Opini
Tentara Israel Ditangkap: Dunia Mulai Melawan Impunitas

Di sebuah kota kecil bernama Boom di Belgia, dua pria berseragam—bukan penyelenggara festival, bukan pula petugas keamanan acara—ditarik keluar dari kerumunan penonton yang larut dalam dentuman musik Tomorrowland. Mereka bukan peserta biasa; mereka adalah tentara Israel, bagian dari mesin perang yang selama berbulan-bulan terakhir menggempur Gaza tanpa jeda. Ironis, bukan? Dari Gaza yang berdarah ke Boom yang berdansa. Tapi hari itu, panggung berpindah. Dentuman bass digantikan interogasi formal. Seragam militer disandingkan dengan tuduhan kejahatan perang.
Penangkapan itu, diumumkan oleh Hind Rajab Foundation (HRF) pada 21 Juli, menyibak sesuatu yang selama ini dianggap mustahil: tentara Israel benar-benar ditangkap di Eropa karena diduga melakukan kejahatan perang di Gaza. Dan bukan oleh organisasi advokasi pinggiran, tapi oleh polisi federal Belgia, lengkap dengan proses hukum resmi. Inilah momen langka ketika yurisdiksi universal bukan hanya istilah abstrak dalam buku hukum internasional, tapi senjata nyata yang membuat para pelaku pembantaian mulai menimbang ulang rencana liburan mereka ke luar negeri.
HRF dan GLAN (Global Legal Action Network) melayangkan gugatan mendesak—dan Belgia merespons. Bukan dengan sikap diplomatik basa-basi, tapi dengan borgol, interogasi, dan penyelidikan kriminal. Sebuah langkah kecil, mungkin, tapi menjadi tapal batas baru: dunia tak harus menunggu restu dari Washington untuk menuntut keadilan.
Dan di balik itu semua, satu nama kecil bersinar di antara reruntuhan Gaza: Hind Rajab. Bocah enam tahun yang menjadi simbol paling telanjang dari kekejaman zionis. Ia tak memegang senjata, tak mengenakan rompi bom, tak meneriakkan slogan politik. Ia hanya ingin hidup. Tapi tank Israel berpikir sebaliknya. Mobil yang ditumpanginya, dihujani ratusan peluru—335 lubang, tepatnya, menurut Forensic Architecture. Dua petugas medis yang mencoba menyelamatkannya? Ditembak juga. Hind dan keluarganya dibantai saat mereka menaati perintah evakuasi militer Israel. Bahkan kepatuhan pun tak cukup menyelamatkan mereka.
Apa yang terjadi di Gaza bukan lagi tragedi. Ia sudah melampaui batas bahasa. Sudah tak bisa lagi disebut “konflik” atau “operasi militer terbatas”. Ini bukan perang, ini pembantaian dengan pola yang terlalu rapi, terlalu mekanik, terlalu sering untuk sekadar disebut sebagai “kesalahan”. Tapi yang lebih menyakitkan dari peluru-peluru itu adalah kesunyian dunia. Dunia yang terlalu sibuk “mengecam dengan prihatin”, lalu kembali ke rutinitas makan malam dan konten TikTok.
Namun kini, dunia tampaknya sedikit—sedikit saja—berubah nadanya. Penangkapan dua tentara Israel ini membuat mereka, yang biasanya merasa kebal hukum, akhirnya terantuk kenyataan. Di satu sisi dunia, Gaza masih dibom, tapi di sisi lain, para pelaku mulai waswas. Apakah besok saya ditahan di bandara? Apakah foto saya sudah masuk daftar interpol? Apakah festival musik bisa berubah jadi ruang sidang? Betapa membingungkan bagi mereka, tentara dari negara yang biasa diperlakukan sebagai pengecualian hukum, kini harus menjawab pertanyaan penyelidik di negeri orang.
Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk wilayah Palestina, menyebut langkah Belgia sebagai preseden penting. Ia tahu betul apa artinya melawan sistem. Ia pernah merasakan bagaimana AS memberinya sanksi hanya karena berkata jujur tentang kejahatan Israel. Dalam dunia ini, menyuarakan kebenaran bisa jadi lebih berbahaya daripada menembakkan rudal. Tapi Francesca tetap bicara. Dan Belgia, entah karena keberanian, tekanan moral, atau kebetulan historis, kini ikut bicara.
Tentu saja, AS dan Israel tidak akan diam. Kita tahu betul bagaimana cerita ini biasanya berakhir. Negara yang mencoba menegakkan hukum terhadap tentara IDF akan segera diganjar dengan “evaluasi hubungan bilateral”, sanksi ekonomi, atau sekadar diseret dalam narasi “anti-Semit”. Jangan heran kalau dalam waktu dekat ada senator AS yang marah-marah di Capitol Hill, menyebut Belgia sebagai “negara yang mengancam stabilitas demokrasi”. Ya, karena dalam kamus mereka, demokrasi itu artinya bebas membunuh warga Gaza tanpa ditangkap di luar negeri.
Tapi justru di sinilah absurditas dunia terkuak. Penjahat perang bisa keliling dunia dengan paspor diplomatik, tapi relawan yang mengantar bantuan ke Rafah bisa ditahan atas tuduhan “mendukung terorisme”. Tank bisa menembak bocah enam tahun tanpa konsekuensi, tapi siapa pun yang menyebarkan gambar itu di media sosial bisa dilabeli “antisemit”. Dunia ini rusak. Tapi seperti retakan di dinding tua, penangkapan ini menunjukkan bahwa keruntuhan sistem impunitas itu mungkin dimulai dari celah kecil.
Di Indonesia, kita kadang berpikir ini semua terlalu jauh. Apa hubungannya festival musik di Belgia dengan warung pecel lele di pinggir Jakarta? Tapi percayalah, ini bukan soal lokasi, ini soal logika. Dunia tempat kita tinggal, adalah dunia yang bisa—dalam satu waktu—menangisi kekejaman di Gaza lalu membeli senjata dari negara yang menyediakannya. Dunia yang membangun sekolah-sekolah damai sambil berinvestasi di perusahaan produsen bom kluster. Dan Indonesia, dengan segala kepekaannya terhadap Palestina, seharusnya tidak hanya bersuara lantang di podium, tapi juga mendukung upaya-upaya hukum internasional seperti ini. Jika Belgia bisa, mengapa tidak kita?
Hari ini, dua tentara ditangkap. Besok, mungkin lebih banyak. Atau mungkin tidak. Tapi api kecil telah dinyalakan. Para pelaku mulai melihat ke belakang saat berjalan. Mulai berpikir dua kali sebelum memesan tiket ke Eropa. Mulai menghapus foto-foto mereka di Gaza. Dan mungkin, untuk pertama kalinya, mereka sadar bahwa dunia mulai muak. Bahwa genosida bukan urusan domestik. Bahwa seorang anak bernama Hind Rajab, dengan tubuh mungil dan suara kecilnya, telah menembus tembok-tembok pengabaian global.
Akhirnya, kita sampai pada pertanyaan yang tak bisa lagi dihindari: apakah dunia akan berpihak pada hukum, atau pada kekuasaan? Apakah kita akan terus membiarkan keadilan tunduk pada veto politik? Atau, seperti Belgia, kita mulai bicara dengan tindakan? Dalam gelapnya sejarah, bahkan cahaya sekecil ini bisa jadi penuntun. Tapi seperti semua cahaya, ia butuh penjaga. Sebab yang takut padanya, sedang bersiap memadamkannya.