Connect with us

Opini

Tentara Israel Saling Tembak, Ada Apa?

Published

on

Ilustrasi editorial yang menggambarkan tentara Israel saling menembak di Gaza, menyoroti kekacauan internal militer dalam perang.

Tentara Israel saling menembak. Ya, bukan berita sekadar angka atau statistik dingin. Tujuh puluh delapan jiwa tewas akibat friendly fire sejak awal perang di Gaza. Tembakan teman sendiri. Sebagian besar dari kita mungkin membayangkan pasukan Israel sebagai mesin perang tak tergoyahkan, dengan disiplin baja dan pelatihan ekstrem, tapi kenyataannya jauh lebih rapuh daripada klaim mereka. Ada apa sebenarnya? Apakah ini sekadar kecelakaan perang, atau justru cermin betapa tekanan medan tempur bisa membongkar segala klaim superioritas?

Bayangkan medan sempit Gaza, setiap bangunan bisa menjadi jebakan, setiap gang sempit menjadi perangkap. Tank, kendaraan lapis baja, dan pasukan yang seharusnya unggul, justru menjadi korban kebingungan internal. Teman sendiri bisa menjadi ancaman terbesar. Tujuh puluh delapan tewas akibat friendly fire bukan sekadar angka—itu adalah simbol rapuhnya struktur militer Israel ketika menghadapi stres, kebingungan, dan tekanan psikologis ekstrem. Tentara profesional sekalipun, di bawah kondisi seperti ini, bisa panik, salah menilai posisi teman dan musuh, dan berakhir menembak sesama.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Data resmi mengungkapkan bahwa total 899 tentara Israel tewas sejak awal perang, 455 di antaranya hanya saat ofensif darat. Lebih dari enam ribu lainnya cedera, dengan hampir seribu dalam kondisi kritis. Ini bukan sekadar statistik perang, tapi bukti bahwa operasi darat Israel jauh lebih mahal dari sisi manusia daripada yang mereka akui. Friendly fire, cedera massal, dan korban akibat perlawanan Palestina menunjukkan satu hal: meskipun Israel unggul teknologi, keunggulan itu tidak menjamin ketahanan mental pasukan. Bahkan sistem komunikasi canggih pun tak mampu mencegah tragedi internal.

Ironi dari situasi ini tidak bisa diabaikan. Israel mengklaim kekuatan mutlak, teknologi superior, dan strategi yang terencana. Tapi kenyataannya, pasukan mereka rapuh di medan yang mereka anggap bisa dikuasai. Dua tank dihancurkan oleh IED, seorang prajurit ditembak saat keluar dari Merkava, serangan mortir menimpa kendaraan di Villas Street—semua menunjukkan bahwa perlawanan Palestina, walau secara jumlah jauh lebih sedikit, mampu memanfaatkan ketidakpastian dan kesalahan koordinasi Israel untuk menimbulkan kerugian besar. Friendly fire hanyalah salah satu manifestasi dari kerentanan yang lebih luas.

Kita semua tahu, perang darat di Gaza tidak pernah sederhana. Medan sempit, padat penduduk, dan struktur kota yang kompleks membuat setiap gerakan penuh risiko. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Dalam kondisi seperti ini, panik bukan sekadar kemungkinan; ia hampir pasti terjadi. Maka, ketika tentara saling menembak, itu bukan semata-mata kelalaian individu, tapi hasil dari tekanan sistemik yang memaksa manusia menghadapi ekstremitas medan tempur. Bahkan teknologi tinggi tidak bisa menggantikan ketahanan mental dan koordinasi yang rapih.

Friendly fire juga menjadi indikator moral pasukan. Tentara yang panik, komandan yang kehilangan kontrol, publik yang menyaksikan korban meningkat—semua menciptakan atmosfer ketidakpercayaan internal. Kekacauan internal ini bukan sekadar soal korban, tapi tentang efektivitas dan legitimasi operasi militer. Netanyahu, yang sedang bergulat dengan isu politik domestik, kini harus menghadapi dilema baru: bagaimana menjual kemenangan ketika kenyataannya penuh kehilangan, kesalahan fatal, dan kekacauan internal yang nyata? Ini bukan hanya persoalan militer, tapi juga politik dan psikologi.

Dari sisi strategi, angka friendly fire ini seharusnya menjadi alarm. Pasukan Israel, yang digembar-gemborkan superior, menghadapi musuh yang “lebih lemah” dengan cara yang efektif. Mortir, IED, serangan gabungan—perlawanan Palestina bukan tentang jumlah, tapi adaptasi, kreativitas, dan presisi. Mereka memanfaatkan medan sempit, kebingungan pasukan Israel, dan keterbatasan koordinasi untuk menimbulkan kerugian besar. Setiap serangan, setiap ledakan, setiap tembakan yang mengenai kendaraan Israel adalah pengingat bahwa kekuatan mutlak itu tidak ada dalam perang asimetris.

Kita bisa membayangkan situasi ini seperti tukang ojek yang tiba-tiba diberi Ferrari untuk melintasi gang sempit di Jakarta. Kendaraan canggih, tapi pengemudi manusia tetap rentan terhadap kecelakaan. Hasilnya? Bencana menunggu. Begitu pula pasukan Israel. Teknologi dan jumlah besar tidak menjamin keselamatan ketika tekanan ekstrem, medan sulit, dan lawan yang tangguh menghadang. Friendly fire hanyalah manifestasi paling jelas dari kelemahan yang lebih dalam.

Lebih jauh lagi, fenomena ini menyingkap absurditas klaim Israel tentang superioritas militer. Di satu sisi, mereka mengklaim kontrol penuh atas medan perang; di sisi lain, tentara mereka mati oleh tangan sendiri. Ini bukan hanya ironi, tapi kritik tajam terhadap narasi kekuatan mutlak yang selama ini dikedepankan. Israel tampak kuat di permukaan, tapi rapuh ketika diuji oleh realitas medan perang yang kompleks dan perlawanan yang efektif.

Implikasi psikologisnya juga tidak bisa diabaikan. Tentara yang mengalami friendly fire pasti mengalami trauma, rasa bersalah, dan ketidakpercayaan terhadap rekan sendiri. Moral pasukan bisa menurun drastis. Selain itu, publik Israel yang menyaksikan laporan korban tinggi mungkin mulai meragukan kemampuan militer mereka, memperlemah dukungan domestik. Dalam konteks ini, friendly fire bukan sekadar tragedi internal, tapi faktor yang bisa mempengaruhi jalannya perang dan strategi politik negara.

Dari perspektif pembaca luar, terutama di Indonesia, fenomena ini juga mengajarkan banyak hal tentang perang modern. Bahwa kekuatan nyata tidak diukur dari jumlah tentara atau kecanggihan senjata, tapi dari ketahanan manusia, kemampuan adaptasi, dan kecerdikan taktis lawan. Perlawanan Palestina membuktikan hal itu. Mereka menunjukkan bahwa pihak yang tampak lemah bisa mengubah medan perang menjadi arena ketidakpastian yang mematikan bagi lawan yang lebih besar.

Saya rasa, friendly fire di Israel bukan sekadar angka tragis, tapi refleksi yang harus direnungkan: teknologi tinggi dan jumlah besar tidak otomatis menghadirkan kemenangan. Manusia, dengan segala kelemahan psikologis dan keterbatasannya, tetap menjadi faktor penentu. Ketika tentara saling menembak, itu bukan kesalahan kecil. Itu adalah simbol rapuhnya klaim superioritas, dan pengingat pahit bahwa perang selalu menuntut adaptasi, ketahanan mental, dan strategi yang matang.

Akhirnya, ketika kita menatap angka 78 tewas akibat friendly fire, ratusan cedera, dan strategi yang gagal menahan tekanan, kita menyadari satu hal: pasukan Israel bukan tak terkalahkan, dan medan perang Gaza bukan sekadar papan catur untuk pasukan elit. Ia adalah laboratorium manusia, di mana ketahanan psikologis diuji, kesalahan fatal terjadi, dan superioritas yang tampak di atas kertas bisa runtuh oleh tekanan ekstrem. Tentara Israel saling menembak. Ada apa? Adalah bukti rapuhnya klaim kekuatan, ada absurditas perang, dan ada pelajaran keras tentang batas kemampuan manusia yang tak boleh diabaikan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer