Connect with us

Opini

Tarif dan Takdir: Ketika Dunia Dipaksa Menjadi Penonton Drama Trump

Published

on

Presiden AS Donald Trump kembali menandatangani sebuah perintah eksekutif. Kali ini, ia memperpanjang tenggat pengenaan tarif hingga satu minggu dari batas semula, 1 Agustus. Isinya: penyesuaian tarif untuk puluhan negara. Ada yang dinaikkan, ada yang mendapat penangguhan di menit akhir. Di Washington, berita itu disampaikan seperti biasa—melalui sebuah pernyataan pers dingin dan kaku, seperti menyampaikan cuaca besok pagi. Tapi bagi sebagian dunia, itu terdengar seperti gemuruh pelan dari langit yang sedang bersiap mengguyur badai.

Sebuah dunia, yang entah sadar atau tidak, telah terlalu lama dipaksa berdiri di atas panggung tempat satu aktor utama memainkan naskah drama yang ia ubah seenaknya. Perintah tarif itu berbunyi teknokratis dan netral, tapi sejatinya—ia adalah bentuk paling terang dari sebuah kekuasaan imperial dalam wujud modern: engkau tunduk, atau barangmu kena bea masuk 35 persen.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

India, misalnya, menerima tamparan 25% tarif. Alasannya? Karena negeri itu masih menjalin hubungan dagang dengan Rusia. Dan, karena mereka anggota BRICS. Dan, tentu saja, karena “defisit perdagangan yang sangat besar dengan New Delhi,” kata Trump. Ajaibnya, tidak ada hitungan baku yang dijelaskan. Tidak ada angka pasti tentang bagaimana defisit itu dihitung atau kenapa negara seperti India, dengan 1,4 miliar penduduk, tidak boleh berdagang sesuai kepentingan strategisnya. Dunia seolah wajib menyesuaikan diri, bukan pada hukum internasional, tapi pada suasana hati penghuni Gedung Putih.

Brasil, sehari sebelumnya dikenai tarif 50%. Keesokan harinya, menjadi 10%. Mungkin Trump bangun dengan mimpi yang lebih cerah. Kanada? Dinaikkan dari 25% ke 35%, karena tak cukup agresif memberantas fentanyl. Atau karena, seperti dikatakan Trump sendiri, Kanada mendukung kemerdekaan Palestina. Ya, dukungan atas hak asasi manusia bisa dikenai sanksi ekonomi. Mungkin ini pertama kalinya dalam sejarah tarif digunakan sebagai alat balas dendam ideologis, dibungkus dengan narasi keamanan nasional.

Dan inilah absurditas yang tak bisa diabaikan: keputusan ekonomi yang seharusnya berbasis data dan kalkulasi panjang, kini berubah menjadi semacam tombol—ditekan berdasarkan opini, dorongan insting, atau kalkulasi elektoral jangka pendek. Tarif menjadi senjata dalam perang yang tak diumumkan, pertempuran antara dunia yang ingin bernapas, dan Amerika yang ingin terus mengatur bagaimana dunia itu bernapas.

Ironisnya, ini bukan pertama kali. Trump sudah sering berubah haluan: keluar dari perjanjian iklim Paris, menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, perang dagang dengan Tiongkok, menekan WHO, lalu… ya, besok siapa yang tahu siapa lagi yang akan jadi sasaran.

Masalahnya bukan semata pada kebijakan yang keras—tetapi pada ketidakpastian yang menyertainya. Dunia bisa menerima jika sebuah negara ingin melindungi industrinya, seperti yang dilakukan India dengan tarif terhadap Tiongkok, atau seperti Indonesia yang mendorong hilirisasi nikel. Tapi dunia tak bisa bertahan dalam ketakutan abadi: bahwa perdaganganmu, ekonomimu, masa depanmu, bisa hancur hanya karena satu pria di Washington sedang tidak menyukai warna dasimu.

Ini bukan persoalan anti-Amerika. Bahkan negara-negara sekutu seperti Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa pun tahu bahwa hari ini mereka aman, besok mungkin tidak. Mereka mendapat tarif 15% karena telah menandatangani kesepakatan dagang. Tapi siapa yang menjamin bahwa kesepakatan itu akan dihormati jika Trump kembali berubah pikiran?

Apa yang terjadi hari ini adalah momen kejatuhan kredibilitas. Dunia tidak meninggalkan Amerika karena benci. Dunia meninggalkan Amerika karena takut ditinggalkan kapan saja. Karena sadar bahwa janji bisa diubah, kontrak bisa dibatalkan, dan kerja sama bisa dipermainkan seperti catur di tangan raja yang lebih tertarik pada aplaus penonton daripada strategi jangka panjang.

Dan pada titik ini, dunia mulai menyesuaikan diri. Pelan tapi pasti. Negara-negara mulai berdagang dengan mata uang lokal, bukan dolar. Rusia dan Tiongkok membangun sistem pembayaran sendiri. BRICS memperluas jaringan dan pengaruh. Bahkan negara-negara kecil seperti Laos dan Myanmar, yang juga terkena tarif tinggi, mulai memutar arah diplomasi mereka ke regionalisme Asia.

Mereka tidak sedang melawan Amerika. Mereka sedang melindungi diri dari Amerika. Dunia tak lagi bisa menggantungkan masa depannya pada negara yang presidennya menganggap geopolitik seperti papan Reality Show.

Cobalah bayangkan jika sebuah perusahaan di Indonesia mengekspor produk ke AS. Hari ini boleh, besok kena tarif. Minggu depan, dikecualikan. Bulan depan, tarifnya naik 10 persen. Bagaimana sebuah bisnis bisa menyusun proyeksi lima tahun dalam kondisi seperti ini? Bagaimana seorang menteri perdagangan di Jakarta bisa menjelaskan pada parlemen bahwa ekspor menurun karena Washington sedang ngambek?

Kita menyaksikan sebuah ironi: Amerika Serikat, negara yang selama berdekade-dekade mempromosikan “aturan main global” dan “keterbukaan pasar bebas,” kini berubah menjadi negara yang paling tidak bisa diprediksi. Yang hari ini menjanjikan perjanjian, dan besok merobeknya. Yang hari ini tersenyum, dan lusa menampar.

Dan mungkin ini bukan hanya soal Trump. Ini adalah gejala sistemik, tentang bagaimana kekuatan besar mulai kehilangan kontrol, dan berusaha mempertahankan hegemoninya dengan cara yang semakin kasar dan membingungkan. Dunia tahu bahwa ini bukan hanya tentang tarif. Ini tentang ketidakpercayaan.

Dalam budaya kita, ada pepatah yang berkata: sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Dan mungkin itulah yang kini menimpa Amerika Serikat. Ia bukan lagi pusat harapan, tapi pusat keraguan. Negara yang pernah menjadi simbol stabilitas, kini jadi sumber kegelisahan.

Tentu saja, AS masih punya kekuatan besar: ekonomi, militer, teknologi, budaya. Tapi kekuatan tanpa kepercayaan hanya menimbulkan rasa takut, bukan rasa hormat. Dan rasa takut tak pernah bertahan lama dalam sejarah hubungan internasional. Ketika dunia sudah bisa saling berdagang, saling menyimpan cadangan devisa, saling melindungi satu sama lain tanpa harus tunduk pada satu kekuatan tunggal, maka era unipolar akan resmi berakhir. Bukan dengan ledakan, tapi dengan sunyi yang pelan namun pasti.

Jadi, ketika tarif diumumkan ulang, dan perintah eksekutif baru ditandatangani, mungkin kita hanya perlu tersenyum getir. Dunia akan terus berputar. Dan pada akhirnya, takdir bangsa-bangsa tidak akan selamanya ditentukan dari satu ruang oval di Washington D.C., sekeras apa pun seseorang mengetukkan pulpennya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer