Opini
Syuhada Pencari Makan: Ketika Roti Lebih Mematikan dari Peluru

Pada 24 Juni, tank-tank dan drone militer Israel kembali menembakkan peluru mereka, bukan ke markas milisi, bukan ke pusat komando tempur, melainkan ke kerumunan warga sipil yang sedang mengantri bantuan makanan di Salah al-Din Street, Gaza Tengah. Di antara debu, keputusasaan, dan kantong-kantong plastik, sedikitnya 50 orang gugur seketika. Mereka bukan musuh bersenjata. Mereka hanya manusia biasa yang lapar. Rumah Sakit Al-Awda di Nuseirat mencatat menerima 19 jenazah dan 146 korban luka, 62 di antaranya dalam kondisi kritis. Dunia mencatat peristiwa itu sebagai statistik baru—angka yang mungkin akan terlupakan, hingga peristiwa serupa kembali terjadi.
Yang mereka incar bukan senjata, tapi roti. Bukan rudal, tapi nasi. Tapi apa daya, roti pun kini bisa menjadi alasan seseorang meregang nyawa. Data dari Kementerian Kesehatan Gaza mencatat bahwa dari seluruh korban yang gugur pada 24 Juni itu, 49 di antaranya adalah warga yang sedang berusaha mendapatkan bantuan pangan. Angka total warga yang gugur saat mencoba mengakses bantuan pangan—atau kini disebut sebagai livelihood martyrs—telah mencapai 516 jiwa, dan lebih dari 3.799 orang terluka. Artinya, lebih dari 3.000 tubuh yang kini membawa kenangan luka karena sesuatu yang di tempat lain dianggap sebagai hal yang lumrah: mencari makan.
Tapi Gaza memang bukan tempat yang lumrah. Di sana, kemanusiaan telah dijadikan eksperimen militer. Sistem distribusi bantuan yang digunakan di wilayah ini, yang dikenal dengan nama Gaza Humanitarian Foundation (GHF), adalah hasil kolaborasi antara Israel dan Amerika Serikat. Alih-alih memberikan harapan, GHF telah berubah menjadi jebakan mematikan. Bahkan Komisioner Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, dalam konferensi persnya di Berlin menyebut sistem ini sebagai “an abomination”—penghinaan terhadap martabat manusia yang lapar. Ia menyebutnya sebagai “death trap”—jebakan maut—yang lebih banyak mencabut nyawa daripada menyelamatkan.
PBB pun menyuarakan hal serupa. Dalam konferensi pers di Jenewa, juru bicara HAM PBB, Thameen al-Kheetan, menyebut sistem ini sebagai bentuk militerisasi dari bantuan kemanusiaan. “Desperate, hungry people in Gaza continue to face the inhumane choice of either starving to death or risk being killed while trying to get food,” ujarnya. Kalimat yang seharusnya menggetarkan hati siapa pun yang masih punya sisa nurani. Tapi tampaknya, kita hidup di zaman di mana hati pun telah dijinakkan oleh algoritma dan sikap cuek global.
Di Indonesia, kita mungkin menganggap bantuan sembako sebagai kegiatan rutin kelurahan. Orang mengantri, foto viral, lalu pulang dengan sekarung beras dan paket mie instan. Tapi di Gaza, mengantri bantuan pangan bisa berarti akhir dari hidup. Nyawa mereka, yang mestinya dilindungi oleh konvensi internasional, kini dibiarkan begitu saja berserakan, hanya karena ingin makan. Pertanyaannya sederhana: sejak kapan makanan menjadi barang berbahaya? Sejak kapan roti bisa menimbulkan ledakan?
Bukan hanya soal jumlah korban, tapi juga soal cara dunia memandang tragedi ini. Media arus utama menulis dengan frasa-frasa netral seperti “kerusuhan saat distribusi bantuan,” seakan-akan para korban gugur karena desak-desakan atau ulah mereka sendiri. Padahal jelas: penembakannya dilakukan oleh militer, di lokasi yang telah dipetakan, di tengah sistem yang diawasi ketat. Jika ini bukan pembantaian terencana, lalu apa namanya? Atau memang kita telah kehilangan kosa kata untuk menyebut kekejaman?
Yang lebih mengerikan, laporan dari Harvard Dataverse—ditulis oleh profesor Israel sendiri, Yaakov Garb—mengungkap bahwa sejak kampanye militer Israel di Gaza dimulai pada 2023, setidaknya 377.000 warga Palestina hilang. Separuh dari jumlah itu adalah anak-anak. Garb menggunakan pemetaan spasial dan analisis data untuk menunjukkan bahwa populasi Gaza telah menyusut drastis. Dari 2,227 juta sebelum perang, kini hanya sekitar 1,85 juta yang tersisa. Angka ini bukan sekadar akibat pengungsian atau perpindahan—sebagian besar dari mereka, diduga, telah meninggal.
Sebagai perbandingan, bayangkan jika Indonesia kehilangan 17% dari penduduknya hanya dalam setahun. Artinya, sekitar 47 juta orang lenyap. Apakah kita akan tetap menganggap itu sebagai “konflik”? Atau apakah kita akan mulai menyebutnya sebagai apa yang sebenarnya: genosida?
Laporan The Lancet, jurnal medis ternama, juga mengonfirmasi kekhawatiran ini. Dalam studi yang diterbitkan pada Januari lalu, mereka memperkirakan bahwa angka kematian akibat serangan Israel di Gaza kemungkinan di bawah hitung hingga 41 persen. Bahkan mereka menyebutkan bahwa jumlah kematian bisa mencapai antara 149.000 hingga 598.000 orang, tergantung pada skenario pascaperang. Ini bukan sekadar angka. Ini nyawa. Ini tubuh-tubuh yang terkubur di bawah reruntuhan, tak tercatat, tak dikabarkan, tak dianggap.
Semua ini menunjukkan satu hal: sistem bantuan seperti GHF bukan solusi, tapi bagian dari persoalan. Bantuan yang dimiliterisasi, dijaga oleh pasukan bersenjata, didistribusikan di zona yang telah dimarkahi sebagai target militer, tidak bisa disebut sebagai “kemanusiaan”. Itu adalah instrumen dominasi. Mungkin itulah bentuk kolonialisme baru: bukan dengan menduduki, tapi dengan mengontrol siapa yang boleh hidup, dan siapa yang tidak.
Kita, di negeri yang jauh, yang hidup dalam kenyamanan relatif, perlu menatap wajah para livelihood martyrs ini lebih dekat. Mereka bukan sekadar korban. Mereka bukan angka statistik yang muncul di layar berita malam. Mereka adalah simbol dari kegigihan manusia yang tak mau menyerah meski seluruh dunia seperti sudah membuang mereka. Mereka adalah orang-orang yang, meski tahu bisa mati, tetap melangkah demi sekarung tepung.
Dan kita pun, di sini, harus jujur bertanya: apa makna solidaritas jika hanya berhenti pada selebaran donasi? Apa makna kemanusiaan jika kita terus membiarkan kebijakan internasional dikendalikan oleh kekuatan yang menganggap nyawa rakyat Palestina tak lebih dari variabel kerusakan samping? Jika kita hanya menangis dalam hati, tapi tak bersuara di ruang publik, maka diam kita akan diingat sebagai bentuk keterlibatan.
Dunia kini menyaksikan bagaimana kelaparan dijadikan alat pembunuh, dan bantuan dijadikan alat pemusnah. Jika kita tidak mampu marah, maka setidaknya kita harus malu. Malu karena kenyang di atas puing-puing penderitaan. Malu karena aman di balik tembok apatisme.
Dan kelak, jika sejarah mencatat era ini sebagai masa kegelapan moral umat manusia, maka nama-nama mereka—para syuhada pencari makan—akan tetap hidup. Bukan sebagai angka. Tapi sebagai wajah-wajah yang menolak menyerah. Wajah-wajah yang, dalam diam dan lapar, tetap berkata: kami ingin hidup. Tapi dunia memilih membiarkan kami mati.
Sumber:
- https://thecradle.co/articles/harvard-linked-study-finds-israel-disappeared-nearly-400000-palestinians-in-gaza-half-of-them-children-report
- https://thecradle.co/articles/un-officials-accuse-israel-of-weaponizing-aid-in-gaza-as-ghf-massacres-continue