Connect with us

Opini

Sweida & Gaza: Krisis Kemanusiaan di Bawah Bayang Kekerasan

Published

on

Laporan Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) pada Minggu (27/7) menyampaikan kabar yang mengiris hati: pos pemeriksaan di Busr al-Sham, Sweida, memblokir tim media asing, termasuk Associated Press, meski mereka membawa izin resmi dari Damaskus. Jurnalis dipaksa pulang karena Ahmad al-Dalati, kepala keamanan internal, menolak akses. Sweida terisolasi, dicekik blokade lebih dari seminggu, kekurangan makanan, air, dan bahan bakar. Ini seperti Gaza: penderitaan warga sipil di bawah kontrol kekerasan.

Blokade di Sweida sungguh kejam. Dari 14 truk bantuan kemanusiaan, hanya satu boleh lewat, meninggalkan ribuan warga kelaparan dan haus. Toko roti kehabisan tepung, truk air tak bergerak karena kehabisan diesel. Gaza pun serupa: blokade Israel sejak 2007 membatasi makanan, obat, dan air bersih. Listrik hanya menyala beberapa jam, rumah sakit megap-megap. Bukankah ini sama? Memutus kebutuhan dasar demi kekuasaan, mengorbankan nyawa warga sipil tanpa belas kasihan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Laporan SOHR mencatat 1.420 kematian di Sweida sejak 13 Juli: 678 penduduk, termasuk 145 warga sipil—21 anak dan 56 perempuan. Eksekusi di lapangan menewaskan 250 orang, termasuk 12 perempuan dan 8 anak. Di Gaza, PBB melaporkan lebih dari 40.000 warga sipil tewas sejak Oktober 2023, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Gencatan senjata di kedua tempat rapuh, pelanggaran berulang, dan warga sipil selalu jadi korban kekerasan yang tak berkesudahan.

Kemiripan Sweida dan Gaza terletak pada pola kekerasan yang berulang. Di Sweida, serangan udara Israel menewaskan 15 anggota militer Suriah dan tiga warga sipil, termasuk seorang perempuan, dengan dalih melindungi Druze. Gaza juga menderita serangan udara Israel, menghancurkan rumah, sekolah, dan masjid. Penjarahan di Kanaker, Sweida, terjadi di bawah pengawasan pasukan keamanan, mirip Gaza, di mana penghancuran berlangsung tanpa akuntabilitas. Bukankah ini pengabaian hukum kemanusiaan?

Jalan Damaskus-Sweida diblokir kelompok bersenjata, memutus pasokan sayuran dan kebutuhan pokok. Di Gaza, perbatasan dikontrol ketat, nelayan tak bisa melaut tanpa ancaman tembakan. Warga di kedua wilayah terperangkap dalam konflik yang tak mereka ciptakan. SOHR melaporkan Syrian Arab Red Crescent berjuang mendistribusikan bantuan di Sweida, tapi tak cukup. Di Gaza, UNRWA menghadapi krisis pendanaan. Di Indonesia, kita tahu sulitnya distribusi bantuan saat bencana, tapi ini sengaja.

Seruan SOHR untuk intervensi internasional terasa akrab. Mereka menuntut koridor kemanusiaan dan investigasi PBB atas pelanggaran di Sweida. Gaza mendengar seruan serupa dari Amnesty International dan Human Rights Watch, namun dunia sering lambat bertindak. Di Indonesia, solidaritas untuk Palestina kuat—unjuk rasa di Jakarta, penggalangan dana—tapi Sweida jarang dibicarakan. Padahal, krisis air dan pangan di kedua tempat sama nyatanya. Mengapa kita hanya peduli pada satu krisis?

Krisis air di Sweida begitu parah. SOHR melaporkan truk pengantar air tak beroperasi karena kehabisan bahan bakar, mengancam krisis air minum. Di Gaza, PBB mencatat 95% air tanah tak layak minum, memperburuk penderitaan warga. Di Indonesia, kita pernah melihat krisis air saat banjir Jakarta atau kekeringan di NTT. Tapi di Sweida dan Gaza, ini bukan bencana alam—ini akibat keputusan manusia yang sengaja menghentikan aliran kehidupan.

Pola berulang di Sweida dan Gaza menunjukkan kegagalan hukum internasional. SOHR mencatat penjarahan di Kanaker terjadi di bawah hidung pasukan keamanan. Di Gaza, rumah warga hancur tanpa ganti rugi. Konvensi Jenewa, yang menjamin perlindungan warga sipil, seolah tak berdaya. Di Indonesia, kita ingat konflik di Aceh atau Poso, di mana warga sipil menderita. Bukankah ini saatnya bertanya: mengapa hukum kemanusiaan begitu lemah di tengah konflik?

SOHR mengecam pelanggaran gencatan senjata di Sweida sebagai “pelanggaran terang-terangan” yang membahayakan warga. Di Gaza, pelanggaran serupa oleh Israel dan kelompok bersenjata terus berulang. Di Sweida, 250 orang dieksekusi, termasuk seorang pria tua dan anak-anak. Di Gaza, ribuan anak tewas dalam serangan udara. Di Indonesia, kita pernah merasakan luka konflik di Ambon. Penderitaan manusia itu universal. Apa yang membuat kita diam saat nyawa hilang sia-sia?

Indonesia punya sejarah solidaritas kemanusiaan yang kuat. Kampanye #SavePalestine, bantuan dari organisasi seperti Aksi Cepat Tanggap, atau kecaman pemerintah terhadap agresi Israel menunjukkan kita peduli. Tapi Sweida mengingatkan: krisis kemanusiaan tak pilih tempat. SOHR meminta dunia membuka koridor bantuan dan menyelidiki pelanggaran di Sweida. Gaza butuh hal yang sama. Kita tahu betapa sulitnya koordinasi bantuan saat tsunami Aceh 2004, tapi ini lebih kejam—ini disengaja.

Krisis di Sweida dan Gaza bukan sekadar statistik. Di Sweida, SOHR melaporkan warga menghadapi kelangkaan sayuran dan bahan pokok karena blokade jalan. Di Gaza, pasar sering kosong, anak-anak kelaparan. Di Indonesia, kita pernah melihat antrean panjang saat krisis pangan pasca-bencana. Tapi di Sweida dan Gaza, kelangkaan ini diciptakan manusia, bukan alam. Bukankah ini memaksa kita bertanya: sampai kapan warga sipil harus menanggung beban konflik?

PBB dan organisasi internasional sering jadi harapan terakhir. Tapi di Sweida, seruan SOHR untuk koridor kemanusiaan dan investigasi terhambat birokrasi global. Di Gaza, resolusi PBB terbentur veto, bantuan tersendat. Di Indonesia, kita pernah melihat lambannya respons internasional saat bencana, tapi di sini, hambatan itu politik. Solidaritas kita untuk Palestina—melalui demonstrasi atau donasi—harusnya meluas ke Sweida. Mengapa krisis lain sering luput dari perhatian kita?

Laporan SOHR adalah pengingat bahwa krisis kemanusiaan bukan cuma berita. Sweida dan Gaza terhubung oleh penderitaan: blokade, kekerasan, dan pengabaian. Di Indonesia, kita pernah merasakan luka bencana dan konflik di Papua atau Maluku. Solidaritas kita untuk Palestina harus jadi inspirasi untuk peduli pada Sweida. Kita bisa menekan pemerintah, berbagi informasi, mendukung bantuan. Pertanyaan terakhir: jika dunia terus diam, berapa banyak nyawa lagi yang hilang sebelum kita bertindak?

Dunia sering terlalu sibuk dengan politik untuk mendengar jeritan Sweida dan Gaza. SOHR melaporkan penembakan anti-pesawat dan pengeboman di Sweida, meski ada gencatan senjata. Di Gaza, roket dan serangan balasan terus merusak kehidupan. Di Indonesia, kita tahu betapa rapuhnya perdamaian dari pengalaman di Poso. Penderitaan warga sipil di mana pun seharusnya mengguncang kita. Bukankah sudah saatnya kita menuntut akuntabilitas dari mereka yang mempermainkan nyawa manusia?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer