Connect with us

Opini

Tentara Israel Sudah Lelah, Gaza Tak Juga Tunduk

Published

on

Mereka bilang tentara adalah manusia baja, tak kenal lelah, tak punya rasa takut, digembleng untuk menaklukkan siapa pun yang dianggap musuh. Tapi bahkan baja pun bisa berkarat. Dan hari ini, dari jantung mesin perang paling brutal di Timur Tengah, terdengar jerit lirih yang selama ini ditelan arogansi kekuasaan: “Kami lelah.” Bukan dari bibir aktivis HAM, bukan dari rakyat Gaza yang terkepung, tapi dari Kepala Staf Militer Israel sendiri, Eyal Zamir. Dalam laporan media pada 25 Juli lalu, ia menyampaikan pada para politikus di Tel Aviv bahwa tentaranya telah “kelelahan” karena perang yang tak kunjung usai di Jalur Gaza. Bukan luka, bukan kekalahan, tapi kelelahan—sebuah kondisi yang justru paling mematikan ketika perang sudah terlalu lama tak masuk akal.

Delapan bulan tidur di dalam kendaraan lapis baja. Bukan metafora. Itulah realitas seorang prajurit Israel di Gaza. Tak perlu membayangkan dramatisasi film perang Hollywood; kenyataan sudah cukup absurd. Ini bukan sekadar kelelahan fisik—ini pembusukan mental, perlahan tapi pasti. Avi Ashkenazi, jurnalis militer dari harian Maariv, menggambarkan bagaimana pasukan mengalami penurunan tajam dalam efisiensi operasional. Ledakan amunisi yang melukai delapan tentara Israel di sebuah bangunan menjadi semacam simbol tragis: musuh tak perlu menembak untuk membuat mereka jatuh, mereka sudah mulai hancur dari dalam.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Sementara itu, di sisi yang lain, rakyat Gaza—yang tak punya tank, drone, atau bom pintar—masih berdiri, atau setidaknya, masih hidup. Bahkan dalam kelaparan. Bahkan saat dunia menutup mata. Bahkan ketika rumah-rumah mereka dijadikan puing, hari demi hari, tanpa jeda, tanpa tangis yang sempat terdengar. Di tengah reruntuhan itu, para pejuang perlawanan Palestina justru semakin berani, semakin nekat, semakin tidak bisa ditebak. Israel menyebutnya “peningkatan insiden keamanan.” Tapi bagi warga Gaza, itu bukan insiden. Itu hidup yang tak bisa dikurung.

Ironisnya, semakin kelelahan militer Israel, semakin keras kepala para pemimpinnya. Para politikus di Tel Aviv menolak mentah-mentah penilaian militer yang menyarankan bahwa operasi “Gideon’s Chariots” sudah mendekati akhir. Mereka, entah terbuai khayalan kemenangan total atau sekadar terlalu takut kehilangan muka, bersikukuh bahwa Hamas belum kalah. Bahkan ketika laporan intelijen sendiri menyebut bahwa sekitar 20.000 pejuang Palestina masih aktif—termasuk komandan dan unit-unit baru hasil rekrutmen setahun terakhir—pemerintah tetap memilih untuk melanjutkan perang yang kian absurd.

Tentu saja, selalu ada cara elegan untuk menyebut kebodohan: “Kita belum mencapai tujuan strategis,” kata mereka. Tapi di balik jargon itu, kita tahu yang terjadi sesungguhnya adalah deadlock. Israel ingin Hamas menyerah total, padahal mereka tak pernah tahu apa arti menyerah dalam kamus rakyat yang telah kehilangan segalanya. Apa yang bisa ditakutkan dari bangsa yang sudah dibunuh keluarganya, dihancurkan kotanya, dikoyak hidupnya? Apa lagi yang bisa diambil dari mereka?

Yang menarik, kelelahan ini bukan hanya milik tentara Israel. Dunia pun tampak lelah—atau pura-pura tak tahu cara bicara. PBB menyuarakan kekhawatiran, lalu kembali sibuk dengan konferensi yang entah membahas apa. Amerika? Masih setia memasok senjata dan veto. Uni Eropa? Mungkin sedang sibuk membatasi jumlah migran yang datang dari wilayah yang mereka bantu rusak. Sementara itu, kita di Indonesia—ah, kita punya cara sendiri untuk merasa terlibat: dari status WhatsApp, galang dana, sampai demonstrasi solidaritas. Tapi kadang, kita pun terjebak dalam ilusi bahwa solidaritas bisa selesai dalam satu unggahan.

Namun dari laporan ini, ada satu hal yang layak direnungkan lebih dalam: siapa sebenarnya yang menang? Israel, dengan kekuatan militer tak tertandingi, teknologi intelijen canggih, dan dukungan superpower, kini mengakui kelelahan. Sedangkan rakyat Gaza—yang bahkan roti pun tak punya—masih mampu melawan. Bukan dengan rudal, tapi dengan tekad yang tak bisa dihancurkan. Apa itu bukan kemenangan?

Dalam dunia yang menilai segalanya dari jumlah korban dan kerusakan, perlawanan Gaza adalah keganjilan. Ia tak seharusnya bertahan. Tapi justru karena itu ia jadi simbol. Bahwa bahkan di tengah kehancuran total, martabat bisa tetap berdiri. Dan dari sisi Israel, justru kekuatan yang seharusnya menjamin kemenangan berubah jadi beban. Tank yang tak bisa diparkir, pesawat yang harus terus terbang, dan tentara yang tak bisa pulang. Apa itu bukan kekalahan?

Bayangkan seorang pemuda Israel yang baru lulus wajib militer, berharap bisa melanjutkan hidup normal setelah masa tugas. Tapi kemudian diperintahkan untuk kembali ke Gaza, tidur di kendaraan baja, menghadapi musuh yang tak bisa dikenali, dan dihantui oleh rasa takut yang tak punya wujud. Sementara para jenderal dan politisi terus memainkan papan catur dari ruang dingin ber-AC, mereka harus berjaga dalam terowongan gelap, menahan napas, dan berharap peluru terakhir bukan ditujukan pada mereka.

Tentu saja, semua ini punya harga. Sejak Juni dan Juli, sedikitnya 35 tentara Israel tewas di Gaza. Jumlah itu mungkin kecil dibanding korban Palestina yang mencapai puluhan ribu. Tapi di tengah masyarakat Israel yang tak lagi yakin perang ini punya arah, tiap angka kematian menjadi titik krisis kepercayaan. Sebuah negara yang konon tak pernah kalah, kini kehilangan arah bahkan di dalam negerinya sendiri.

Dari sudut Jakarta, berita seperti ini mungkin terasa jauh. Tapi jika kita melihat lebih dekat, ada benang merah yang mengikatnya pada kita: penguasa yang tak mau mendengar kenyataan, militer yang dijadikan alat kepentingan politik, rakyat yang dijadikan tumbal atas kebijakan yang tak pernah disetujui. Apakah kita terlalu jauh untuk bisa merasa? Atau kita terlalu dekat sehingga pura-pura tak tahu?

Laporan ini bukan sekadar berita. Ia adalah potret dari sebuah bangsa yang secara fisik masih berdiri, tapi secara moral mulai runtuh. Israel mungkin belum kalah di medan tempur, tapi mereka sudah kalah dalam jiwa tentaranya. Dan jika perang adalah pertempuran kehendak, maka hari ini, di tengah bangunan yang terbakar di Gaza, kehendak itu masih hidup. Di sisi yang seharusnya sudah mati. Sementara di sisi yang mengklaim menang, justru mulai kehabisan nafas.

Akhirnya, kita bisa bertanya dengan getir: Berapa lama sebuah negara bisa bertahan ketika bahkan tentaranya sendiri ingin pulang? Berapa lama sebuah kekuasaan bisa berdiri ketika rakyatnya lelah mendukung? Dan seberapa jauh kita akan membiarkan absurditas ini terus berjalan hanya karena dunia terlalu sibuk memutar balik kamera dari realitas yang sebenarnya?

Mungkin, seperti kata jurnalis itu, sudah waktunya berhenti. Tapi pertanyaannya bukan pada militer Israel, melainkan pada kita semua: Apakah kita cukup berani untuk bilang, cukup?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer