencapai lebih dari 500 orang, termasuk anak-anak. Pada 2024, angka tersebut terus melonjak, terutama sejak meningkatnya eskalasi di Jalur Gaza yang kemudian “meluber” ke Tepi Barat.

Fenomena ini menggambarkan suatu pola: Israel tidak hanya ingin membungkam perlawanan bersenjata di Gaza, tetapi juga ingin menghancurkan eksistensi sosial-politik warga Palestina di Tepi Barat. Pendekatannya tidak lagi sekadar militeristik, tetapi juga administratif dan psikologis: pembatasan ruang gerak, penghancuran rumah, pencabutan izin tinggal, hingga penyitaan tanah-tanah pertanian. Semua dilakukan untuk mematahkan semangat kolektif warga Palestina agar menyerah dalam diam.

Sayangnya, narasi global yang dominan masih menyamakan konflik ini seolah antara dua pihak yang setara. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan ketimpangan ekstrem: satu pihak adalah kekuatan militer nuklir dengan dukungan Barat, sementara pihak lain adalah komunitas terjajah yang bahkan tidak memiliki kontrol atas wilayah udaranya sendiri. Menyebut ini sebagai “pertempuran” saja sudah merupakan kekeliruan moral dan intelektual.

Dalam hukum internasional, tindakan pengusiran paksa, penghancuran rumah warga sipil, dan penggunaan kekuatan militer secara membabi buta di wilayah pendudukan jelas merupakan pelanggaran. Konvensi Jenewa Keempat Pasal 49 secara eksplisit melarang kekuatan pendudukan untuk mendeportasi atau memindahkan penduduk asli dari wilayah mereka, baik secara individu maupun massal. Namun, pelanggaran ini terus berulang tanpa sanksi atau proses hukum yang berarti.

Pertanyaannya: mengapa dunia membiarkan ini terjadi? Jawaban yang paling jujur mungkin adalah karena korban dari pelanggaran ini bukan warga Eropa, bukan orang kulit putih, dan bukan bagian dari “dunia maju”. Palestina menjadi laboratorium terbuka bagi eksperimen kekuasaan kolonial yang masih hidup dalam wajah modern, berbalut legitimasi hukum dan diplomasi global. Ketika zionis bicara tentang “hak membela diri”, tak ada satu pun forum dunia yang bertanya: bagaimana bisa penjajah membela diri dari yang dijajah?

Lebih dari setengah abad, rakyat Palestina hidup dalam ketidakpastian, terjajah di tanah kelahirannya sendiri, dan menjadi pengungsi abadi. Kini, mereka bahkan tidak hanya kehilangan rumah, tetapi juga harapan. Kamp pengungsi—yang dulu menjadi tempat berlindung sementara—justru berubah menjadi target utama operasi militer. Seolah dunia ingin mengatakan bahwa tak ada tempat aman bagi warga Palestina, bahkan di tempat yang sejak awal dibangun karena mereka terusir.

Dalam konteks ini, gelombang pengungsian terbaru adalah luka yang ditorehkan dengan pisau yang sama, tetapi dengan cara yang lebih halus: tanpa headline, tanpa breaking news, dan tanpa kecaman keras dari lembaga internasional. Pembersihan etnis tak lagi dilakukan lewat satu genosida besar, tetapi lewat ribuan insiden kecil yang membuat satu demi satu keluarga Palestina terpaksa meninggalkan tanahnya untuk selamanya. Ini adalah genosida yang sunyi, namun berdarah.

Tentu, sebagian orang akan tetap bersikukuh bahwa konflik ini terlalu rumit untuk disalahkan sepihak. Namun dalam keheningan kamp-kamp pengungsi yang hancur, dalam tubuh-tubuh anak-anak yang ditarik paksa dari pelukan ibunya, dan dalam statistik UNRWA yang menunjukkan 40.000 jiwa kehilangan tempat tinggal hanya dalam beberapa bulan, tidak ada ruang lagi untuk keraguan moral. Ini bukan konflik. Ini penjajahan. Ini apartheid. Dan dunia sedang membiarkannya menang.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *