Connect with us

Opini

 Tentara Impor: Sinyal Panik Israel

Published

on

Sulit membayangkan sebuah negara yang selama puluhan tahun membanggakan diri sebagai kekuatan militer nomor wahid di kawasan, kini harus membuka pintu bagi rekrutan dari luar negeri hanya demi menambal lubang di barisan tentaranya. Tetapi inilah ironi yang tengah berlangsung. Radio militer Israel sendiri yang membocorkan bahwa mereka sedang menimbang untuk merekrut 600 hingga 700 pemuda Yahudi per tahun dari luar negeri, dengan Amerika Serikat dan Prancis sebagai ladang utama. Kedengarannya sederhana, tetapi jika kita merenung lebih dalam, langkah ini adalah pengakuan telanjang bahwa tubuh militer Israel sedang sakit parah.

Sakit yang dimaksud bukan sekadar luka akibat pertempuran. Lebih dalam: ini adalah krisis legitimasi, krisis sosial, dan krisis moral. Bagaimana tidak, sebuah negara yang memaksa diri terjun ke begitu banyak front—Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Suriah, bahkan merambah ke Yaman dan Iran—ternyata tak lagi mampu menyuplai prajurit dari dalam negeri sendiri. Angka-angka yang dipublikasikan bukan sekadar statistik dingin. Kekurangan 10–12 ribu personel, 14.600 orang yang dianggap desersi, lebih dari 3.700 tentara mengalami PTSD, 54 bunuh diri (16 di antaranya hanya dalam tahun ini). Ini bukan tanda kekuatan, ini tanda sebuah mesin perang yang kehabisan pelumas.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Saya rasa kita semua tahu, istilah “lone soldiers” yang mereka sematkan hanyalah upaya romantisasi. Seakan-akan para remaja diaspora Yahudi yang datang setelah SMA atau lulus kuliah adalah pahlawan yang menjawab panggilan sejarah. Padahal realitasnya, mereka adalah tentara impor. Didatangkan karena di dalam negeri, rakyatnya sendiri enggan. Kaum Haredi menolak wajib militer dengan alasan pengabdian pada studi agama di yeshiva, sementara kelompok lain sudah muak merasa menjadi “mesin perang” sementara sebagian warga hanya menerima subsidi tanpa turun ke medan tempur.

Di sini kita menemukan absurditas yang paling kental. Sebuah negara yang dengan lantang menyebut diri demokratis, justru mempertahankan diskriminasi internal yang akut. Keputusan Mahkamah Agung 2024 yang mencabut pengecualian wajib militer bagi kaum Haredi membuat Netanyahu terjepit. Jika ia memaksa Haredi masuk barak, koalisi rapuhnya bisa ambruk. Jika ia tetap memberi kelonggaran, keresahan warga sekuler dan non-Haredi akan semakin dalam. Maka solusi instan yang muncul adalah: ambil dari luar. Import tentara.

Tetapi apa risikonya? Pertama, secara moral, Israel sedang menempatkan dirinya dalam posisi yang semakin sulit di mata dunia. Sudah banyak kecaman internasional soal agresi brutalnya di Gaza, kini mereka justru berusaha mengajak pemuda diaspora untuk ikut serta. Artinya, mereka memperluas lingkaran keterlibatan. Bahkan di Amerika Serikat, seorang veteran IDF yang baru kembali dari Gaza menjadi sasaran serangan. Mobil keluarganya dibakar, jalanan di depan rumahnya dicoret dengan kata-kata “murderer” dan “DEATH TO THE IDF.” Jika tren ini berkembang, rekrutmen diaspora justru akan menjadi bumerang, melahirkan resistensi di tanah air mereka sendiri.

Kedua, secara politik jangka panjang, langkah ini berpotensi merusak relasi diaspora dengan negara-negara tempat mereka tinggal. Seorang remaja Yahudi di New York atau Paris yang mendadak “dipanggil” untuk membela Israel, bisa memicu gesekan sosial di masyarakat yang kian kritis terhadap genosida di Gaza. Kita bisa bayangkan: seorang anak tetangga mendadak pulang ke rumah dengan seragam tentara yang baru saja membombardir Rafah. Bukankah itu akan memicu rasa tidak nyaman, bahkan permusuhan di lingkungan sekitarnya?

