Opini
Survival Mode: Eropa Siap Perang?

AFP baru saja melaporkan bahwa Uni Eropa tengah bersiap mengumumkan rencana baru untuk mendorong warganya menyimpan peralatan darurat selama tiga hari di rumah. Mereka dianjurkan menyiapkan air botol, makanan tahan lama, senter, dan perlengkapan bertahan hidup lainnya. Komisaris Manajemen Krisis, Hadja Lahbib, menyebut langkah ini sebagai strategi kesiapan menghadapi segala kemungkinan, mulai dari bencana alam hingga perang. Tentu, ini bukan alarm palsu, ini peringatan yang sangat jelas: Eropa sedang bersiap untuk perang.
Mari kita jujur, ini bukan tentang bersiap menghadapi badai atau pemadaman listrik. Ini bukan tentang ketahanan pangan saat krisis iklim. Ini adalah pengakuan terang-terangan bahwa perang bisa meletus di tanah Eropa, dan bahwa warga sipil harus siap menghadapinya. Sejenak, mari bayangkan wajah-wajah pucat warga Paris, Berlin, atau Amsterdam, terbiasa dengan kopi pagi di kafe-kafe trendi, kini harus bersiap hidup dalam realitas seperti di Gaza, Damaskus, atau Baghdad. Lucu, bukan?
Selama bertahun-tahun, Eropa memposisikan diri sebagai mercusuar peradaban, tempat hak asasi manusia dan kemakmuran menjadi norma. Tapi sekarang, pemerintahnya sendiri meminta warga untuk mulai menyiapkan survival kit seolah-olah mereka tinggal di zona perang. Yang lebih ironis, ini datang dari benua yang selama ini melihat pengungsi dari Timur Tengah sebagai beban. Mereka menutup pintu bagi mereka yang kabur dari perang, tetapi kini malah bersiap menghadapi perang di rumah mereka sendiri. Karma is a bitch, isn’t it?
Di balik semua ini, ada pertanyaan besar: apakah warga Eropa benar-benar siap? Mereka yang terbiasa dengan sistem kesejahteraan sosial yang menjamin setiap aspek kehidupan, dari layanan kesehatan gratis hingga subsidi energi, kini diberitahu bahwa mereka harus bertahan hidup sendiri selama tiga hari. Tiga hari mungkin terdengar singkat, tetapi bagi mereka yang terbiasa dengan kenyamanan, itu bisa terasa seperti seumur hidup. Eropa sedang menghadapi ujian yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya: apakah mereka bisa bertahan seperti warga Aleppo, Mosul, atau Sana’a?
Tentu saja, langkah ini diambil dengan dalih ‘mencegah kepanikan’. Hadja Lahbib mengatakan bahwa kesiapan mencegah kepanikan, seperti yang terjadi saat pandemi COVID-19. Oh, tentu saja! Karena kita semua tahu betapa tertibnya warga Eropa saat toilet paper mendadak langka. Jika sekadar lockdown akibat virus membuat rak-rak supermarket kosong dalam hitungan jam, bayangkan apa yang akan terjadi jika roket mulai beterbangan di langit Paris.
Dan jangan lupakan dampaknya bagi ekonomi. Saat ini, Eropa tengah bergulat dengan inflasi tinggi, harga energi yang mencekik, dan ketidakstabilan politik. Kini, warga diminta mengalokasikan anggaran mereka untuk membeli survival kit? Pasti ini kabar baik bagi industri makanan kaleng dan penjualan senter! Sementara politisi terus berbicara soal kesiapsiagaan, mungkin mereka lupa bahwa warganya bahkan kesulitan membayar sewa rumah dan listrik. Apakah orang yang tak sanggup membeli susu untuk anaknya kini harus membeli ransum darurat? Brilian!
Tapi yang paling menarik dari ini semua adalah implikasi sosialnya. Jika situasi semakin buruk, bukan tidak mungkin Eropa akan mengalami eksodus. Ironisnya, bisa jadi mereka akan berakhir menjadi pengungsi di negara-negara yang dulu mereka anggap sebagai sumber masalah. Bayangkan, orang-orang Jerman dan Belanda melintasi perbatasan mencari perlindungan di Turki atau Afrika Utara. Bagaimana rasanya menjadi bagian dari gelombang pengungsi yang mereka tolak selama bertahun-tahun? Akan sangat menyenangkan melihat bagaimana media Barat menggambarkan ‘krisis pengungsi’ ketika wajah-wajah yang mengungsi bukan lagi dari Suriah atau Afghanistan, tetapi dari Prancis dan Swedia.
Sebenarnya, kebijakan ini adalah pengakuan diam-diam bahwa Eropa tidak seaman yang mereka kira. Mereka yang selama ini menonton perang dari jauh, mengomentari kehancuran Timur Tengah dari kursi empuk mereka, kini mulai menyadari bahwa kehancuran bisa tiba di depan pintu mereka sendiri. Ini bukan sekadar langkah preventif. Ini adalah tanda bahwa skenario terburuk bukan lagi mustahil.
Tapi mari kita sedikit berbaik sangka. Mungkin, ini hanya langkah cerdas dari Uni Eropa untuk mempersiapkan masyarakatnya terhadap ancaman yang memang nyata. Bagaimanapun juga, ketegangan antara Rusia dan NATO semakin meningkat, konflik global semakin kompleks, dan risiko perang di tanah Eropa bukan sekadar teori konspirasi. Namun tetap saja, bagaimana perasaan orang-orang yang selama ini mencemooh negara-negara yang hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian, ketika kini mereka harus melakukan hal yang sama?
Lebih jauh lagi, persiapan perang ini bukan hanya tentang warga sipil. Uni Eropa juga tengah memperkuat koordinasi militer dan sipil untuk menghadapi ancaman. Dengan perang Ukraina yang memasuki tahun ketiga dan ketegangan global yang meningkat, militerisasi Eropa semakin tak terhindarkan. Jerman, yang selama puluhan tahun berusaha menahan diri dari peningkatan anggaran pertahanan, kini menggelontorkan miliaran euro untuk memperkuat kekuatan militernya. Prancis dan Inggris pun tak mau ketinggalan, dengan aliansi pertahanan mereka yang semakin agresif.
Namun, ini juga memunculkan pertanyaan lain: apakah ini hanya tentang perang? Atau apakah Eropa kini menghadapi ancaman domestik yang lebih besar? Krisis energi, ketidakpuasan sosial, dan meningkatnya populasi orang miskin bisa menjadi pemicu ketidakstabilan di dalam negeri. Jika pemerintah merasa perlu menginstruksikan warganya untuk bertahan hidup mandiri selama tiga hari, bukankah ini menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya?
Ketika sistem kesejahteraan mulai goyah, ketika harga bahan pokok melonjak, dan ketika pengangguran merajalela, wajar jika rakyat mulai kehilangan kepercayaan. Pemerintah mungkin ingin mereka bersiap untuk perang, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa ancaman terbesar tidak datang dari dalam? Jika skenario terburuk terjadi, mungkin bukan tentara Rusia yang pertama kali mengancam stabilitas Eropa, melainkan gelombang protes dan kerusuhan dari rakyatnya sendiri.
Eropa kini dihadapkan pada dilema yang selama ini mereka abaikan. Mereka bisa terus berpura-pura bahwa ini hanyalah langkah antisipatif biasa, atau mereka bisa jujur pada diri sendiri: mereka tidak lagi kebal dari kehancuran. Dalam waktu dekat, kita mungkin akan melihat wajah-wajah panik di bandara, antrean panjang di perbatasan, dan gelombang warga yang mencoba meninggalkan benua yang dulunya dianggap sebagai tempat paling aman di dunia. Selamat datang di dunia nyata, Eropa. Dunia yang selama ini hanya kalian lihat di layar televisi, kini menjadi kenyataan di depan mata kalian sendiri.