Opini
Tentara Israel Bertaruh Nyawa, Netanyahu Bertaruh Kekuasaan

Media Israel melaporkan bahwa lebih dari 800 orang tua tentara Israel mengirimkan surat terbuka kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Mereka menuduhnya mempertaruhkan nyawa anak-anak mereka demi ambisi politik pribadi. Sebuah kritik tajam yang menguak realitas menyakitkan: pemimpin di istana nyaman sementara prajurit berlumuran darah di medan perang tanpa arah.
Surat itu bukan sekadar protes emosional, melainkan cermin bagi masyarakat Israel untuk melihat bagaimana perang menjadi panggung bagi agenda politik. Dalam surat tersebut, mereka menyebut perang ini sebagai “perang tanpa horizon,” perang yang tidak pernah memiliki tujuan jelas selain memperpanjang masa jabatan Netanyahu. Apakah bangsa ini masih harus membayar mahal demi ambisi pribadi seorang pemimpin?
Para orang tua berbicara dari lubuk hati yang terluka. Mereka melihat anak-anak mereka berangkat ke medan perang, kehilangan teman, tubuh, dan jiwa mereka. Semua atas nama perang yang disebut “perlu” oleh Netanyahu. Perang ini, kata mereka, adalah akibat dari kebijakan sembrono pemimpin yang lebih sibuk memoles citranya daripada melindungi rakyatnya.
Mereka menyoroti bahwa tujuan awal perang, yaitu mengembalikan sandera, kini terasa seperti omong kosong belaka. Netanyahu, yang gemar berpidato soal keamanan nasional, ternyata tidak lebih dari seorang pemimpin yang membiarkan para sandera menjadi alat tawar-menawar politik. Sementara itu, prajurit Israel terus bertaruh nyawa, hanya untuk melayani ilusi kepemimpinan.
Ironi semakin tajam ketika Netanyahu, dalam posisinya yang “strategis,” menikmati hidup tanpa risiko, sementara keluarga tentara menunggu kabar dari anak-anak mereka. Surat itu menuduh bahwa IDF kini hanya menjadi alat pemenuhan ambisi messianis untuk kembali ke Gaza. Perang ini telah kehilangan makna selain menjadi teater politik yang mahal dan mematikan.
Kritik ini semakin keras saat laporan menunjukkan bahwa perang tidak menghasilkan apa-apa selain kerusakan. Hamas tetap berdiri tegak, Gaza tetap menjadi medan pertempuran sengit, dan rakyat Palestina semakin terpuruk. Apa yang sebenarnya dicapai? Netanyahu mungkin satu-satunya yang merasa menang, meskipun rakyatnya mulai muak dengan kemenangan kosong ini.
Orang tua para prajurit, yang biasanya menjadi pendukung setia pemerintah, kini berbicara keras. Mereka menuntut diakhirinya perang melalui kesepakatan damai. Tetapi siapa yang mendengar? Netanyahu, yang dikepung kasus korupsi dan kehilangan dukungan politik, justru semakin keras kepala. Dia tampaknya percaya bahwa satu-satunya jalan keluar adalah melalui konflik tanpa akhir.
Masyarakat Israel, yang dulunya bersatu di bawah slogan keamanan nasional, kini terpecah. Ketika keluarga tentara mulai mempertanyakan legitimasi perang, apakah Netanyahu masih bisa memaksa bangsanya untuk mengikuti narasi heroiknya? Kritik ini mungkin adalah tanda awal dari keruntuhan sebuah ilusi yang telah lama menopang pemerintahannya.
Di medan perang, para tentara bertarung tanpa semangat. Laporan menyebutkan bahwa kelelahan fisik dan mental mulai melumpuhkan pasukan Israel. Mereka tahu, sebagaimana diketahui juga oleh para orang tua mereka, bahwa perang ini tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk dilanjutkan. Mereka bertarung untuk tujuan yang bahkan pemerintah mereka sendiri tidak mampu mendefinisikan.
Pada akhirnya, surat ini adalah tamparan keras bagi Netanyahu. Sebuah pengingat bahwa keamanan nasional bukanlah papan catur untuk permainan politik. Tetapi, bagi seorang pemimpin yang hidup di atas ilusi, apakah tamparan ini akan menyadarkannya? Atau apakah perang ini hanya akan menjadi babak lain dalam tragedi panjang bangsa yang terus mengorbankan masa depan demi ambisi seorang pria?