Connect with us

Opini

Tarif Trump, Titik Balik Tatanan Ekonomi Dunia

Published

on

Langit ekonomi dunia kembali mendung. Di balik meja-meja bundar diplomasi, percakapan yang semula hangat berubah dingin. Ketegangan melintas dari ruang rapat ke lantai bursa, dari pusat pemerintahan ke pelabuhan-pelabuhan dagang. Dunia menyaksikan lahirnya babak baru dalam perang dagang global—bukan sekadar benturan tarif, melainkan pertarungan visi dan dominasi. Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Donald Trump, mengguncang poros perdagangan dengan langkah sepihak yang mengundang reaksi berantai dari sekutu dan pesaing.

Tarif 10% atas semua impor ke AS menjadi pemantik utama. Namun, beban sebenarnya lebih besar bagi Uni Eropa (20%) dan China (34%). Dari Paris hingga Beijing, dari Ottawa hingga Moskwa, respons langsung bermunculan. Menteri Ekonomi Prancis, Eric Lombard, mengisyaratkan bahwa UE tengah menyiapkan “paket respons” yang bukan hanya soal tarif. China, jauh dari sikap defensif, langsung mengimbangi dengan tarif identik dan pelarangan ekspor logam tanah jarang. Kanada, melalui Menteri Luar Negeri Melanie Joly, menegaskan bahwa hubungan dengan AS “tak akan sama lagi.”

Langkah proteksionis ini mencerminkan wajah ekstrem dari semboyan “America First.” Trump menuding para mitra dagang sebagai pelaku eksploitasi pasar AS. Bahkan Dmitry Medvedev dari Rusia menyindir retorika itu di kanal Telegram miliknya. Ironisnya, negara-negara yang justru menjadi korban utama adalah sekutu-sekutu terdekat AS. Kanada, misalnya, tercatat membeli lebih banyak produk AS dibandingkan gabungan pembelian Inggris, Prancis, China, dan Jepang. Namun negara ini kini dikenai tarif atas nama “keamanan nasional”—alasan yang terasa ganjil jika menyasar baja dan aluminium dari sahabat seperjuangan.

Pernyataan Joly dari markas NATO menyoroti absurditas situasi ini. “Ketika Anda memperlakukan klien terbaik seperti ini, itu berarti Anda ingin mengubah cara Anda beroperasi,” tegasnya. Sebagai balasan, Kanada mengumumkan tarif baru pada produk pertanian AS serta pendirian Trade Diversification Corridor Fund—tanda bahwa negara tersebut tidak akan diam pasrah.

Eropa pun menunjukkan sinyal penolakan. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyerukan penghentian investasi di AS hingga kepastian baru muncul, langkah yang lebih mencerminkan respons terhadap musuh ketimbang mitra. Dalam jajak pendapat Elabe untuk Les Echos, 64% warga Prancis menyatakan dukungan terhadap tarif balasan, walau 82% di antaranya cemas akan dampak ekonomi global. Lombard menegaskan UE harus “berdiri tegak menghadapi kekuatan besar,” tak terkecuali AS. Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa, menambahkan rencana pengenaan tarif pada jus jeruk, jeans, dan sepeda motor asal AS. Meski demikian, kehati-hatian tetap ada—tarif balasan bisa menjadi pedang bermata dua.

Sementara itu, China mengambil posisi lebih tegas. Tarif balasan 34% dan pembatasan ekspor logam tanah jarang menggarisbawahi posisinya sebagai kekuatan yang enggan tunduk. Ini bukan respons impulsif, melainkan bagian dari kalkulasi jangka panjang. Rusia, melalui Medvedev, tampak mengambil jarak aman sembari mengomentari situasi dengan sinisme. Dalam narasinya, tarif AS adalah pukulan terakhir bagi UE yang “membusuk,” dan rantai dagang lama akan segera digantikan oleh skema baru.

Namun reaksi global ini bukan hanya bentuk kemarahan sesaat. Ia menandai pergeseran struktural dalam tatanan ekonomi dunia. Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala, memperingatkan potensi kemerosotan besar dalam volume perdagangan internasional. Survei Elabe menunjukkan bahwa 80% warga Prancis meyakini perusahaan-perusahaan Eropa akan terdampak serius, sementara 70% khawatir konsumen di kedua sisi Atlantik akan menanggung kenaikan harga. Joly bahkan menyerukan agar Eropa menyampaikan pesan kepada publik AS, dengan harapan tekanan domestik bisa membendung ambisi sepihak Trump.

Di balik kecemasan itu, mulai tumbuh benih ketahanan. Kanada, melalui dana diversifikasi perdagangannya, mulai membangun jalur-jalur baru. Di Eropa, 41% responden Elabe mendukung produksi barang esensial secara lokal, dan 39% menyuarakan kemandirian ekonomi penuh. Tanda-tanda ini menunjukkan bahwa dunia tengah mencari alternatif, bukan hanya menunggu belas kasih dari pasar AS.

Pendekatan AS yang memperlakukan sekutu sebagai “pelanggan” alih-alih mitra strategis, bisa jadi membawa kemenangan taktis jangka pendek. Pasar AS masih terlalu besar untuk diabaikan, dan banyak negara belum siap memutus total hubungan dagang. Namun ketergantungan ini tidak akan berlangsung selamanya. Ketika Macron menyebut AS sebagai salah satu “blok besar yang harus dihadapi,” atau ketika Mark Carney menyebut berakhirnya era integrasi ekonomi dengan AS, itu mencerminkan retaknya kepercayaan yang selama ini menopang dominasi Washington.

Bayangkan sebuah lanskap baru dalam 10 hingga 20 tahun mendatang. Kanada bisa menjalin poros dagang kuat dengan Asia atau Eropa. UE, jika mengikuti aspirasi warganya, mungkin menjadi blok produksi mandiri yang tak lagi bergantung pada AS. China akan terus memperkuat pengaruhnya sebagai kekuatan ekonomi yang punya daya tarik sendiri. Rusia, meski oportunis, menyodorkan jalan alternatif bagi negara-negara yang muak dengan skema lama. Ramalan Medvedev soal kematian ekonomi UE memang berlebihan, namun prediksinya soal lahirnya rantai dagang baru patut dicermati.

Tentu saja, jalan menuju tatanan baru ini tidak akan mulus. Ekonomi AS masih merupakan kekuatan dominan—dengan PDB senilai $26 triliun pada 2023, melampaui China ($17 triliun) dan bahkan seluruh UE ($16 triliun sebagai blok). Banyak negara menyadari bahwa perang dagang akan menyakiti semua pihak. Namun di situlah letak ironi kebijakan Trump: dengan memukul “pelanggan terbaiknya,” ia justru merusak daya tarik pasar domestik. Jika Kanada mengalihkan pelabuhannya ke Asia, atau jika UE memperkuat produksi dalam negeri, AS akan kehilangan posisi tawarnya.

Ini bukan revolusi berdarah, tapi evolusi strategis. Langkah perlahan tapi pasti menuju dunia multipolar, di mana satu negara tak lagi bisa menentukan arah sendirian. Sejarah pernah mencatat kegagalan serupa: tarif Smoot-Hawley di era Depresi Besar memperburuk krisis global. Kini, ketika Okonjo-Iweala kembali mengangkat peringatan yang sama, dunia sudah lebih terhubung dan lebih siap mencari alternatif.

China bukan hanya eksportir, tapi juga pasar konsumsi besar. UE, meski sedang terluka, tetap memiliki kekuatan pasar internal lebih dari 450 juta orang. Dunia tidak harus lagi tunduk pada satu pusat kekuasaan. Seperti kata Joly, hubungan dengan AS “tak akan sama lagi.” Tapi ini bukan penutupan babak, melainkan pembukaan bagi tatanan baru yang lebih seimbang.

Trump bisa jadi memenangkan momen ini. Tapi seperti banyak penguasa yang terlalu percaya diri pada masa jayanya, kemenangan itu tak akan abadi. Setiap tarif yang dipaksakan, setiap sekutu yang ditinggalkan, adalah batu pijakan bagi dunia untuk melangkah menjauh. Kanada mulai membangun jalur baru. Eropa mencari swasembada. China siap menantang. Dan AS, mungkin untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, harus bersiap kehilangan mahkota dagangnya.

 

Sumber:

https://english.almayadeen.net/news/politics/eu-retaliation-to-us-tariffs-could-extend–beyond-customs-du

https://english.almayadeen.net/news/politics/french-public-backs-strong-retaliation-to-us-tariffs–poll-f

https://english.almayadeen.net/news/politics/us-canada-relations-never-the-same-again–politico

https://www.rt.com/russia/615235-medvedev-eu-economy-corpse/

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *