Connect with us

Opini

Tamparan Australia untuk Zionis

Published

on

Ada sesuatu yang ganjil tapi sekaligus menyejukkan ketika sebuah negara Barat yang selama ini cenderung menutup mata pada brutalitas zionis tiba-tiba berani menutup pintu bagi seorang politisi sayap kanan Israel. Simcha Rothman, tokoh yang dikenal garang, dicekal masuk ke Australia. Alasannya sederhana tapi telak: ia dianggap akan menebar kebencian. Ironis, bukan? Seorang anggota parlemen dari negara yang mengaku demokratis justru diperlakukan seperti propagandis berbahaya.

Rothman bukan figur sembarangan. Ia adalah representasi suara paling keras dalam politik rasis di Tel Aviv, orang yang tanpa malu menyebut anak-anak Gaza sebagai “musuh.” Kata-kata itu bukan sekadar selip lidah, tapi cermin dari mentalitas kekuasaan yang sudah lama mengakar: melihat setiap anak Palestina sebagai ancaman, bukan manusia. Dan ketika figur seperti ini hendak diundang ke Australia dengan dalih “solidaritas,” pemerintah setempat memilih menutup pintu. Sebuah keputusan yang sebetulnya terasa wajar, tapi dalam kacamata zionis diperlakukan seolah dunia sedang runtuh.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Reaksi dari Tel Aviv? Meledak. Netanyahu mencap Perdana Menteri Anthony Albanese sebagai “pengkhianat Israel” yang akan dikenang sejarah. Menteri keamanan nasionalnya, Itamar Ben-Gvir, dengan cepat menuding Australia “mendukung teroris.” Semudah itu mereka menempelkan label. Padahal publik Australia tahu, yang ditolak bukan orang Yahudi, bukan identitas agama, melainkan seorang politisi yang terang-terangan mengumbar kebencian. Seakan-akan setiap kritik terhadap Israel harus dikemas sebagai antisemitisme. Skenario lama yang semakin usang, tapi tetap saja diputar seperti kaset rusak.

Bagi Israel, keputusan Australia ini lebih dari sekadar batalnya sebuah kunjungan. Ia adalah simbol keretakan dalam tembok legitimasi yang selama puluhan tahun coba mereka bangun. Bayangkan, seorang anggota Knesset dicekal bukan oleh negara Arab, bukan oleh dunia ketiga, tapi oleh Australia—sekutu Barat yang biasanya bisa diandalkan untuk pasang badan. Ini seperti sahabat lama yang tiba-tiba menolak berjabat tangan di depan umum. Malu? Tentu. Panik? Bisa jadi.

Saya rasa, inilah yang paling ditakuti Tel Aviv: bukan rudal dari Gaza atau Iran, tapi retaknya citra di mata negara-negara Barat sendiri. Selama ini mereka bisa dengan mudah melenggang di forum internasional, mengutip retorika “kami demokrasi satu-satunya di Timur Tengah,” dan Barat pun mengangguk sambil menutup mata pada penderitaan Palestina. Tapi kini, pintu itu mulai ditutup. Jika Australia bisa, apa jaminan negara lain tidak akan menyusul?

Lihatlah bagaimana Rothman berusaha membalik narasi: menyebut pembatalan visa sebagai “antisemitisme” yang memberi semangat pada teroris. Kalimat itu seperti jurus usang yang dipakai untuk menutupi kenyataan bahwa dirinya ditolak bukan karena agama, tapi karena ideologinya sendiri. Dan menariknya, kelompok Yahudi progresif di Australia justru mendukung keputusan pemerintah, dengan alasan Rothman hanya akan memecah belah masyarakat. Jadi siapa sebenarnya yang sedang berdiri di sisi kebencian?

Israel kini menghadapi dilema besar. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan citra sebagai negara yang dihormati, di sisi lain mereka kerap mengirim wajah-wajah politikus ekstremis ke panggung dunia. Dunia makin muak. Australia hanya mengekspresikan apa yang banyak orang sudah lama pikirkan: cukup sudah. Kita tidak butuh pejabat yang datang untuk menyulut kebencian. Dan kalau itu membuat Tel Aviv marah, biarlah marah. Dunia tidak harus selalu menari mengikuti irama mereka.

Konteks ini makin menarik bila kita hubungkan dengan keputusan Canberra yang akan mendukung pengakuan Palestina di PBB. Sebuah langkah yang jelas membuat Tel Aviv gerah. Jika dicekalnya Rothman adalah sebuah tamparan, maka pengakuan Palestina ibarat palu godam yang menghantam legitimasi Israel di forum global. Netanyahu bisa saja menyebut Australia lemah, tapi justru di balik kata-katanya tersimpan ketakutan: ketakutan akan isolasi diplomatik yang kian nyata.

Mari kita tarik ke pengalaman sehari-hari. Kita semua pernah melihat seorang anak nakal di kelas yang terbiasa membuat onar tapi selalu lolos karena dilindungi guru. Namun suatu hari, guru itu jengah dan memutuskan: cukup, kamu tidak boleh ikut kegiatan kelas karena hanya bikin ribut. Apa reaksi si anak? Menangis, menuduh guru pilih kasih, bahkan menuduh teman-teman lain bersekongkol. Begitulah kira-kira gambaran zionis hari ini. Mereka terbiasa mendapat dispensasi, tapi ketika dunia mulai tegas, mereka menjerit seakan-akan seluruh semesta bersekongkol melawan mereka.

Sikap Australia ini mungkin terlihat kecil, hanya sebuah visa yang dibatalkan. Tapi dalam politik internasional, simbol lebih berarti dari sekadar prosedur. Rothman bisa saja mencari panggung di tempat lain, tapi pesan yang sampai jelas: bahkan di Barat, tak semua pintu lagi terbuka untuk politisi Israel. Inilah yang membuat Tel Aviv kalang kabut. Sebab legitimasi global itu rapuh; sekali runtuh, sulit diperbaiki.

Netanyahu menyebut Albanese sebagai pengkhianat Israel. Saya justru melihat sebaliknya: inilah momen ketika Australia setia pada nilai demokrasi yang sebenarnya, bukan demokrasi palsu yang dipakai Tel Aviv sebagai tameng. Demokrasi berarti menolak ujaran kebencian, bahkan jika ia datang dari negara yang selama ini disebut sekutu. Demokrasi berarti melindungi masyarakat dari retorika rasis, bahkan jika yang mengucapkannya duduk di parlemen negara sahabat. Dan demokrasi berarti berani berkata tidak pada kekuasaan yang sudah terlalu lama menuntut perlakuan istimewa.

Saya yakin, di Tel Aviv mereka sadar betul arti dari penolakan ini. Sebab jika satu negara Barat bisa menolak, maka rantai itu bisa menjalar. Dunia tidak lagi terikat pada rasa bersalah sejarah yang membuat mereka menutup mata. Generasi baru lebih berani, lebih terbuka, dan lebih sadar bahwa penderitaan Palestina bukan lagi isu regional, tapi soal kemanusiaan universal. Dan dalam lanskap semacam itu, tokoh seperti Rothman hanya akan mempercepat runtuhnya citra Israel.

Pada akhirnya, apa artinya semua ini bagi Israel? Ia adalah cermin bahwa dunia tidak lagi menelan bulat-bulat narasi lama mereka. Ia adalah tanda bahwa propaganda “kami korban abadi” mulai kehilangan pembeli. Dan yang paling pahit, ia adalah bukti bahwa bahkan di negara-negara sekutu, suara-suara kritis makin keras terdengar. Australia baru saja mengetuk pintu sejarah, menunjukkan bahwa menolak Israel bukan lagi tabu. Mungkin kecil, tapi riaknya bisa membesar.

Maka jika Tel Aviv merasa terhina, mungkin memang sudah waktunya mereka bercermin. Dunia tak lagi terpukau dengan kata-kata manis tentang demokrasi. Dunia melihat realita di Gaza, di Tepi Barat, di bibir-bibir yang kering karena blokade. Dan dunia mulai mengambil sikap. Saya rasa, untuk sekali ini, Australia benar. Dan bagi Israel, ini lebih dari sekadar tamparan. Ini peringatan: masa kejayaan diplomasi impunitas itu sedang berakhir.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer