Opini
Tawanan Kirim Pesan, Netanyahu Kirim Tentara

Sebuah video terbaru yang dirilis oleh Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, kembali menampilkan dua tawanan Israel yang mengirimkan pesan putus asa. Mereka berbicara dengan suara yang menggambarkan kelelahan dan ketakutan, memohon agar suara mereka didengar. Tapi seperti biasa, telinga Netanyahu lebih kedap dari dinding beton bunker yang ia sembunyikan. Ia tak peduli, tak terganggu, seolah-olah yang berbicara bukanlah rakyatnya sendiri, tetapi hanya suara angin lalu.
Para tawanan dalam video itu tidak menyebut nama, hanya nomor. “Saya tahanan nomor 21,” kata yang satu. “Saya tahanan nomor 22,” lanjut yang lain. Mereka tidak memohon pada Hamas. Tidak ada paksaan dalam kata-kata mereka, begitu yang mereka tegaskan. Mereka berbicara kepada pemerintah mereka sendiri, kepada Netanyahu yang terus menerus menjadikan perang sebagai prioritas di atas nyawa mereka. Tapi entah karena tuli atau memang tak peduli, Netanyahu tak mengindahkan jeritan mereka. Mungkin baginya, tawanan itu hanyalah bidak catur yang bisa dikorbankan untuk memperpanjang permainannya.
Sebelum gencatan senjata yang berakhir pada 19 Januari, kehidupan para tawanan itu berada di ambang kehancuran. Tidak ada makanan, tidak ada tempat aman. Mereka hidup dalam kondisi yang hampir tak layak bagi manusia. Tapi setelah kesepakatan sementara itu tercapai, sesuatu berubah: mereka mendapatkan makanan, perawatan, dan kondisi mereka membaik. Bukan karena Israel, tetapi karena Hamas membuka akses. Sayangnya, Israel justru memilih untuk menutup kembali pintu harapan itu dengan bom dan misilnya. Seolah-olah, memastikan warganya tetap dalam bahaya adalah bagian dari strategi politik Netanyahu.
Pada 18 Maret, Israel kembali melakukan serangan udara di Gaza. Dan serangan itu hampir membunuh mereka. “Kami melihat kematian di depan mata,” kata seorang tahanan dalam video tersebut. Ketakutan mereka nyata, begitu pula bahaya yang mereka hadapi. Namun, pemerintah Israel tetap dengan strategi “hancurkan dulu, pikirkan nanti.” Setiap bom yang dijatuhkan bukan hanya menghancurkan bangunan, tapi juga membunuh harapan para tawanan untuk kembali ke keluarga mereka. Netanyahu tampaknya lebih suka menambah daftar korban daripada menambah daftar solusi.
Ini bukan pertama kalinya Hamas merilis video semacam ini. Sudah berkali-kali para tawanan Israel mengirim pesan putus asa. Namun, seperti déjà vu yang mengerikan, Netanyahu tetap bersikeras pada strategi brutalnya. Tidak ada negosiasi, tidak ada diplomasi. Hanya kehancuran yang terus dipertontonkan kepada dunia. Para keluarga tawanan berulang kali mendesak pemerintah untuk mencari solusi, tetapi Netanyahu lebih sibuk menghitung jumlah rudal yang harus ditembakkan ke Gaza. Seakan-akan, rudal lebih berharga dari nyawa warganya sendiri.
Ironisnya, tidak semua orang di Israel mendukung kebijakan ini. Empat puluh mantan tawanan dan 250 keluarga korban telah menandatangani surat terbuka yang mendesak Netanyahu untuk berhenti berperang dan kembali ke meja perundingan. Mereka tahu bahwa terus membombardir Gaza hanya akan berakhir dengan kematian lebih banyak tawanan. “Tekanan militer hanya membunuh sandera dan menghilangkan jejak tubuh mereka,” begitu bunyi surat itu. Tapi Netanyahu tampaknya lebih takut kehilangan elektabilitasnya daripada kehilangan warganya. Lebih baik citra dirinya tetap garang daripada menyelamatkan nyawa warganya yang sedang ketakutan.
Fakta bahwa 41 tawanan telah terbunuh di Gaza seharusnya cukup untuk menyadarkan siapa pun yang memiliki akal sehat. Mereka bukan tentara, bukan pejuang, hanya warga sipil yang ditawan akibat kebijakan pemerintah mereka sendiri. Jika Netanyahu benar-benar peduli pada warganya, ia seharusnya memilih jalur negosiasi, bukan eskalasi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Setiap permohonan untuk gencatan senjata direspons dengan serangan udara yang lebih intens. Setiap tuntutan perdamaian dijawab dengan lebih banyak bom. Seakan-akan, semakin banyak kematian, semakin puas Netanyahu.
Kini, dua tawanan terbaru yang muncul dalam video itu menegaskan apa yang sudah lama diketahui banyak orang: Israel lebih memilih melanjutkan perang daripada menyelamatkan rakyatnya. “Cukup sudah pemerintah membungkam suara kami!” seru mereka dalam video. “Biarkan para mantan tawanan berbicara!” Tapi Netanyahu tampaknya lebih suka membungkam suara-suara itu, membiarkan mereka mati dalam sunyi, terkubur di bawah reruntuhan yang diciptakan kebijakannya sendiri. Seolah-olah nyawa mereka bukan lagi bagian dari negaranya, melainkan sekadar angka statistik dalam laporan perang.
Mereka juga menyerukan kepada Ohad, mantan tawanan yang telah dibebaskan dalam pertukaran sebelumnya, untuk angkat bicara. “Ohad, mengapa kau diam? Kau tahu apa yang kami alami!” Ini adalah sebuah tuduhan tersirat yang sangat jelas: ada kebenaran yang sengaja ditutup-tutupi. Israel tidak hanya mengabaikan para tahanan, tetapi juga membungkam mereka yang telah bebas agar dunia tidak tahu bagaimana sebenarnya perlakuan Hamas terhadap mereka. Mungkin karena jika Ohad berbicara, akan semakin banyak kebohongan yang terungkap.
Netanyahu mungkin berpikir bahwa dengan terus-menerus menebar bom di Gaza, dia akan meraih kemenangan. Tapi sejarah telah membuktikan bahwa perang tak selalu berakhir dengan kemenangan absolut. Terkadang, perang hanya berujung pada kehancuran tanpa pemenang. Netanyahu bisa saja terus membunuh, tapi setiap bom yang dijatuhkan hanya akan memperpanjang daftar dosa yang akan ditulis dalam sejarah. Setiap nyawa yang hilang adalah satu baris dalam biografi politiknya yang kelam.
Sementara Netanyahu terus mengabaikan para tawanan, tekanan dari dunia internasional semakin meningkat. PBB, organisasi kemanusiaan, dan bahkan sekutu Israel sendiri mulai mempertanyakan kebijakan perang yang tak berujung ini. Demonstrasi di berbagai kota besar di dunia menuntut gencatan senjata dan pertukaran tawanan, tetapi Netanyahu tetap bersikeras bahwa perang adalah satu-satunya jalan. Seberapa lama ia bisa bertahan dengan kebijakan yang tidak manusiawi ini?
Dunia juga mulai melihat adanya kebuntuan politik di dalam Israel sendiri. Netanyahu menghadapi tekanan dari oposisi, yang menilai bahwa strategi militernya bukan hanya gagal menyelamatkan tawanan, tetapi juga menghancurkan posisi Israel di panggung internasional. Kepercayaan publik terhadap kepemimpinannya mulai goyah. Para keluarga tawanan terus meneriakkan kemarahan mereka di jalanan Tel Aviv, mendesak pemerintah untuk bertindak sebelum lebih banyak nyawa melayang.
Pertanyaannya sekarang, sampai kapan Netanyahu akan menutup telinga? Sampai kapan ia akan mengorbankan warganya demi ambisi politiknya? Sampai kapan dunia akan terus membiarkan tragedi ini berlangsung? Para tawanan telah berbicara. Mereka telah meminta tolong. Namun, Netanyahu tetap sibuk dengan agendanya sendiri, seolah-olah nyawa mereka tidak lebih dari angka dalam laporan perang. Seolah-olah mereka hanyalah pion dalam permainan catur yang dimainkan seorang pria yang lebih mencintai kekuasaannya daripada rakyatnya sendiri.