Connect with us

Opini

Tarif Trump: Jenewa, Sandiwara atau Jalan Keluar Dunia?

Published

on

Di Jenewa, Sabtu pagi yang kelabu, pejabat AS dan China berlomba menyelamatkan dunia dari perang tarif yang absurd, tapi terasa seperti teater tanpa naskah. Scott Bessent dan Jamieson Greer, wajah kaku, menyelinap melalui lobi Intercontinental Hotel, menghindari wartawan bagai buronan. Di President Wilson Hotel, delegasi China di bawah He Lifeng meluncur, dikawal polisi yang menutup jalan, seolah kota ini jadi sandera drama mereka. Tarif AS 145%-245% dan balasan China 125% telah mencekik perdagangan, dan kini, di lokasi rahasia, mereka berunding. Dunia menonton, tapi juga gelisah: apa ini cuma kosmetik?

Bayangkan, dua raksasa ekonomi, AS dan China, terjebak dalam duel tarif yang lahir dari cuitan Donald Trump, yang kini, dengan santai, bilang di X, “80% kayaknya oke.” Oke? Untuk siapa? Ini seperti menyiram bensin ke api, lalu nawarin seember air setengah penuh. Howard Lutnick buru-buru bilang Trump ingin “titik temu”, tapi Karoline Leavitt tegas: “Tanpa konsesi Beijing, tarif tetap.” Negosiasi ini ibarat tawar-menawar di pasar loak, tapi taruhannya miliaran dolar. Dari Jakarta sampai Berlin, dunia menanti, karena rantai pasok global sudah seperti simpul mati.

Laporan bilang pembicaraan dimulai akhir pagi, mungkin berlanjut sepanjang akhir pekan. Tapi apa artinya buat kita di Indonesia, yang harga ponselnya naik gara-gara cip dari China kena tarif? Tarif setinggi Monas ini bikin inflasi global menggila, dari bahan baku mobil sampai kain di Tanah Abang. Negara kecil seperti kita cuma penonton, tapi ikut bayar mahal. Vietnam dan India coba ambil untung sebagai alternatif manufaktur, tapi China tetap raja. Jenewa adalah harapan, tapi juga cermin: dunia ini rapuh.

Bill Reinsch, pakar dari Center for Strategic and International Studies, bilang dialog ini “konstruktif”. Xu Bin, profesor China, bilang Beijing punya nyali balas tarif AS. Tapi di balik analisis cerdas, ada ironi pahit: dua negara yang katanya penyangga ekonomi global malah sibuk bikin krisis. Di Indonesia, pedagang di Glodok pusing karena harga elektronik naik. Petani kedelai di Jawa Timur merana karena ekspor AS tersendat. Kita terhubung, tapi juga terjepit oleh ambisi dua raksasa ini.

Coba hitung: tarif 245% pada barang China artinya apa? Beli laptop yang tadinya Rp10 juta, sekarang Rp24 juta. Konsumen AS menjerit, tapi China balas dengan 125% pada bourbon dan apel Washington. Hasilnya? Petani dan pekerja di kedua negara kena getahnya. Di Indonesia, kita tahu rasanya harga naik: warung kopi sepi, dompet menipis, dan grup WhatsApp keluarga penuh keluh kesah. Ini bukan cuma soal angka, tapi soal hidup yang makin susah.

Yang bikin miris, Trump bilang “80% pas” seolah tarif itu mainan. Bessent bilang tujuan Jenewa cuma “redakan ketegangan”, bukan buat kesepakatan besar. Jadi, kita disuruh nunggu lagi, sementara Bursa Efek Jakarta naik-turun seperti perasaan ABG. Investor benci ketidakpastian, dan ketidakpastian ini racun: perusahaan tunda ekspansi, pekerja takut kena PHK, dan pemerintah pusing cari cara nutup defisit. Dunia internasional, dari pedagang di Surabaya sampai CEO di Tokyo, cuma bisa pasrah.

Kalau Jenewa gagal, apa jadinya? Tarif bisa naik lagi, rantai pasok makin kacau, dan inflasi global tambah liar. Indonesia, yang ekspor nikel dan CPO-nya bergantung pada pasar global, bisa kena imbas. Harga BBM, yang sudah bikin demo di mana-mana, bakal makin tak terkendali. China mungkin bertahan dengan cadangan devisanya yang bikin iri. Tapi AS? Konsumen mereka sudah ngeluh, dan Trump mungkin cuma lempar cuitan, “Tarif 300%, kenapa enggak?”

Tapi jangan putus asa dulu. Dialog ini, meski kecil, menunjukkan AS dan China tahu perang tarif tak bisa selamanya. Dunia butuh kepastian. Jika tarif turun, meski sedikit, harga barang bisa stabil. Investor tak perlu panik, dan negara seperti Indonesia bisa ekspor tanpa takut kena efek domino. ASEAN, misalnya, bisa manfaatkan posisi netralnya. Indonesia, sebagai pemain besar di RCEP, bisa dorong kerja sama regional untuk redam dampak tarif. Tapi, ini butuh nyali dan visi.

Ironinya, AS dan China, yang katanya pemimpin dunia, malah jadi penyebab krisis ini. Jenewa cuma panggung sementara, tapi taruhannya nyata: kehidupan miliaran orang. Di kampung saya, orang bilang, “Kalau bos besar ribut, karyawan yang sengsara.” Mungkin lebay, tapi lihat harga beras di pasar, antrean bensin, atau keluhan di X—benarkah ini cuma soal tarif? Kita bukan cuma penonton, kita yang bayar harga tiketnya.

Jadi, apa solusinya? Tarik pasukan tarif? Ideal, tapi tak realistis—AS dan China terlalu keras kepala. Pilihan cerdas buat Indonesia dan ASEAN adalah perkuat blok dagang regional seperti RCEP, diversifikasi pasar, dan bangun industri lokal yang tangguh. Kita tak bisa cuma ngarep Jenewa berhasil. Seperti kata temen di warung kopi, “Kalau raksasa bertengkar, kita cari jalan pintas.” Tapi jalan pintas itu butuh strategi, bukan cuma sabun dan sabun.

Refleksi terakhir: dunia ini rapuh, dan Jenewa mengingatkan kita akan itu. Kita, di Indonesia atau di mana pun, bukan cuma korban. Kita bisa ambil peran, dorong ASEAN jadi penyeimbang, atau setidaknya tak cuma ngeluh di grup WhatsApp. Jenewa mungkin tak selesaikan semua, tapi setidaknya buka pintu. Kalau gagal, bersiaplah untuk dompet lebih tipis dan cuitan Trump yang bikin geleng-geleng. Tapi kalau berhasil, mungkin kita bisa beli ponsel tanpa jual ginjal. Sabun apa yang bisa bersihin kekacauan ini? Mungkin cuma akal sehat, yang sayangnya langka.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *