Connect with us

Opini

Tak Ada Lagi Tempat Aman: Serangan Iran dan Trauma Kolektif Tel Aviv

Published

on

Tel Aviv, kota yang selama ini dikenal sebagai pusat kehidupan tanpa henti di wilayah pendudukan, kini berubah menjadi ruang hampa. Dalam laporan Channel 12 yang ditayangkan pasca-serangan balasan Iran, digambarkan bagaimana denyut kota itu seolah berhenti. Sebuah kota yang biasanya penuh hiruk-pikuk, dipadati oleh suara kendaraan dan aktivitas malam hari, tiba-tiba mendadak sepi. Jalanan kosong. Toko-toko tutup. Bahkan parkir gratis pun tak mampu menarik siapa pun. Kota itu lari dari dirinya sendiri.

Ketakutan bukan lagi perasaan diam-diam yang disembunyikan di balik jendela apartemen. Ia menjadi kenyataan yang menyelubungi seluruh atmosfer Tel Aviv. Tidak hanya karena ancaman misil, tetapi karena kenyataan bahwa ruang aman yang selama ini dibanggakan—bunker, ruang perlindungan, dan sistem pertahanan berlapis—ternyata tak sekuat yang diyakini. Dua orang dilaporkan tewas di Petah Tikvah meskipun telah berlindung di shelter yang diperkuat. Ledakan misil Iran menghantam di antara dua bunker, menjebol ketenangan yang dipaksa dibangun dengan teknologi dan propaganda.

Tak heran jika dalam satu hari saja, El Al Airlines menerima 25.000 permintaan penerbangan dari Tel Aviv. Sebuah angka yang bukan hanya statistik, tapi narasi tentang mereka yang merasa hidup tak lagi bisa dilanjutkan di tempat yang dulu dianggap aman. Salah satu warga yang tinggal di HaYarkon Street menyatakan, mayoritas tetangganya telah pergi. Banyak dari mereka tinggal di bangunan tua yang tak memiliki shelter sama sekali. Bahkan para pemukim tertua pun mengakui belum pernah mengalami situasi seperti ini. Ketika kota metropolitan terkemuka merasa tak terlindungi, pertanyaannya adalah: apa yang tersisa dari rasa aman?

Yang lebih mengusik adalah munculnya bentrokan fisik di dalam ruang perlindungan. Seorang remaja menyemprotkan gas merica di dalam shelter yang penuh sesak di kawasan Shapira, menyebabkan luka dan kekacauan. Di tempat lain, sekelompok anak muda merokok di dalam shelter yang dipenuhi lansia dan orang sakit, hingga terjadi perkelahian. Bahkan seorang wanita ditinju hanya karena masuk shelter bersama anjingnya. Pemerintah pun meluncurkan layanan mediasi darurat untuk mencegah kekerasan di antara para pemukim sendiri. Ini bukan hanya soal konflik interpersonal. Ini adalah tanda disintegrasi sosial yang mencemaskan.

Kementerian Sosial Israel menyebut kondisi itu sebagai gejala dari keruntuhan sosial yang lebih luas. Ruang perlindungan yang semestinya menjadi simbol keamanan dan solidaritas berubah menjadi medan konflik. Ketika ketakutan mengambil alih ruang publik dan pribadi sekaligus, masyarakat bukan hanya terancam secara fisik, tapi juga secara psikologis dan emosional. Serangan bukan hanya datang dari langit, tapi juga tumbuh dari ketegangan internal yang tak bisa lagi ditutupi.

Sumber dari Iran mengatakan kepada Nour News bahwa jika Israel kembali menyerang wilayah sipil di Iran, maka tak ada satu pun wilayah yang akan dianggap aman. Ini bukan sekadar ancaman biasa. Ini penegasan strategis bahwa perang tak lagi berjarak atau dikendalikan melalui proksi. Iran kini merespons secara langsung, dalam skala yang mampu mengguncang persepsi keamanan nasional entitas Israel. Operasi “True Promise 3” yang telah berjalan dalam 20 gelombang sejak 14 Juni bukanlah bentuk reaksi simbolik. Ia adalah pesan dengan daya rusak dan daya tawar tinggi.

Ada satu kalimat yang diucapkan sumber Iran dan patut dicermati: “Kebodohan Netanyahu dan entitas Israel akan memberikan pelajaran yang tak akan pernah mereka lupakan.” Terlepas dari nada kerasnya, pernyataan itu mencerminkan satu hal: perubahan kalkulasi strategi. Bagi Iran, ini bukan lagi soal balas dendam, tapi soal mengatur ulang peta keseimbangan kekuatan di kawasan. Bagi Israel, ini adalah titik nadir dalam kepercayaan diri militer dan sipil. Ketika sistem pertahanan gagal memberikan perlindungan, dan masyarakat mulai pecah dari dalam, maka ancaman menjadi eksistensial.

Apa makna semua ini bagi kita yang tinggal jauh dari zona konflik, seperti di Indonesia? Pertama, bahwa ketergantungan pada kekuatan militer dan teknologi saja tak menjamin rasa aman sejati. Tel Aviv yang semula dianggap simbol kemajuan, kini menjadi simbol kehampaan. Kedua, bahwa solidaritas sosial dan kesiapsiagaan sipil adalah aset paling langka saat krisis benar-benar datang. Kita bisa membangun infrastruktur, tapi tanpa membangun ketahanan sosial, semuanya bisa runtuh dalam waktu singkat.

Di sisi lain, ini juga menyadarkan bahwa ketika konflik berlangsung di satu titik dunia, resonansinya bisa sampai ke mana-mana. Indonesia sebagai negara dengan kebijakan luar negeri bebas aktif, tak bisa menutup mata dari fakta bahwa ketegangan seperti ini bisa berdampak pada stabilitas global, ekonomi, bahkan keamanan kawasan. Apalagi jika serangan terus berlangsung dan skala konflik meningkat. Dunia tidak bisa membiarkan dua pihak terus saling memukul tanpa arah, sementara warga sipil menjadi korban utama.

Yang juga perlu direnungkan: jika sebuah entitas dengan sistem militer paling canggih di kawasan saja bisa ketakutan, bagaimana nasib rakyat biasa di Gaza, Yaman, Suriah, dan Lebanon yang setiap hari hidup di bawah bayang-bayang serangan dan embargo? Bagaimana mungkin dunia baru terguncang ketika Tel Aviv menjadi sasaran, padahal kota-kota di dunia Arab telah luluh lantak selama puluhan tahun?

Laporan dari Channel 12 dan media lain menunjukkan bahwa perang modern bukan hanya soal teknologi dan persenjataan. Ini tentang psikologi massa, logistik sosial, dan pertarungan legitimasi. Iran tampaknya memahami hal ini, dan itulah mengapa serangannya menyasar bukan hanya fasilitas militer, tapi juga makna simbolik seperti Tel Aviv. Kini, kota itu bukan lagi tempat yang “tidak pernah tidur,” tapi kota yang sedang kabur dari dirinya sendiri.

Satu pertanyaan menggantung di akhir semua ini: setelah kehancuran fisik dan ketegangan sosial, apa yang tersisa untuk dipertahankan? Ketika kota metropolitan menjadi sunyi, ketika bunker tak lagi memberikan jaminan, dan ketika masyarakat mulai retak dari dalam—maka satu-satunya yang bisa diandalkan adalah harapan. Tapi bahkan harapan pun perlu tempat untuk bertahan. Dan di Tel Aviv hari ini, tempat itu tampaknya sudah hilang.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *