Opini
Tentara Bayaran, Mineral, dan Damai Ala Trump

Di dunia yang katanya semakin modern, kadang kita dipaksa menonton ulang film lama dengan pemeran berbeda. Ukraina hari ini, misalnya, bukan hanya panggung perang, tetapi juga panggung absurd di mana ide-ide usang dibungkus ulang dengan jargon baru. The Telegraph melaporkan rencana damai Donald Trump, dan entah mengapa, yang tercium bukan aroma perdamaian, melainkan bau anyir kontrak bisnis, tentara bayaran, dan janji politik murahan. Damai jadi semacam dagangan di pasar malam, dengan bonus lampu kelap-kelip dan mikrofon yang kadang macet.
Rencana Trump terlihat seperti sulapan: tanpa mengirim tentara reguler AS, tetapi tetap menaruh orang-orang bersenjata Amerika di tanah Ukraina. Caranya? Gunakan perusahaan militer swasta. Orang-orang berpaspor Amerika yang dibayar, bukan oleh sumpah negara, tapi oleh kontrak dolar. Kita pernah lihat di Irak dan Afghanistan—dan kita tahu bagaimana kisah itu berakhir. Kekacauan, skandal, dan korban sipil yang tak pernah masuk hitungan resmi. Trump mungkin bisa menjualnya pada para pendukung MAGA sebagai “win-win”, tapi bagi kita yang pernah menyaksikan bagaimana Blackwater beroperasi, ini hanya cerita lama yang dibungkus ulang dengan pita baru.
Yang lebih menarik—atau lebih tepatnya menggelikan—adalah justifikasi di balik ide itu. Seorang sumber di Whitehall bilang, keberadaan “paspor Amerika di tanah Ukraina” akan menjadi penangkal bagi Putin. Seolah-olah paspor biru Amerika punya kekuatan mistis, membuat Kremlin tiba-tiba mengurungkan niat. Logika ini terdengar seperti nasihat kakek yang bilang bawang putih bisa mengusir vampir. Padahal, dalam politik internasional, paspor hanyalah selembar kertas; bom dan misil tetap berbicara lebih lantang.
Namun, Trump tak berhenti di situ. Dia tahu betul bagaimana menjual mimpi pada pengusaha dan politisi: tambahkan kata “rare earth minerals.” Ukraina disebut punya kekayaan mineral langka yang dibutuhkan dunia teknologi, dari baterai hingga pesawat tempur. Jadi, rencana damai ini bukan hanya soal menghentikan perang, tapi juga membuka tambang. Saya rasa kita semua paham: jika damai ditukar dengan tambang, maka yang sesungguhnya sedang dinegosiasikan bukanlah perdamaian, melainkan konsesi ekonomi. Lagi-lagi, politik berubah jadi etalase dagang, dan rakyat Ukraina hanya figuran yang dipaksa ikut bertepuk tangan.
Eropa, tentu saja, diminta membayar sebagian besar tagihan. Beli sistem pertahanan buatan Amerika, biayai Ukraina, bahkan kirim pasukan penjaga perdamaian. Sementara itu, keuntungan penjualan senjata tetap masuk ke kantong Washington. Dari kacamata dagang, ini strategi jenius. Dari kacamata moral, ini pemalakan dengan cara diplomatis. Saya teringat kebiasaan di kampung: ada orang yang pura-pura membantu tetangga membangun rumah, tapi syaratnya tetangga harus belanja semua bahan bangunan di tokonya. Akhirnya, rumah memang jadi, tapi siapa yang sebenarnya untung?
Lucunya, di tengah skema besar itu, Trump sempat melontarkan ide menghadirkan pasukan perdamaian dari Tiongkok. Ya, Tiongkok. Bisa kita bayangkan wajah para diplomat Eropa yang tiba-tiba tercekat mendengar usul itu. Ukraina jelas menolak, Eropa mengernyit, tapi Trump tetap mengujinya. Seperti anak kecil yang melempar ide aneh hanya untuk melihat reaksi orang dewasa. Di sini absurditasnya semakin jelas: damai bukan tujuan, melainkan alat tawar-menawar politik, bahkan kadang hanya sekadar bahan humor politik kelas internasional.
Tak heran jika Eropa mulai gelisah. Menurut Axios, sebagian pemimpin Eropa justru dianggap oleh Gedung Putih sebagai penghalang damai karena mendorong Ukraina untuk menunggu “kesepakatan lebih baik.” Artinya, Eropa tak mau buru-buru mengalah hanya demi kepentingan politik jangka pendek Trump. Tapi di mata Washington, sikap itu justru membuat perang berlarut. Inilah yang menarik: AS menuduh Eropa memperpanjang konflik, sementara Eropa melihat AS mencoba memaksakan jalan pintas yang tak realistis. Sama-sama mengklaim demi perdamaian, tapi hasilnya justru saling tuding.
Trump sendiri tampak frustrasi. Dalam rapat kabinet, dia bahkan berkata, “Everybody is posturing. It’s all bullshit.” Kalimat yang mungkin jujur, tapi sekaligus ironis. Bukankah dia sendiri sedang berpostur? Bukankah seluruh rencananya penuh dengan panggung, retorika, dan janji yang belum tentu bisa ditepati? Rasanya seperti pemain sulap yang tiba-tiba membongkar triknya di tengah pertunjukan, tanpa sadar bahwa dia pun bagian dari trik itu.
Sementara itu, di lapangan, perang tetap berjalan. Rudal Rusia masih menghantam Kiev, drone Ukraina menyerang kilang minyak Rusia, dan korban terus berjatuhan. Kontras sekali dengan rencana damai yang dibicarakan di ruangan ber-AC ribuan kilometer dari garis depan. Rakyat Ukraina tak pernah benar-benar punya kursi di meja negosiasi ini; yang bicara hanyalah Washington, Moskow, dan Eropa, masing-masing dengan kalkulasi untung rugi. Ukraina jadi semacam papan catur, dan Zelensky hanyalah pion yang terkadang dipuji, terkadang ditekan.
Saya rasa, kita di Indonesia pun bisa merasakan absurditas ini. Betapa sering rakyat jadi korban kebijakan elitis yang katanya demi kepentingan nasional, padahal ujung-ujungnya demi proyek, demi kontrak, demi tambang. Dari Papua hingga Kalimantan, kita tahu cerita itu. Maka ketika kita membaca bahwa perang di Ukraina bisa “didamaikan” dengan skema yang sarat bisnis, kita tak terlalu kaget. Kita sudah kenal pola semacam itu. Bedanya, di sini yang bermain bukan pejabat lokal, melainkan Trump dan Putin, dengan Eropa sebagai sponsor yang setengah ikhlas.
Jika ditanya apakah rencana ini bisa berhasil, jawabannya lebih dekat pada dongeng ketimbang realitas. Eropa tak sepenuhnya percaya pada Trump; Rusia tak percaya pada Barat; dan Ukraina tak mungkin mau menggadaikan kedaulatannya hanya untuk memberi Trump bahan kampanye. Akhirnya, yang lahir mungkin bukan damai, melainkan “perang beku”—sebuah status quo yang dipoles agar tampak seperti kemenangan. Trump bisa pulang kampanye dengan slogan “I brought peace,” sementara di Ukraina, bunyi ledakan mungkin hanya berkurang, bukan benar-benar hilang.
Inilah ironi terbesar: damai yang dipromosikan atas nama rakyat, justru didefinisikan oleh mereka yang duduk jauh dari medan perang. Tentara bayaran, mineral langka, skema bisnis, semua berputar di meja rapat. Sedangkan di desa-desa Ukraina, anak-anak tetap bertanya kapan mereka bisa sekolah tanpa suara sirene. Sama seperti anak-anak di Gaza yang bertanya kapan malam bisa kembali tenang. Damai ternyata mahal—bukan karena sulit diwujudkan, tapi karena selalu dijadikan komoditas oleh para penguasa.
Maka, jika ada pelajaran yang bisa kita tarik, mungkin sederhana saja: waspadai mereka yang terlalu cepat menjual kata “damai.” Sebab sering kali, di balik kata manis itu, terselip kontrak dagang, saham tambang, atau sekadar ambisi politik. Dan jika kita masih juga percaya bahwa perdamaian bisa datang dari tentara bayaran, maka sebenarnya yang kita tunggu bukanlah damai, melainkan babak baru dari tragedi lama.
Sumber:
- https://english.almayadeen.net/news/politics/trump–europe-discuss-deploying-private-army-to-ukraine–tel
- https://english.almayadeen.net/news/politics/trump-officials-say-europe-secretly-blocking-end-to-ukraine