Connect with us

Opini

Tak Gentar Dibom Zionis, Yaman Tetap Menyala

Published

on

Ada absurditas yang begitu telanjang di hadapan kita, tetapi anehnya sering kali orang menutup mata: sebuah negeri miskin di Jazirah Arab, Yaman, yang sejak lama dihantam kelaparan, penyakit, dan perang, justru berdiri tegak melawan sebuah entitas bersenjata nuklir dengan dukungan penuh Amerika dan Eropa. Kontras ini tak hanya menggelitik logika, tapi juga memantik rasa heran bercampur kagum. Bagaimana mungkin serangan jet tempur canggih, yang meluluhlantakkan infrastruktur vital di Sana’a, tidak membuat Ansarullah ciut? Mengapa justru setiap dentuman bom di langit Yaman disambut dengan rudal balistik yang meluncur menuju jantung Tel Aviv?

Pertanyaan ini semakin relevan ketika menyimak laporan terbaru: Israel membombardir pembangkit listrik di Sana’a, menewaskan enam orang dan melukai puluhan lainnya, termasuk anak-anak. Di atas kertas, itu seharusnya cukup untuk membuat sebuah kelompok bersenjata di negeri miskin menyerah. Tapi nyatanya, tak ada tanda-tanda gentar. Mohammad al-Bukhaiti dan Mohammad al-Farah, dua tokoh politik Ansarullah, malah menegaskan bahwa dukungan untuk Gaza akan terus berlanjut, apa pun konsekuensinya. Ironi pun kian jelas: kekuatan udara termodern dunia Barat dan sekutunya tampak tak berdaya menghadapi keteguhan hati sebuah bangsa yang sudah lama hidup dalam reruntuhan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Saya rasa, di sinilah letak kegagalan besar strategi deterensi zionis. Mereka berpikir, seperti biasa, bahwa dengan bom dan teror udara, lawan akan tunduk. Mereka lupa bahwa formula ini hanya berlaku bagi masyarakat yang kenyang, urban, dan manja, yang listrik padam sebentar saja sudah melahirkan keluhan panjang di media sosial. Yaman tidak begitu. Hidup dalam gelap dan lapar sudah menjadi bagian dari hari-hari mereka sejak blokade dan agresi Saudi–AS dimulai. Jadi apa lagi yang bisa ditakut-takuti? Kehilangan listrik? Mereka sudah terbiasa. Kehilangan rumah? Itu sudah jamak. Kehilangan nyawa? Itu sudah dianggap jalan menuju syahadah.

Jika kita mau jujur, justru yang menakutkan adalah kenyataan bahwa serangan udara tak lagi menakutkan. Dunia modern percaya pada logika deterrence: jika seseorang memegang pentungan lebih besar, lawan akan ciut. Namun, bagaimana jika lawannya sudah siap dipukul, berkali-kali, bahkan dengan senyum getir? Maka deterensi runtuh. Zionis mengebom Sana’a, Ansarullah menembakkan MIRV ke Ben Gurion. Zionis menghancurkan fasilitas sipil, Ansarullah menutup pelabuhan strategis. Seolah-olah bom bukan lagi senjata, tapi hanya pengingat bagi rakyat Yaman bahwa perjuangan mereka masih relevan.

Mari kita tarik sedikit ke pengalaman sehari-hari. Bayangkan seorang tukang becak yang setiap hari hujan-hujanan, panas-panasan, makan seadanya, dan hidup pas-pasan. Apa yang bisa mengancam dia? Kehilangan mobil mewah? Dia tak punya. Kehilangan rumah megah? Dia hanya menyewa bilik kecil. Ancaman kehilangan tak menakutkan bagi orang yang tak memiliki banyak hal. Justru, semakin miskin dan terpojok seseorang, semakin besar ruang keberaniannya. Nah, Yaman persis begitu di panggung global: sebuah bangsa yang sudah lama kehilangan banyak hal, sehingga yang tersisa hanya kehormatan. Dan kehormatan itu, sebagaimana sejarah kerap buktikan, lebih berbahaya daripada ribuan jet tempur.

Ironinya, serangan zionis malah mempertebal legitimasi Ansarullah. Setiap kali ada bom jatuh di Sana’a, mereka berkata: “lihat, serangan kita kena sasaran, musuh marah.” Logika terbalik ini menjadikan setiap korban bukan sekadar tragedi, tapi juga bukti bahwa rudal Yaman menimbulkan rasa sakit di jantung Israel. Tentu saja kita boleh marah dan berduka atas korban sipil, tetapi kita juga harus menyadari bahwa dalam narasi politik, penderitaan itu menjadi bahan bakar bagi konsolidasi sosial. Zionis justru memberi hadiah propaganda gratis bagi Ansarullah setiap kali jet mereka melintas di langit Yaman.

Kita pun bisa bertanya, bagaimana mungkin Ansarullah tetap menantang meski tahu di balik Israel ada kekuatan besar Barat? Jawabannya sederhana: justru karena itu. Mereka memandang lawan mereka bukan sekadar entitas kecil di Tel Aviv, tetapi seluruh arsitektur imperialisme global. Ini memberikan mereka peran moral yang lebih besar—semacam perasaan bahwa mereka adalah benteng terakhir umat Islam melawan hegemoni Amerika dan Eropa. Dari sudut pandang propaganda, itu adalah emas. Sebab ketika sebagian rezim Arab malah menormalisasi hubungan, Yaman tampil sebagai pengecualian heroik yang secara terbuka menantang. Tak peduli miskin, tak peduli kelaparan, tapi simbol moral itu bernilai jauh lebih besar daripada GDP.

Sebagian orang mungkin berkata, “ah, tapi itu hanya retorika.” Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Ansarullah berhasil meluncurkan rudal balistik hingga menembus radar Iron Dome. Mereka melakukan blokade laut terhadap pelabuhan zionis. Mereka mengguncang rasa aman warga Israel lebih dari seribu kilometer jauhnya. Semua itu tidak bisa dikecilkan hanya sebagai retorika. Dan setiap keberhasilan teknis ini, meski tak sebesar militer konvensional, memberi dorongan psikologis yang dahsyat. Lawan yang paling sulit ditaklukkan adalah lawan yang justru merasa lebih kuat setelah dipukul.

Saya teringat pepatah lama: “Yang lapar lebih berani daripada yang kenyang.” Yaman hari ini adalah bangsa lapar yang berani. Zionis, sebaliknya, adalah bangsa yang kenyang tetapi gelisah, dikelilingi ancaman dari berbagai arah. Maka tidak heran bila jet tempur canggih dan bom pintar hanya menjadi pameran teknologi yang gagal mencapai tujuan politik. Bukannya membuat Yaman berhenti, justru membuat mereka semakin yakin bahwa mereka berada di jalur yang benar.

Dan di titik inilah absurditas paling getir terhampar. Barat, dengan semua kekayaan dan persenjataannya, bersekutu untuk menundukkan sebuah bangsa yang bahkan sering dilupakan di peta dunia. Tetapi alih-alih tunduk, Yaman justru mengirim pesan balasan yang menggema jauh ke jantung Tel Aviv. Ini bukan hanya perlawanan militer, tetapi juga tamparan simbolis: bahwa di tengah dunia yang diklaim serba modern, teknologi tidak otomatis menundukkan tekad manusia.

Pada akhirnya, serangan Israel ke Yaman hanya menegaskan dua hal. Pertama, bahwa zionis tidak punya strategi selain membabi buta, menargetkan sipil, dan berharap lawan patah semangat. Kedua, bahwa strategi itu sudah bangkrut sejak lama, karena yang mereka hadapi bukan sekadar tentara, melainkan sebuah bangsa yang sudah terlatih untuk menderita, terbiasa hidup dalam reruntuhan, dan memandang kematian bukan sebagai akhir melainkan awal dari kemenangan. Maka, berapa pun jumlah jet yang terbang di langit Sana’a, Ansarullah tak akan berhenti. Karena bom bisa menghancurkan gedung, tapi tak pernah bisa menghancurkan keyakinan.

Begitulah ironinya. Zionis terus mengebom, berharap ada rasa takut. Tapi Yaman sudah lama kehilangan rasa takut itu. Yang tersisa hanyalah keberanian, dan keberanian itu, pada akhirnya, lebih menakutkan daripada semua jet tempur generasi kelima yang dimiliki Amerika.

Sumber:

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Ansarullah Ragukan Netralitas Organisasi Internasional

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer