Opini
Tanpa Barat dan AS, Ukraina Bukan Lawan Rusia

Di sebuah gedung konser di Pavlohrad, Ukraina, tempat yang seharusnya penuh dengan alunan musik kini menjadi rumah sementara bagi para pengungsi. Mereka yang terusir oleh perang menemukan tempat berteduh di panggung yang biasanya menjadi tempat pertunjukan seni. Namun, kenyamanan sementara ini terancam karena dana yang menopang mereka berasal dari AS, yang kini dihentikan.
Tak hanya bantuan kemanusiaan yang terdampak, tetapi juga suplai senjata dan peralatan militer yang menopang perlawanan Ukraina terhadap Rusia. Jika bantuan ini benar-benar dihentikan, mungkinkah Ukraina masih mampu bertahan? Ataukah perjuangan mereka akan berubah menjadi kisah heroik tanpa senjata, di mana keberanian harus menggantikan rudal dan drone buatan Barat?
Realitas yang tak bisa dihindari adalah bahwa tanpa AS dan sekutu Baratnya, Ukraina bukanlah lawan yang sepadan bagi Rusia. Peralatan tempur mereka bergantung pada pasokan luar, begitu pula dengan pendanaan operasi militer yang membuat perlawanan mereka tetap hidup. Ketika sokongan ini terhenti, maka pertanyaan terbesar adalah: apa yang tersisa bagi Ukraina untuk melawan?
Bahkan Presiden Volodymyr Zelenskyy sendiri mengakui bahwa mereka menghadapi potensi pemotongan dana sebesar $300-400 juta, terutama dalam sektor energi yang telah menjadi target serangan Rusia. Jika listrik dan bahan bakar pun bergantung pada bantuan eksternal, maka bagaimana Ukraina bisa berharap untuk menjalankan perang jangka panjang dengan sumber daya sendiri?
Masyarakat Ukraina tentu tak kekurangan semangat, tetapi semangat tak bisa menggantikan tank dan sistem pertahanan udara. Para pengungsi di Pavlohrad mungkin berusaha bertahan dalam keterbatasan, tetapi mereka tak bisa melawan rudal dengan rasa nasionalisme semata. Tanpa Barat, Ukraina tak sekadar kehilangan peralatan perang, tetapi juga kehilangan daya tahannya.
AS memang masih mengirimkan sebagian bantuan militer, tetapi jumlahnya hanya 42% dari yang telah disetujui oleh Kongres. Artinya, ketergantungan Ukraina pada Washington tetap tak terbantahkan. Jika pemotongan dana terus berlanjut, bukan tak mungkin Ukraina akan menghadapi situasi di mana pasokan amunisi mereka menipis, sementara Rusia terus memperkuat serangannya.
Sejak awal perang, Ukraina telah berperan lebih sebagai panggung pertempuran bagi kepentingan geopolitik Barat daripada sebagai negara yang benar-benar mandiri dalam pertahanannya. Para pemimpin Barat mungkin berbicara tentang perjuangan demokrasi, tetapi pada akhirnya, perang ini tetaplah sebuah permainan kekuatan di mana Ukraina adalah pion yang bergantung pada tangan pemain besar.
Tanpa rudal Patriot, tanpa tank Leopard, tanpa drone buatan AS, sejauh mana Ukraina bisa bertahan? Mungkin inilah saatnya untuk menyadari bahwa keberanian saja tidak cukup dalam perang modern. Ketika Washington memutuskan untuk menutup keran bantuan, maka perlawanan Ukraina pun akan mulai kehabisan tenaga. Kebergantungan ini adalah kenyataan yang sulit ditolak.
Dunia mungkin ingin percaya bahwa Ukraina memiliki kekuatan mandiri untuk bertahan, tetapi fakta di lapangan berkata lain. Dari panggung konser yang berubah menjadi tempat pengungsian hingga medan perang yang bergantung pada pasokan luar, perang ini bukan hanya soal keberanian, tetapi juga soal siapa yang memiliki sumber daya lebih banyak.
Jika bantuan dari Barat benar-benar berhenti, apa yang akan terjadi pada Ukraina? Apakah mereka masih bisa melawan, ataukah mereka hanya akan menjadi saksi dari perang yang sudah tidak bisa mereka menangkan? Pertanyaan ini mungkin tak perlu dijawab, karena sejarah sudah menunjukkan bahwa dalam perang, pihak yang paling bergantung pada bantuan eksternal biasanya tak akan bertahan lama.