Connect with us

Opini

Tarif Jadi Senjata Makan Tuan: Ketika Trump Terjebak Permainannya Sendiri

Published

on

Donald Trump, dengan gestur penuh percaya diri dan retorika khasnya yang lebih cocok untuk panggung realitas TV daripada diplomasi internasional, pernah melontarkan janji bombastis: “90 deals in 90 days.” Sembilan puluh kesepakatan dalam tiga bulan, seperti sedang menjajakan program cuci gudang global. Tapi waktu terus berjalan, dan yang terjadi justru sebaliknya: bahkan untuk menyentuh angka sembilan pun, Amerika harus mengulur-ulur waktu. Batas waktu yang tadinya 9 Juli diperpanjang menjadi 1 Agustus, dan semua orang tahu, itu bukan perpanjangan untuk persiapan, tapi karena tidak ada apa-apa yang benar-benar siap.

Dunia, yang selama bertahun-tahun telah terbiasa dengan gaya diplomasi yang penuh perhitungan, kini menghadapi model baru: diplomasi poker. Dalam poker, ada istilah “bluff”—yakni ketika seorang pemain berpura-pura memiliki kartu bagus untuk membuat lawan menyerah. Dan dalam konteks ini, Donald Trump adalah bluffer yang paling konsisten. Masalahnya, meja ini bukan meja judi di Las Vegas, dan lawan mainnya bukan pemain mabuk yang bisa digertak dengan lirikan tajam. Ini adalah panggung geopolitik dunia, dan para pemainnya membawa kepentingan nasional yang jauh lebih besar daripada sekadar “menang main kartu.”

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Negara-negara lain mulai menyadari pola Trump. Gertak, ancam, keluarkan pernyataan tegas di depan umum, kemudian tunggu. Kalau lawan takut, ya lanjut tekan. Kalau lawan berani, ya tunda. Sekali, dua kali, mungkin orang masih mengira itu taktik. Tapi jika terus-menerus seperti itu, semua orang jadi tahu bahwa itu bukan strategi, tapi kebiasaan. Bahkan pasar global sudah punya istilah untuk ini: TACO – Trump Always Chickens Out. Bukan nama makanan cepat saji, tapi kependekan satir untuk menunjukkan bahwa presiden AS itu sering kabur dari komitmen sendiri saat tekanan balik muncul.

Ambil contoh Jepang. Salah satu sekutu paling lama dan paling stabil Amerika Serikat, tapi justru menjadi target utama surat ancaman tarif dari Gedung Putih. Respon Jepang? Murka. Dan mereka tak segan memberi isyarat menggunakan kartu truf mereka sendiri: kepemilikan terbesar atas surat utang pemerintah AS. Ini bukan gertakan sembarangan. Ketika pemegang dompet mulai bicara, biasanya peminjam mulai berpikir dua kali. Tapi Trump, seperti biasa, tetap pada naskahnya—mendramatisasi defisit dagang seolah-olah itu adalah kejahatan ekonomi terbesar abad ini, padahal banyak ekonom tahu bahwa defisit tidak selalu buruk. Bahkan bisa menjadi indikator daya beli yang kuat atau struktur ekonomi yang terbuka

Dalam surat-surat diplomatik yang dikirim ke negara-negara mitra, terlihat jelas bahwa Trump tidak sedang merancang kesepakatan, melainkan sedang menyiapkan drama. Surat-surat itu tidak banyak berbeda dari papan biru “Liberation Day” yang pernah dipajang di Gedung Putih—penuh slogan, penuh simbol, tapi nihil substansi. Bahkan rumus yang digunakan untuk menentukan tarif masih menggunakan asumsi bahwa semakin besar defisit suatu negara dengan AS, semakin besar pula kecurangan yang mereka lakukan. Ini seperti mengatakan, “Karena kamu banyak jualan ke saya, maka kamu pasti curang.” Logika ini lebih cocok untuk anak TK yang sedang rebutan mainan, bukan untuk pemimpin negara adidaya.

Lebih jauh lagi, kebijakan tarif yang dikenakan sebagai alat tekan justru mulai berdampak ke dalam negeri. Para pengecer AS mengeluh karena biaya impor naik, konsumen mengeluh karena harga barang melonjak, dan investor mulai gelisah karena pasar menjadi tak stabil. Bahkan nilai dolar, yang katanya akan menguat dan melindungi ekonomi AS dari inflasi, justru merosot sekitar 10 persen dibandingkan mata uang utama lainnya. Sekali lagi, retorika Trump dipatahkan oleh kenyataan. Tapi apakah itu menghentikan langkahnya? Tentu tidak. Dalam poker, terkadang yang kalah justru makin nekat menaikkan taruhan, berharap keajaiban turun di putaran terakhir.

Yang paling mencolok adalah bagaimana dunia menanggapi situasi ini. Negara-negara yang dulunya sangat tergantung pada pasar AS kini mulai melihat ke arah lain. Ekspor Tiongkok ke AS memang menurun, tetapi mereka justru memperkuat jalur dagang ke Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Ekspor ke Inggris naik 7,4%, ke ASEAN naik 12,2%, dan ke Afrika naik hampir 19%. Dunia sedang mengatur ulang peta perdagangannya. Dalam bahasa sederhana: semua mulai cari teman baru karena teman lama terlalu banyak drama.

Pendapatan dari tarif memang naik, bahkan mencetak rekor pada Mei lalu. Tapi seperti pendapatan dari tilang, uangnya masuk karena orang-orang kesulitan, bukan karena sistemnya membaik. Ini bukan kemenangan, ini hanya hasil dari penderitaan publik. Seperti orang yang merayakan dapat banyak denda parkir lalu menyebutnya “pemasukan daerah.” Lucu, kalau tidak menyedihkan.

Lalu ke mana semua ini mengarah? Dunia mulai membangun kemitraan baru: Inggris dengan India, Uni Eropa dengan Kanada, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) tanpa Amerika Serikat. Dalam proses ini, AS mulai terlihat seperti mantan pacar yang posesif, suka ngatur, tapi ditinggal karena terlalu ribet. Negara-negara lain mulai call—istilah dalam poker saat seseorang menantang si penggertak untuk membuka kartunya. Dan dunia menemukan: kartu Trump tidak cukup kuat. Bahkan bisa dibilang, tangannya kosong.

Dari Indonesia, ini bisa kita lihat sebagai pelajaran besar. Kita mungkin bukan bagian dari barisan utama negosiasi dagang Trump, tapi kita bisa merasakan getarannya. Dalam perdagangan global yang semakin multipolar, cara-cara usang seperti menekan lewat ancaman sudah tidak efektif. Dunia butuh kepemimpinan yang stabil, bukan kejut-kejutan ala sinetron. Diplomasi bukan ajang unjuk kekuatan, tapi ruang negosiasi dan saling percaya.

Dan ketika Amerika Serikat, negara yang selama ini dianggap sebagai panutan dalam hal kebebasan pasar dan demokrasi, mulai bermain kasar dan sembrono, maka krisis kepercayaan pun menyebar. Trump ingin dilihat sebagai perunding ulung, sang negosiator keras kepala yang “mengembalikan Amerika ke puncak.” Tapi dunia kini melihatnya sebagai presiden yang terlalu sering menebar ancaman, tapi tak mampu menyelesaikan satu pun krisis yang ia ciptakan sendiri.

Ini bukan lagi soal siapa yang menang atau kalah dalam perdagangan. Ini soal kredibilitas. Dan dalam dunia yang saling terhubung seperti sekarang, kredibilitas jauh lebih berharga dari tarif apa pun. Kita tidak bisa membangun dunia yang stabil dengan retorika yang tidak konsisten dan strategi yang dibangun dari emosi.

Pada akhirnya, sejarah mungkin tidak mencatat Trump sebagai presiden yang berhasil mereformasi perdagangan global. Ia akan lebih dikenal sebagai pemimpin yang memainkan poker diplomatik terlalu sering, terlalu keras, hingga seluruh dunia memutuskan untuk berdiri dari meja dan mencari permainan lain yang lebih masuk akal.

Dan ketika semua orang pergi, hanya tersisa satu orang di meja, memegang kartu yang tak berarti, masih bicara soal kemenangan, sendirian.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer