Opini
Tarian Diplomasi Iran: Saudi, Putin, dan Visi Timur Tengah Baru

Di sebuah ruangan megah di Teheran, diterangi lampu kristal yang memantul pada dinding marmer, Ayatollah Ali Khamenei menyambut Menteri Pertahanan Arab Saudi, Khalid bin Salman, dengan senyum penuh makna. Utusan Saudi membawa pesan Raja Salman yang menegaskan keinginan Riyadh untuk mempererat hubungan dan menolak penggunaan wilayahnya untuk menyerang Iran. Namun, di hari yang sama, artileri Saudi menghantam Sa’dah, Yaman, benteng Houthi yang didukung Iran, mengungkap tarian diplomasi Iran yang cerdas di panggung geopolitik global. Seperti permainan catur yang dimainkan dengan cermat, Iran memilih langkah-langkah strategis yang memukau, meski penuh risiko.
Khamenei, dengan mata yang tajam memandang jauh ke depan, memanfaatkan peluang untuk berbicara langsung kepada dunia. Meskipun Saudi, sebagai bagian dari koalisi pimpinan AS, terus melancarkan serangan di Yaman, Khamenei tetap melihat pentingnya dialog dengan Riyadh. Ketegangan dan konflik selama bertahun-tahun antara kedua negara besar kawasan ini ternyata tidak membuat Iran berpaling dari ajakan damai. Menanggapi hal ini, Saudi mengirimkan sinyal yang tidak kalah signifikan—bahwa mereka juga ingin memulai lembaran baru, tetapi tentu saja, hanya dengan syarat dan keputusan penting terkait kebijakan luar negeri mereka yang lebih independen dari pengaruh Washington.
Langkah Iran ini tentu bukan tanpa perhitungan. Saat yang bersamaan, di Moskow, Presiden Rusia Vladimir Putin juga menerima surat dari Khamenei. Surat itu berisi proposal kerjasama strategis dan keprihatinan bersama terkait isu nuklir yang sangat sensitif. Iran ingin memastikan agar setiap langkah yang diambil di dunia internasional tidak hanya memperkuat hubungan dengan Saudi, tetapi juga dengan Rusia, sebagai pilar penting dalam menghadapi tekanan Barat. Rusia dan Iran, bersama-sama sebagai negara dengan cadangan energi besar, menyadari pentingnya kerjasama ekonomi dan politik mereka. Bagaimanapun juga, sanksi yang dikenakan Barat terhadap Teheran tidak membuat Iran berhenti berinovasi dalam mencari aliansi yang lebih luas. Diplomasi ganda ini—perhatian kepada Riyadh dan di saat yang sama memperkuat aliansi dengan Rusia—menunjukkan bahwa Iran tidak hanya bergantung pada satu pihak, tetapi juga mampu bergerak cerdik di tengah ketegangan internasional.
Kisah serangan di Sa’dah, yang mengguncang dunia internasional, memunculkan spekulasi dan pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya mengendalikan siapa dalam konflik ini. Serangan itu bukan merupakan inisiatif Saudi yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan dampak dari tekanan besar yang datang dari AS, sekutu utama Saudi. Bahkan, dalam operasi besar seperti Operasi Rough Rider, AS terlibat dalam upaya untuk menahan kebangkitan Houthi yang dianggap sebagai ancaman terhadap pengaruh Barat di kawasan tersebut. Houthi, yang mendapat dukungan militer dan logistik dari Iran, tidak hanya berperang untuk melawan Saudi tetapi juga sebagai bagian dari garis perlawanan yang lebih besar, yaitu mendukung Palestina, khususnya Gaza. Saat mereka menyerang kapal-kapal yang memiliki kaitan dengan Israel, itu bukan karena perintah dari Iran, tetapi karena kesamaan visi yang mengakar dalam perjuangan mereka untuk membela Gaza yang terkepung.
Dengan mencermati kejadian-kejadian tersebut, kita bisa melihat jelas bahwa Iran tidak “mengendalikan” Houthi, seperti yang sering dikatakan oleh banyak pihak. Sebaliknya, Houthi adalah sekutu strategis dalam jalan perlawanan yang lebih luas, dan tidak ada pengaruh langsung yang dapat Iran gunakan untuk menghentikan mereka dalam mendukung Gaza. Menghentikan blokade Bab al-Mandab—yang selama ini menjadi simbol perlawanan—juga tidak mungkin menjadi pilihan Iran, karena itu adalah bagian dari keberanian yang tidak bisa dicabut. Tindakan Houthi, bahkan saat menargetkan USS Harry Truman di Laut Merah, adalah bagian dari tekad mereka untuk menunjukkan solidaritas terhadap Palestina dan melawan apa yang mereka pandang sebagai kekuatan agresor. Iran, di sisi lain, melihat perlawanan ini sebagai bagian dari prinsip perjuangan yang lebih besar, dan tidak akan meminta Houthi mundur dari peranannya dalam perjuangan tersebut.
Namun, meskipun diplomasi Iran dengan Saudi berjalan, ada satu penghalang besar yang tetap mengintai: ketergantungan Saudi pada AS. Menanggapi ajakan Khamenei untuk mengubah arah kebijakan luar negeri mereka, Saudi harus terlebih dahulu menghadapi kenyataan pahit—apakah mereka siap untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Washington dan memilih jalur yang lebih independen dan otonom? Bagaimanapun juga, Amerika Serikat masih memegang kendali besar atas banyak aspek dalam politik internasional Saudi, termasuk perjanjian senjata dan kehadiran militer yang mengikat Riyadh pada agenda Barat. Tanpa adanya keberanian dari Saudi untuk melepaskan diri dari ketergantungan ini, jalan menuju kerja sama yang lebih mendalam dengan Iran akan tetap sulit tercapai.
Khamenei, dengan kecerdikan diplomatiknya, sudah melihat potensi di balik tawaran tersebut. Jika Saudi bersedia menghentikan serangan-serangan di Yaman yang didorong oleh kebijakan AS, dan berkomitmen untuk mengubah pendekatan mereka terhadap Iran, maka itu akan menjadi langkah besar menuju stabilitas kawasan. Namun, ini juga membutuhkan keputusan yang sangat besar, baik dari Saudi maupun dari sekutu-sekutu internasionalnya. Hanya dengan langkah konkret dari Riyadh untuk menanggalkan ketergantungan pada AS dan mengganti kebijakan luar negeri mereka, kerja sama nyata antara Iran dan Saudi dapat terwujud.
Sementara itu, Tiongkok, yang semakin menonjol dalam geopolitik global, memberikan dimensi tambahan pada dinamika ini. Meski begitu, peran Tiongkok dalam memediasi perdamaian tidak bisa terlalu dibesar-besarkan. Tanpa adanya keberanian dari Saudi untuk mengambil langkah independen, tidak ada perantara yang bisa membuat perbedaan signifikan. Mediasi Tiongkok bisa menjadi katalis, tetapi yang dibutuhkan adalah tekad dan tindakan nyata dari para pemain utama. Tanpa itu, apa yang terlihat di atas meja perundingan akan tetap menjadi angan-angan.
Visi Khamenei untuk mengajak Saudi berjalan bersama bukan hanya sekadar mimpi. Ia menilai bahwa masa depan kawasan Timur Tengah, yang bebas dari hegemoni AS, mungkin saja terwujud—selama Saudi siap menghadapi kenyataan pahit dan memilih untuk beranjak dari kebijakan lama. Jika Saudi bisa mengambil keputusan berani untuk menghentikan agresi di Yaman, melepaskan diri dari cengkeraman AS, dan bekerja sama dengan Iran, masa depan yang lebih stabil dan harmonis mungkin ada di depan mata. Namun, hingga saat itu tercapai, visi Khamenei tetap berisiko terhambat oleh realitas konflik yang lebih besar.
Dengan serangan-serangan yang terus berlanjut, dan ketegangan yang belum sepenuhnya reda, jalan menuju perdamaian tetap penuh tantangan. Namun, satu hal yang pasti—kecerdasan diplomasi Iran dalam mengelola hubungan dengan Saudi dan Rusia adalah langkah cerdas menuju transformasi kawasan. Jika kesepakatan ini benar-benar terwujud, dampaknya akan sangat besar: tidak hanya untuk kedua negara ini, tetapi untuk seluruh Timur Tengah, yang akan merasakan dampak dari perubahan tatanan politik dan ekonomi yang lebih mandiri dan seimbang.
Daftar Sumber:
- @ME_Observer_(X post): Pernyataan Khamenei tentang hubungan Saudi-Iran.
- @ejmalrai (X post): Laporan pertemuan Saudi-Iran dan surat Khamenei ke Putin.
- Yemen Press Agency: Serangan artileri Saudi di Sa’dah.
- Al Jazeera: 50.700 kematian di Gaza; 123 kematian akibat serangan AS di Yaman; biaya perang Saudi $200 miliar.
- Lloyd’s List: Gangguan perdagangan Laut Merah, 12% perdagangan global.
- SIPRI: Kesepakatan senjata AS-Saudi, $120 miliar.
- PBB: Krisis kemanusiaan Yaman, 377.000 kematian; dukungan Iran untuk Houthi.
- Bank Dunia: Inflasi Iran 40%.
- BP Statistical Review: Iran dan Rusia kuasai 20% cadangan gas.
- CNN: Biaya operasi AS di Yaman, $1 miliar.
- Times of Israel: Pangkalan AS di Diego Garcia.
- @Parstoday20211 (X post): Serangan Houthi ke USS Harry Truman.
- Reuters: Rekonsiliasi Saudi-Iran dimediasi Tiongkok, 2023.