Connect with us

Opini

Tarif 50% AS: Pukulan Telak untuk Jerman?

Published

on

Ekonomi Jerman, sang raksasa Eropa yang selama ini tampak kokoh, kini dihadapkan pada bayang-bayang ancaman yang nyata. Pemerintah Amerika Serikat berencana menerapkan tarif hingga 50% yang berpotensi menggerus €200 miliar dari perekonomian Jerman hingga akhir 2028. Angka tersebut berasal dari laporan Institut Ekonomi Jerman (IW) yang dirilis Jumat lalu. Ini bukan sekadar statistik dingin di atas kertas, melainkan gambaran kegelisahan yang makin terasa. Bayangkan—sebuah negara yang selama ini menjadi tulang punggung Uni Eropa, dengan perdagangan barang senilai €253 miliar bersama AS pada 2024, kini berada di bawah ancaman kebijakan yang bisa mengguncang fondasinya.

Dengan surplus ekspor ke AS yang mencapai €17,7 miliar pada kuartal pertama 2025, Jerman kini berdiri di persimpangan jalan: antara harapan akan dialog dan risiko perang tarif yang destruktif. Ini bukan semata urusan makroekonomi, tetapi soal nasib para pekerja di pabrik-pabrik Bavaria, para pelaku usaha kecil di Hamburg, dan keluarga-keluarga yang menggantungkan hidupnya pada stabilitas ekonomi. Ancaman ini mendekat seperti badai—dan dunia, termasuk Indonesia, tak bisa hanya berpangku tangan.

Relasi dagang Jerman-AS selama ini adalah nadi penting ekonomi Eropa. Data menunjukkan bahwa pada 2024, ekspor Jerman ke AS melampaui impornya hingga 75%, menjadikan AS mitra dagang utama. Namun, di balik angka-angka tersebut, ketegangan terus memuncak. Presiden AS Donald Trump, melalui unggahan di Truth Social, menuding Uni Eropa—termasuk Jerman—memanfaatkan AS, dengan menyebut defisit perdagangan tahunan sebesar $240 miliar sebagai bukti. Ia menyebut UE sebagai mitra yang “sulit diajak bekerja sama”, sambil mengkritik kebijakan ekonomi, sistem perpajakan, hingga gugatan terhadap perusahaan-perusahaan AS.

Usulan tarif 50% per 1 Juni 2025 bukan sekadar gertakan—ia adalah pukulan telak yang bisa menghantam jantung ekonomi Jerman yang sangat bergantung pada ekspor. Pernyataan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, di Fox News yang menyebut tawaran kompromi UE tidak memenuhi standar, semakin menegaskan sikap keras Washington. Ada urgensi yang terasa di balik retorika ini—seolah AS sedang mencoba mengguncang Eropa dari apa yang mereka anggap sebagai kelalaian berkepanjangan.

Di sisi lain, Eropa tak tinggal diam. Komisaris Perdagangan UE, Maros Sefcovic, dalam pernyataannya di X menegaskan bahwa Uni Eropa tetap berkomitmen pada perdagangan yang saling menghormati—bukan intimidasi. Namun, ia juga menegaskan kesiapan UE untuk melindungi kepentingannya. Ini bukan sekadar bahasa diplomasi; ini sinyal bahwa Eropa siap membalas, dan jika itu terjadi, potensi kerugian bagi Jerman bisa membengkak hingga €250 miliar.

Konsekuensinya tak kecil: output ekonomi tahunan bisa turun hingga 1,1%, lapangan kerja terancam, rantai pasok terganggu, dan harga barang melambung. Industri otomotif—seperti BMW dan Volkswagen—yang sangat bergantung pada pasar AS, bisa kehilangan “oksigen”-nya. Dan jika Jerman terhuyung, dunia pun ikut berguncang. Termasuk kita di Indonesia.

Indonesia, meski jauh dari pusat badai, tak bisa merasa aman sepenuhnya. Ekonomi global kini saling terhubung seperti jaring laba-laba. Jika Jerman tersandung, getarannya bisa menjalar ke Asia Tenggara. Indonesia yang mengekspor nikel, tekstil, dan elektronik ke pasar dunia sangat bergantung pada stabilitas di Eropa dan Amerika. Menurut data BPS, ekspor Indonesia ke UE mencapai $18,7 miliar pada 2023—dengan Jerman sebagai salah satu pasar utama. Jika perang dagang benar-benar meletus, harga komoditas bisa berfluktuasi, rantai pasok tersendat, dan permintaan global terhadap produk Indonesia ikut terpukul.

Kita pernah melihat hal serupa dalam perang dagang AS-Cina 2018–2019, ketika harga komoditas global berguncang dan Indonesia ikut merasakan dampaknya. Pelaku usaha lokal di Surabaya atau Medan yang bergantung pada ekspor atau impor bahan baku bisa terkena imbasnya. Ini pengingat, bahwa keseimbangan ekonomi dunia sedemikian rapuhnya.

Kembali ke laporan IW, kerugian €200 miliar bukan sekadar angka besar—itu setara hampir 5% dari PDB Jerman tahun 2023. Jika UE benar-benar membalas, kerugiannya bisa lebih besar, dan dampaknya tidak terbatas hanya pada Jerman. Efeknya bisa meluas ke seluruh kawasan. Ini menyentuh nasib pekerja di lini produksi, pengusaha kecil, bahkan pelajar yang mungkin kehilangan kesempatan karena anggaran negara tertekan. Ini bukan hanya soal ekonomi; ini soal manusia dan harapan mereka.

Indonesia memiliki pengalaman serupa. Di Cikarang, ratusan pabrik terhubung langsung dengan rantai pasok global. Di Aceh, harga kopi yang naik-turun bergantung pada kondisi pasar dunia. Satu kebijakan di belahan bumi lain bisa mengubah hidup orang-orang di sini.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Bagi Jerman dan Uni Eropa, negosiasi adalah pilihan paling realistis—meskipun jalannya terjal. Sefcovic telah menegaskan keinginan UE untuk berdialog. Namun, sikap Trump dan Bessent menunjukkan bahwa AS tidak akan dengan mudah luluh. Penundaan penerapan tarif, setidaknya sampai ada kesepakatan, bisa menjadi langkah awal yang rasional.

Tapi bisakah UE menawarkan konsesi yang memuaskan tanpa mengorbankan prinsip dan kepentingan sendiri? Trump menyebut defisit perdagangan sebagai sesuatu yang “tak bisa diterima”. Namun, apakah tarif 50% adalah solusi? Justru sebaliknya, perang tarif bisa memperparah kondisi ekonomi global—bahkan bagi AS sendiri. Bukankah ini seperti mencoba memadamkan api dengan bensin?

Dari perspektif Indonesia dan ASEAN, ada pelajaran penting di sini. Kita pernah menghadapi tekanan serupa, seperti saat UE membatasi impor sawit karena isu lingkungan. Dengan negosiasi keras dan diplomasi cermat, kita berhasil membuka ruang kompromi, meski tak tanpa luka. Kini Jerman dan UE berada dalam posisi serupa—di antara harga diri dan pragmatisme.

Jika perang dagang benar-benar terjadi, dampaknya tak hanya menimpa Berlin, tapi juga Bandung dan Solo, tempat industri tekstil menggantungkan nasib pada pasar ekspor. Data Kemendag menunjukkan bahwa ekspor tekstil ke UE menyumbang miliaran dolar tiap tahun. Gangguan di Eropa bisa berarti PHK di pabrik-pabrik kita.

Situasi ini mengajak kita merenung lebih jauh: sampai kapan dunia bergantung pada keseimbangan perdagangan yang begitu rapuh? Jerman, dengan kekuatan industrinya, kini gentar karena satu keputusan di Washington. Indonesia, meski bukan aktor utama, tetap terdampak. Mungkin ini saat yang tepat untuk kembali menimbang urgensi diversifikasi pasar—agar tidak bergantung pada satu kawasan atau mitra dagang. Namun, tentu saja, diversifikasi bukan sesuatu yang instan. Ia butuh visi, waktu, dan konsistensi.

Untuk saat ini, negosiasi adalah satu-satunya napas yang bisa menahan badai. Dunia menunggu. Apakah diplomasi akan meredakan ketegangan, atau justru kita akan menyaksikan babak baru dari perang dagang yang merugikan semua pihak?

Laporan IW adalah sinyal peringatan—bukan hanya bagi Jerman, tapi untuk semua negara yang terhubung dalam ekonomi global. Di Jakarta, Berlin, maupun New York, semua punya taruhan dalam krisis ini. Pertanyaannya: akankah kita cukup bijak untuk belajar dari ketegangan ini, atau akan membiarkannya menjadi badai yang lebih besar?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *