Connect with us

Opini

Suwayda Berdarah, Damaskus Diserang: Di Mana Kedaulatan Suriah?

Published

on

Israel kembali menyerang Suriah. Pada 16 Juli 2025, ledakan besar mengguncang Damaskus. Bukan di pinggiran kota atau pos militer terpencil. Tapi di kawasan pusat kekuasaan. Serangan itu ditujukan ke gerbang markas besar Staf Umum militer Suriah—sebuah simbol otoritas dan kedaulatan yang selama bertahun-tahun menjadi garis merah bagi banyak negara. Kini garis itu dilintasi dengan mudah. Tanpa peringatan. Tanpa konsekuensi yang terlihat. Dunia menyaksikan dalam diam. Damaskus, yang dulu diyakini sebagai jantung kedaulatan Arab, hari ini dibelah tanpa perlawanan.

Militer Israel mengonfirmasi serangan itu. Mereka menyatakan bahwa langkah tersebut adalah bagian dari “perlindungan terhadap warga sipil Druze di Suriah selatan.” Bahasa yang terdengar luhur di permukaan, namun di baliknya menyimpan maksud strategis yang jauh lebih dalam. Ini bukan sekadar solidaritas untuk komunitas minoritas, tapi bentuk nyata dari agresi terbuka terhadap negara yang telah kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan diri. Serangan terhadap Damaskus bukan hanya pelanggaran wilayah, melainkan penghinaan terhadap simbol negara.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Pernyataan Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, memperjelas motifnya. Ia menyebut, “IDF akan terus menyerang pasukan rezim hingga mereka mundur dari Suwayda.” Kalimat ini tidak lahir dalam ruang hampa. Ini bukan sekadar pembelaan terhadap Druze. Ini adalah tekanan militer terbuka terhadap pemerintahan Ahmad al-Sharaa, pengganti Bashar al-Assad yang naik ke tampuk kekuasaan setelah kejatuhan rezim lama akhir tahun lalu. Dengan lantang, Israel menyatakan: “Kami yang mengontrol langit Suriah. Kami yang menentukan batas.”

Bentrokan di Suwayda menjadi pemicu langsung dari ketegangan ini. Insiden kecil di pos pemeriksaan—penganiayaan terhadap seorang pemuda Druze oleh milisi pro-Damaskus—berkembang cepat menjadi bentrokan luas. Suwayda pun menjadi ajang pertempuran antara pasukan pemerintah dan faksi bersenjata lokal, terutama Dewan Militer Suwayda yang terbentuk awal tahun ini. Menurut laporan Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), hampir 250 orang tewas dalam waktu empat hari. Termasuk 21 warga sipil yang dieksekusi secara ekstrayudisial.

Laporan-laporan di lapangan menunjukkan bahwa para tetua Druze ditangkap dan dilecehkan. Simbol kehormatan mereka—kumis panjang tradisional—dipaksa dicukur di depan umum. Bahkan beberapa dari mereka ditemukan dalam kondisi tak bernyawa, diduga dibunuh oleh pasukan pemerintah dan sekutunya. Keluarga-keluarga terjebak di rumah. Pasokan makanan dan obat tak bisa masuk. Kota berubah menjadi penjara terbuka. Di tengah krisis ini, Israel hadir—bukan dengan bantuan kemanusiaan, tapi dengan rudal dan jet tempur.

Netanyahu dalam pernyataan publik menyampaikan pesan yang menegaskan posisi Israel. Ia meminta warga Druze Israel agar tidak menyeberang ke Suriah. “Biarkan IDF bekerja,” katanya. Kalimat itu memperlihatkan bahwa operasi ini bukan reaksi dadakan, melainkan bagian dari strategi militer jangka panjang. Israel tahu: tidak akan ada pembalasan dari Damaskus. Dan benar saja, Ahmad al-Sharaa hanya mengeluarkan pernyataan resmi, mengecam kekerasan, menjanjikan investigasi, dan menegaskan akan menjamin stabilitas. Tapi siapa yang masih percaya ketika pesawat tempur musuh bebas melintasi langit ibu kota?

Selama bertahun-tahun, di bawah Assad, Israel memang melakukan serangan udara ke Suriah. Tapi sangat jarang—kalaupun ada—menyasar jantung Damaskus. Ketika Iran dan Hizbullah masih aktif mendampingi Assad, Israel harus berhitung. Risiko eskalasi tinggi. Tapi kini, situasinya berubah total. Ahmad al-Sharaa telah menyingkirkan semua unsur pendukung lama, termasuk aliansi militer dengan Iran dan Hizbullah. Ruang kosong inilah yang dimanfaatkan Israel. Tidak ada rudal pertahanan yang diluncurkan. Tidak ada peringatan. Tidak ada ancaman balasan. Tidak ada deterrent.

Israel membaca situasi ini dengan tajam. Tanpa Iran dan Hizbullah, Suriah adalah ruang terbuka. Tak ada kekuatan militer yang mampu memberikan efek gentar. Maka tak heran, serangan terhadap fasilitas militer tertinggi Suriah dilakukan dengan keyakinan penuh. Tanpa keraguan. Tanpa kalkulasi berlebihan. Dan tanpa rasa takut bahwa langit Damaskus akan menembakkan rudal ke arah Tel Aviv.

Beberapa analis bahkan menyebut bahwa serangan ini hanyalah awal dari proyek yang lebih besar: menciptakan zona penyangga di selatan Suriah, dengan dalih melindungi minoritas Druze. Skemanya mirip dengan aneksasi Golan, wilayah Suriah yang diklaim sepihak oleh Israel dan kemudian dimasukkan dalam hukum domestik Israel. Kini, Suwayda sedang diarahkan ke jalan yang sama. Jika skenario ini berhasil, maka yang hancur bukan hanya wilayah, tapi juga sisa-sisa konsep kedaulatan nasional Suriah.

Pemerintahan al-Sharaa tidak dalam posisi untuk menolak atau melawan. Pernyataan mereka menekankan bahwa negara akan mengusut pelaku kekerasan dan menjamin stabilitas. Tapi stabilitas macam apa yang bisa dibangun ketika ibu kota sendiri tak bisa dilindungi? Apakah hukum masih berlaku, jika langit negara dikuasai oleh musuh? Apakah rakyat masih percaya pada negara, jika simbol-simbol kehormatan agama mereka dicukur dengan paksa oleh pasukan resmi?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting, bukan hanya untuk rakyat Suriah, tapi juga bagi kita semua. Sebagai bangsa yang pernah dijajah, Indonesia memahami arti penting kedaulatan. Kita tahu rasanya ketika kekuasaan asing menentukan nasib rakyat kita. Maka melihat Suriah hari ini, melihat Damaskus dibombardir tanpa balasan, dan Suwayda dibanjiri darah tanpa perlindungan, adalah pengingat bahwa kedaulatan bukanlah hal yang bisa dianggap remeh.

Apakah kedaulatan hanya milik negara besar? Apakah hukum internasional hanya berlaku jika ada kepentingan global yang sejalan? Dan ketika dunia hanya menyaksikan, tanpa menekan, apakah itu bukan bentuk persetujuan diam-diam?

Israel mungkin tidak akan berhenti di sini. Jika tidak ada batas, maka tidak akan ada akhir. Apa yang mereka coba di Damaskus bisa diperluas ke wilayah lain. Ahmad al-Sharaa, dengan segala janji modernisasi dan rekonsiliasinya, kini menghadapi krisis eksistensial. Tanpa pertahanan, tanpa perlawanan, dan tanpa sekutu kuat, pemerintahannya terlihat hanya sebagai simbol, bukan otoritas.

Suwayda berdarah. Damaskus diserang. Tapi yang lebih menakutkan dari semua itu adalah kenyataan bahwa kedaulatan Suriah kini tinggal nama. Dan dunia, sekali lagi, membiarkan satu negara kehilangan martabatnya—secara perlahan, sistematis, dan nyaris tanpa suara.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer