Opini
Tarif Trump: Ancaman atau Jalan Emas Ekonomi Indonesia?

Ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan tarif impor baru pada April 2025, Indonesia menjadi salah satu yang terdampak, dengan tarif sebesar 32% untuk produk seperti tekstil, minyak sawit, dan elektronik. Kebijakan ini menggambarkan keresahan sekaligus harapan. Di tengah ancaman pelemahan ekonomi, ada potensi tersembunyi: jika Indonesia mampu memanfaatkan peluang, jangka panjangnya bisa lebih cerah. Bagaimana caranya?
Kebijakan Trump, yang disebut sebagai “reciprocal tariff” dengan tarif 34% untuk China dan 32% untuk Indonesia, awalnya terasa seperti pukulan telak. Ekspor Indonesia ke AS, yang mencapai $23 miliar pada 2023 menurut ekonom senior Drajat Wibowo, kini terancam. Sektor padat karya seperti alas kaki dan pakaian, yang menopang jutaan pekerja, menghadapi risiko penurunan permintaan. Namun, di balik tantangan ini, ada celah untuk beradaptasi.
“Dampaknya cukup serius, tapi ada sisi positifnya asal Indonesia bisa memanfaatkan,” kata Drajat Wibowo dalam wawancara Metro TV. Ia menyoroti bahwa tarif ini tidak hanya menimpa Indonesia, melainkan juga Uni Eropa, Vietnam, hingga China dengan tarif lebih tinggi (67%). Ini membuka peluang diversifikasi pasar. Jika Indonesia cepat bergerak, ekspor ke Uni Eropa—yang saat ini $3-4 miliar untuk minyak sawit saja—bisa melonjak, mengurangi ketergantungan pada AS yang hanya 11% dari total ekspor.
Saat negara lain juga terpukul tarif AS, mereka mencari pasar baru. Indonesia, sebagai produsen utama minyak sawit dunia (54% pangsa global menurut USDA 2024), punya daya tawar. “Kita bisa renegosiasi dengan Uni Eropa untuk produk seperti CPO, karet, dan furnitur,” ujar Drajat. India dan Pakistan, dengan permintaan minyak nabati yang tinggi, juga jadi opsi. Diversifikasi ini bisa menstabilkan neraca perdagangan jangka panjang.
Tantangan awal memang berat. Ekonom Feri Latuhihin memperingatkan tekanan pada rupiah yang sudah menyentuh Rp16.750 per dolar. “Ini tugas berat Bank Indonesia untuk manage currency fluctuation,” katanya. Jika rupiah anjlok melewati Rp17.000, inflasi impor akan melonjak, memperburuk daya beli yang sudah lemah. OCBC bahkan memangkas proyeksi pertumbuhan dari 4,9% ke 4,7%. Tapi, ini bukan akhir cerita—hanya babak pembuka.
Di tengah guncangan, ada peluang meningkatkan daya saing. Drajat menawarkan ide cerdas: “Kalau biaya produksi turun 32%, tarif tak lagi masalah.” Efisiensi ini bisa dicapai melalui insentif pajak, subsidi energi, atau reformasi birokrasi yang disebut Wihadi Wianto dari DPR: “Kita dorong efisiensi untuk daya saing lebih baik.” Jika berhasil, produk Indonesia tetap kompetitif di AS, bahkan dibanding Vietnam yang kena tarif lebih tinggi.
Data mendukung optimisme ini. Ekspor alas kaki dan tekstil ke AS menyumbang $5 miliar pada 2023 (BPS), dan dengan efisiensi, Indonesia bisa mempertahankan pangsa pasarnya. “Kita lebih kompetitif dibanding negara lain yang tak bisa adjust,” kata Drajat. Dalam jangka panjang, industri yang lebih ramping dan efisien ini akan jadi aset berharga, bukan hanya untuk AS, tapi juga pasar global lainnya.
Negosiasi dengan Trump juga jadi kunci. “Kita turunkan tarif kita ke produk AS, deal dengan Trump,” usul Drajat, memanfaatkan sifat pragmatis Trump. Indonesia mengimpor $10 miliar dari AS (2023, BPS), jauh lebih kecil dari ekspornya, sehingga surplus $13 miliar memberi ruang tawar. Jika tarif timbal balik turun, atau investasi AS mengalir—mengingat proyek Trump di Lido—hubungan ekonomi bisa lebih strategis.
Wihadi Wianto menambahkan, “Kita dorong pemerintah negosiasi dengan AS untuk review tarif.” Bayangkan jika Indonesia menarik “blue-collar jobs” dari AS, seperti manufaktur garmen, dengan imbalan tarif lebih rendah. Dalam 3-5 tahun, ini bisa berarti FDI meningkat—catatan Kementerian Investasi 2024 menunjukkan FDI manufaktur hanya $15 miliar, ruang tumbuhnya besar. Hubungan yang lebih erat dengan AS akan jadi bonus jangka panjang.
Tapi, semua ini tak mudah. Feri Latuhihin menekankan, “Pemerintah dan BI harus kelola syok ini dengan baik.” Dalam 6-12 bulan pertama, stabilitas rupiah krusial. BI pernah sukses menahan rupiah di Rp15.000 saat pandemi (2020), dengan cadangan devisa $130 miliar. Kini, dengan $150 miliar (BI, Maret 2025), ada amunisi. Jika gagal, inflasi dan PHK akan menghambat pemulihan.
Sektor padat karya juga butuh perlindungan. “PHK bisa bertambah di tekstil,” kata Feri, mengingat 50.000 pekerja sudah terdampak sebelum tarif (Kemenaker, 2024). Subsidi sementara atau promosi dagang intensif ke Uni Eropa bisa jadi solusi. Jika lapangan kerja terjaga, konsumsi domestik—60% PDB menurut BPS—tak akan runtuh, memberi fondasi kuat untuk ekspansi jangka panjang.
Lalu, ada efek ketangguhan. Melewati krisis ini akan membuktikan resiliensi Indonesia. “Siapa yang cepat beradaptasi akan diuntungkan,” ujar Drajat. Seperti dinosaurus yang punah karena tak adaptasi, Indonesia bisa jadi spesies yang bertahan dan berkembang. Reformasi birokrasi yang digaungkan Wihadi—mempermudah investasi—bisa menarik $20 miliar FDI tambahan dalam 5 tahun (proyeksi BKPM).
Data global mendukung. Perang tarif Trump diprediksi menaikkan inflasi AS sendiri (Bloomberg, 2025), melemahkan daya beli mereka. Ini mendorong negara lain, termasuk Indonesia, mencari pasar baru. Dengan ekspor total $250 miliar (BPS, 2024), kehilangan $5 miliar dari AS bisa diganti dengan $10 miliar dari Uni Eropa atau India dalam 3 tahun jika diplomasi tepat.
Kreativitas jadi penutup cerita. “Pemerintah dan swasta perlu kreatif,” kata Drajat. Misalnya, ekspor kertas kemasan dari akasia—$1,5 miliar ke Uni Eropa (2023)—bisa digenjot untuk e-commerce global yang tumbuh 10% tahunan (Statista, 2025). Produk viskos untuk tekstil juga punya potensi. Dalam jangka panjang, ini diversifikasi nilai tambah, bukan hanya komoditas mentah.
Jadi, ya, jika Indonesia melewati badai awal—menjaga rupiah, melindungi pekerja, dan membuka pasar baru—ekonomi jangka panjangnya akan lebih baik. Ketergantungan pada AS berkurang, industri lebih efisien, dan posisi global lebih kuat. Tantangan besar di 2025 adalah investasi untuk 2030 yang lebih tangguh. Seperti kata Drajat, “Ada peluang di balik tarif Trump”—tinggal kita ambil atau tidak.
Referensi: