Connect with us

Opini

Tanpa Pengawasan, Bansos Rawan Bocor

Published

on

Di tengah dunia yang berguncang oleh eskalasi geopolitik, perang tarif, dan ketegangan global, bayang-bayang ketidakpastian menyelimuti masa depan. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pun merosot dari 3,3% menjadi 2,8% untuk 2025, sebagaimana diungkapkan dalam rapat terbatas bersama Presiden pada 2 Juni 2025. Getarannya terasa di Indonesia: harga komoditas tidak stabil, ekspor terjepit, nilai tukar dan suku bunga bergerak liar. Di balik angka-angka itu, kegelisahan nyata menyentuh kehidupan sehari-hari—buruh harian di Jakarta, petani di Jawa, ibu rumah tangga di Papua. Mereka bertanya-tanya: masih sanggupkah membeli beras? Bagaimana nasib sekolah anak?

Pemerintah menjawab tantangan itu dengan menggelontorkan stimulus ekonomi sebesar Rp24,44 triliun. Di dalamnya, terdapat bantuan sosial (bansos) senilai Rp11,93 triliun yang ditujukan untuk menjaga daya beli rakyat miskin dan menopang target pertumbuhan ekonomi 5%. Langkah ini perlu diapresiasi. Namun, ada hal yang justru mengganggu: keheningan pemerintah dalam menjelaskan bagaimana dana besar ini akan dijaga dari potensi korupsi. Mengapa tidak ada satu kalimat pun yang menyebutkan strategi pencegahan penyelewengan dana? Padahal, sejarah kelam bansos Indonesia begitu sarat dengan praktik korupsi yang menyakitkan.

Stimulus ini, sebagaimana dijabarkan, bersumber dari APBN sebesar Rp23,59 triliun dan Rp0,85 triliun dari non-APBN. Bantuan sosial menjadi ujung tombak: tambahan tunai Rp200.000 selama dua bulan dan 20 kg beras untuk 18,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM), terutama kelompok desil 1 atau masyarakat miskin ekstrem. Di gang-gang sempit Surabaya hingga dusun terpencil di Nusa Tenggara Timur, angka itu bermakna harapan. Untuk memastikan ketepatan sasaran, pemerintah mengandalkan data sosial ekonomi tunggal hasil Inpres No. 4 Tahun 2025. Sebanyak 16,5 juta KPM diverifikasi, 14,3 juta dinyatakan layak, dan 1,9 juta nama dibersihkan. Langkah ini patut dicatat sebagai kemajuan. Namun, tanpa kejelasan soal mekanisme pengawasan, wajar bila publik bertanya: benarkah bantuan ini akan sampai utuh kepada yang berhak?

Sejarah berbicara lantang. Bansos selalu menjadi ladang rawan korupsi. Kasus Juliari Batubara pada 2020 belum terlupa—dengan fee Rp10.000 per paket sembako, total korupsi mencapai Rp32 miliar, digunakan untuk jet pribadi hingga kepentingan politik. Tak kalah mengejutkan, bansos Presiden di Jabodetabek pada 2024–2025 yang ditengarai merugikan negara Rp125 miliar kini tengah diselidiki KPK. Bahkan bansos beras semasa pandemi COVID-19 menimbulkan kerugian Rp127,5 miliar akibat praktik mark-up dan penggelapan. Modusnya berulang: penerima fiktif, pemotongan di lapangan, hingga manipulasi distribusi.

Kini, bansos sebesar Rp11,93 triliun kembali digelontorkan dalam waktu hanya dua bulan: Juni dan Juli 2025. Jumlah ini besar, waktu penyalurannya singkat, dan distribusinya luas. Namun siaran pers resmi pemerintah tidak menyebutkan satu pun strategi pencegahan korupsi. Ini bukan kelalaian kecil. Di tengah luka lama yang belum sembuh, diamnya narasi antikorupsi menjadi alarm. Publik bertanya-tanya: apakah pemerintah tidak lagi menjadikan integritas sebagai prioritas? Atau ini hanya kelengahan dalam komunikasi?

Padahal bisa jadi sistem pengawasan internal sudah ada: BPKP mungkin telah bergerak, KPK mungkin sudah dikoordinasikan, digitalisasi distribusi mungkin tengah dijalankan. Tapi jika tak disebutkan, maka tak terlihat. Dan bila tak terlihat, maka kepercayaan publik pun mudah retak. Di tengah badai ketidakpastian ekonomi, justru transparansi dan akuntabilitas harus ditonjolkan. Sebab, tanpa itu, stimulus sebesar apa pun akan kehilangan makna.

ICW sejak lama mengingatkan: bansos seringkali dijadikan bancakan. Di Banten, misalnya, 81,3% penerima bansos senilai Rp51 miliar tak jelas alamatnya. Di Bandung Barat tahun 2020, pejabat Dinsos meminta “jatah” dari setiap paket bantuan. Kini skala penyaluran jauh lebih besar, dan celahnya bisa lebih luas. Ketika siaran pers tak menyebut satu pun langkah pengawasan, pertanyaan yang muncul bukan hanya tentang kelalaian, tapi juga niat: adakah keseriusan untuk mencegah pengulangan skandal lama?

Risikonya konkret. Bila korupsi terjadi, seorang ibu di Maluku mungkin tak menerima 20 kg beras yang dijanjikan. Seorang buruh di Medan bisa kehilangan Rp200.000 yang akan dipakai untuk biaya sekolah anak. Berdasarkan pengalaman masa lalu, titik rawan ada di mana-mana: desa, kecamatan, hingga distribusi ke agen. Meski 1,9 juta KPM telah dibersihkan dan verifikasi dilakukan, tanpa sistem pelacakan dan partisipasi masyarakat, kebocoran tetap mengintai. Penyaluran ke daerah tertinggal seperti Papua atau wilayah rawan inflasi memang penting untuk menjaga Nilai Tukar Petani (NTP) tetap di kisaran 120,21. Namun tanpa pengawasan, semua itu bisa berubah menjadi ilusi.

Diamnya siaran pers juga mencerminkan absennya transparansi. Tidak ada penyebutan peran KPK, audit terbuka oleh BPK, atau partisipasi publik dalam mengawal bansos. Dalam negara sebesar Indonesia, keragaman tata kelola di tingkat lokal menciptakan banyak ruang gelap. Bila distribusi 360.000 ton beras tidak dapat dilacak secara transparan, maka potensi penyalahgunaan sangat tinggi. Pemerintah memang menyebutkan koordinasi lintas kementerian—Kemensos, Bapanas, dan Kementan—tapi koordinasi tidak cukup tanpa pengawasan. Tanpa keterlibatan lembaga antikorupsi, publik akan menganggap ada yang ditutupi.

Sayangnya, dalam konferensi pers, isu korupsi bansos luput dari sorotan jurnalis. Fokus mereka tertuju pada tarif tol dan diskon listrik. Padahal, bagaimana memastikan Rp11,93 triliun bansos dan 360.000 ton beras benar-benar sampai ke masyarakat miskin adalah pertanyaan fundamental. Apakah daftar 18,3 juta KPM bisa diakses publik? Apakah distribusi beras bisa dipantau secara digital? Bila tidak, maka publik berhak ragu. Jika bansos saja tidak aman, bagaimana dengan stimulus lainnya?

Boleh jadi, pemerintah menyiapkan pengawasan internal secara tertutup. Tapi mengapa tidak diumumkan? Bukankah justru dalam situasi genting ini, kepercayaan publik adalah hal utama yang harus dirawat? Tanpa pernyataan tegas soal keterlibatan KPK, audit real-time, dan pelibatan masyarakat, program ini bisa kehilangan legitimasi. Kepercayaan yang rapuh bisa runtuh total. Bila bansos bocor, maka upaya menekan kemiskinan ekstrem pun akan gagal. Target pertumbuhan 5% akan menjadi retorika kosong. Lebih menyakitkan, rakyat miskin kembali menjadi korban sistem yang tidak berpihak pada transparansi.

Langkah pemerintah patut diapresiasi—penggunaan data sosial ekonomi tunggal, penajaman sasaran, dan koordinasi antar kementerian menunjukkan keseriusan. Namun, tanpa narasi antikorupsi, semuanya seperti rumah besar tanpa pondasi. Skandal masa lalu bukan sekadar catatan kelam, tapi peringatan keras: bansos bisa menjadi sumber luka bila tak dijaga dengan baik.

Saya berharap pemerintah segera bertindak. Libatkan KPK secara terbuka. Perkuat pelacakan digital, gunakan sistem e-voucher, dan buka saluran pengaduan publik. Sampaikan dengan lugas: bahwa korupsi bansos tidak akan ditoleransi. Tanpa komitmen itu, stimulus ini akan rapuh.

Ini bukan sekadar kekhawatiran pribadi. Ini suara kegelisahan banyak orang. Stimulus Rp24,44 triliun seharusnya jadi penopang harapan. Tapi bila siaran pers tetap diam soal antikorupsi, maka rakyat pun akan mulai kehilangan harapan. Bila bantuan bocor lagi, kepercayaan pun ikut bocor. Dan bila itu terjadi, maka bukan hanya bansos yang gagal, tapi juga janji keadilan sosial yang ikut luruh.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *