Opini
Taruhan 3% Ursula: Dompet Eropa vs. Hantu Rusia

Pada hari Selasa yang muram di Parlemen Eropa, Ursula von der Leyen, sang diva Komisi Eropa, melepaskan petasan verbal: “Belanja pertahanan harus di atas 3%!” serunya, suaranya bergema seperti sirene perang. Dua persen katanya tak cukup, Rusia mengintai, dan ilusi damai sudah ambruk. Tapi, di tengah ekonomi yang terhuyung, apakah ini keberanian atau sekadar aksi bunuh diri finansial?
Laporan itu terasa seperti skrip film dystopia murahan. “Putin tak bisa dipercaya, hanya bisa ditakuti,” teriak Ursula, seolah tank Rusia sudah nongkrong di kafe Brussels. Eropa, katanya, harus bangkit dari tidur nyenyak dan membuang duit untuk senjata. Tapi dengan ekonomi yang rapuh, apakah ini langkah epik atau cuma drama overakting dengan akhir tragis?
Mari kita ambil pisau analisis—Risiko dan Cost-Benefit—untuk mengiris ide ini. Bayangkan Eropa sebagai pasien tua di ranjang sakit: dompetnya kempis, napasnya tersengal, tapi dokter Ursula ngotot menyuntikkan steroid militer. Apa yang dipertaruhkan? Apa yang didapat? Dan mengapa ini terasa seperti komedi kelam dengan tiket masuk miliaran euro?
Eropa bukan lagi raksasa ekonomi yang gagah. Inflasi di Eurozone mencapai 10% pada 2022, dan meski melambat, masih menggerogoti daya beli. Utang publik Italia sudah 150% dari PDB, Spanyol 120%, menurut Eurostat. Ursula ingin tambah 1%—miliaran euro—untuk tank? Risiko ekonomi? Tinggi sekali. Negara-negara ini bisa kolaps di bawah utang yang makin menggunung. Dan itu bukan sekadar ancaman di atas kertas; Yunani pernah memangkas anggaran sosial demi austeritas 2010—hasilnya? Aneka protes dan bom molotov meledak di Athena. Eropa seolah lupa sejarahnya sendiri.
Bayangkan dampaknya: anggaran kesehatan dan pendidikan dipangkas, semua demi jet tempur. Ursula mungkin bermimpi jadi panglima perang, tapi rakyat tak mau jadi prajurit dengan perut kosong dan sekolah ambruk. Dan bukan hanya Yunani, Prancis pun mengalami hal serupa saat demo gilets jaunes pecah akibat pajak bahan bakar. Jika ini pola yang berulang, seberapa besar probabilitas Eropa tenggelam dalam kerusuhan massal?
Lihat sejarah: Uni Soviet di era Perang Dingin menghabiskan 15% PDB untuk militer—ekonominya hancur, rakyat antre roti, dan akhirnya bangkrut 1991. AS di era Reagan naikkan belanja militer jadi 6% PDB—utang melonjak, tapi ekonomi mereka lebih kuat dari Eropa sekarang. Ursula ingin tiru? Eropa tak punya otot fiskal untuk petualangan ini. Dan yang lebih ironis, mereka juga tak punya satu suara dalam kebijakan ini.
Risiko geopolitik juga mengintai—mengguncang Rusia bukan mainan. Ursula bilang Putin cuma bisa ditakuti, tapi bagaimana kalau Rusia balas? Serangan siber Stuxnet ala Rusia lumpuhkan Estonia 2007, dan SolarWinds 2020 bikin geger UE. Ini bukan teori konspirasi; ini sudah pernah terjadi. Probabilitas balasan? Tinggi. Dampaknya? Listrik padam, bank kacau—Eropa bisa jadi korban cyberwar yang mereka undang sendiri. Sebuah skenario yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar tank di perbatasan.
Tapi ancaman Rusia itu sendiri perlu dicerna dengan lebih tenang. Ursula menggambarkan Putin sebagai raksasa tak terkalahkan, tapi ekonomi Rusia cuma 1,5 triliun dolar—setara Italia—dibanding UE 17 triliun, kata Bank Dunia. Sanksi Barat dan demografi yang menua bikin mereka pincang. Hantu ini dilebih-lebihkan—mungkin trik Ursula untuk membenarkan anggaran sintingnya? Jika benar-benar ingin membangun strategi pertahanan, bukankah lebih masuk akal fokus pada ketahanan energi dan infrastruktur digital, ketimbang membeli lebih banyak tank?
Politik internal UE jadi ranjau berikutnya. Ini bukan klub solidaritas; ini 27 egois dengan dompet beda ukuran. Polandia mungkin bersorak, tapi Prancis dan Jerman, yang harus menanggung beban terbesar, akan berhitung ulang. Negara-negara kecil takkan senang dipaksa ikut balapan senjata, sementara Jerman menghitung kerugian. Jika kebijakan ini menciptakan jurang antara negara-negara kaya dan miskin di UE, apakah Ursula benar-benar sedang memperkuat Eropa, atau justru merusaknya dari dalam?
Kalau negara-negara kecil menolak, apa berikutnya? Sanksi dari Brussels? Atau debat tak berujung sampai semua lupa kenapa kita bertengkar? Prancis 2018-2019 dilanda protes massal gegara ekonomi—bayangkan kalau pajak militer ditambah. Ursula mungkin ingin satukan Eropa, tapi ini bisa jadi resep pecah-belah, dengan bonus kerusuhan di Paris atau Madrid.
Sekarang ke Cost-Benefit—apa yang Eropa korbankan? Biaya finansialnya brutal: miliaran euro yang bisa dipakai untuk turbin angin atau rumah sakit kini dialihkan ke bom. Dengan defisit rata-rata UE di 4% PDB, menurut Eurostat, ini seperti menari di tepi jurang. Ekonomi yang sudah sesak napas bakal megap-megap lebih kencang.
Biaya sosialnya lebih ngeri. Warga Berlin atau Lisbon harus pilih: bayar listrik atau pajak untuk kapal perang? Spanyol 2012 demo besar gegara pemotongan anggaran publik—tambahkan beban militer, dan jalanan bakal membara. Ketidakpuasan akan meledak—mogok, protes, mungkin revolusi kecil. Ursula bilang ini demi keamanan, tapi rakyat tak peduli kalau tagihan numpuk.
Lalu manfaatnya? Ursula janji deterrence: Rusia akan takut, lalu duduk manis. Tapi Putin mungkin cuma terkekeh melihat Eropa bersenjata sambil ekonominya ambruk. Ekonomi Rusia tumbuh cuma 1% tahunan, kata IMF—mereka tak sehebat narasi Ursula. Manfaat ini terasa seperti dongeng—indah di pidato, tapi rapuh di dunia nyata.
Ada harapan kecil: industri pertahanan bisa jadi mesin uang. Pabrik senjata di Prancis atau Jerman berderum, pekerja senang, ekonomi berputar. Tapi ini butuh waktu dan duit awal—sesuatu yang UE tak punya sekarang. Manfaat jangka panjang ini cuma kilatan di tengah badai risiko, seperti lilin di tengah tornado.
Jadi, apa hasilnya? Biaya: ekonomi terpuruk, rakyat marah, Rusia tersulut—dengan bonus cyberattack dan kerusuhan. Manfaat: deterrence yang mungkin cuma ilusi dan industri yang belum tentu bangkit. Ini seperti membeli asuransi kebakaran dengan membakar rumah sendiri—logikanya bengkok. Ursula punya visi, tapi dompet Eropa tak sanggup bayar.
Narasinya penuh drama: “Waktu ilusi habis!” seru Ursula, seolah Eropa adalah benteng terakhir melawan Sauron dari Moskow. Tapi ini bukan film epik. Eropa yang pincang tak bisa jadi Sparta dengan menabuh genderang perang. Risiko jauh lebih besar dari manfaat yang ia umbar dengan gaya teater.
Kenapa tak pilih jalan tengah? Manfaatkan NATO, bagi beban, bangun kemandirian perlahan. Tapi tidak, Ursula ingin Eropa jadi superhero sekarang, meski kostumnya robek dan baterainya habis. Ini bukan strategi—ini arogansi dibalut kepanikan.
Bayangkan Ursula di podium, meneriakkan “3% atau mati!” sementara Jerman menghitung rugi, Italia mengeluh, dan Rusia memesan popcorn. Sejarah akan mencatat langkah ini, tapi rakyat Eropa yang akan membayar harga nyatanya.