Ketiga, dari sisi militer sendiri, ketergantungan pada tentara impor bukanlah solusi berkelanjutan. Diaspora yang datang biasanya muda, emosional, digerakkan oleh propaganda ideologis, tetapi tidak memiliki ikatan langsung dengan tanah yang mereka klaim bela. Loyalitas mereka rapuh. Begitu pengalaman pahit di medan perang menghantam—PTSD, kematian rekan, atau sekadar kekecewaan pada realitas perang—mereka bisa dengan mudah putus hubungan dan kembali ke negeri asal. Akibatnya, investasi militer yang sudah dikeluarkan Israel untuk melatih mereka justru mubazir.

Ada satu analogi sederhana yang bisa kita gunakan: sebuah perusahaan besar yang dulu gagah dan penuh prestasi, kini kehabisan karyawan karena terlalu banyak yang resign. Daripada memperbaiki budaya kerja di dalam, ia justru memilih menarik pekerja magang dari luar negeri dengan janji manis. Mungkin dalam jangka pendek produksi tetap berjalan, tetapi apa jadinya jika para magang itu sadar bahwa perusahaan tempat mereka bekerja penuh eksploitasi dan kebangkrutan moral? Tentu mereka akan pergi, bahkan mungkin menjadi pengkritik paling keras setelah keluar.

Begitu pula dengan militer Israel. Mengimpor tentara bukanlah solusi, tetapi cermin dari kepanikan. Kita bisa membaca ini sebagai tanda awal keruntuhan: ketika sebuah mesin perang harus mengandalkan tenaga luar, berarti internalnya sudah retak. Apalagi jika tenaga luar itu tidak datang dengan semangat yang murni, melainkan karena propaganda atau insentif politik. Seiring waktu, mereka akan menjadi titik lemah.

Saya kira ada satu hal yang jarang disebut: efek psikologis bagi warga Israel sendiri. Apa jadinya jika warga yang selama ini rela mati-matian membela negara, melihat bahwa pasukan dari luar negeri mulai didatangkan untuk mengisi barisan? Bukankah itu akan melukai rasa kebangsaan mereka? Bukankah akan muncul perasaan, “Mengapa anak saya harus mati di Gaza, sementara anak diaspora hanya datang sebentar lalu mendapat hak istimewa yang sama?” Situasi ini bisa memperuncing jurang sosial di antara mereka sendiri.

Ironi makin kentara ketika kita melihat Kongres Amerika berusaha memberi perlakuan khusus kepada warga AS yang bergabung dengan tentara Israel—perlakuan yang bahkan tidak pernah diberikan kepada warga yang bergabung dengan militer asing lain. Ini bukan hanya standar ganda, tetapi bentuk nyata subordinasi kebijakan Amerika pada lobi pro-Israel. Seolah darah pemuda Amerika lebih pantas ditumpahkan di Gaza ketimbang di tanah air mereka sendiri.

Di ujungnya, kita harus berani menyebut ini sebagai sinyal panik. Israel bukan lagi mesin perang yang kokoh, melainkan sebuah entitas yang terengah-engah, meminjam napas dari luar demi bertahan. Tetapi meminjam napas bukan berarti hidup lebih lama, apalagi jika napas itu sendiri penuh risiko konflik dengan komunitas internasional dan perpecahan internal diaspora. Jangka panjangnya, ini justru mempercepat erosi legitimasi.

Dan ketika sebuah negara yang selama ini bergantung pada mitos kekuatan militer tiba-tiba kehilangan mitos itu, runtuhnya bukan sekadar di medan tempur. Ia runtuh di benak orang-orangnya sendiri, di hati diaspora yang mulai enggan, dan di mata dunia yang semakin muak. Tentara impor mungkin bisa mengisi barisan untuk sementara, tetapi mereka tidak bisa menyelamatkan sebuah negara dari kehancuran moral dan politik yang sudah terlalu dalam.

2 Comments

2 Comments

  1. Pingback: General’s Plan: Gaza dalam Pengepungan Mematikan

  2. Pingback: Israel Krisis: Warga Migrasi Massal ke Kanada

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer