Connect with us

Opini

Suriah Terjepit: Di Antara Israel dan Ambisi Turki

Published

on

Di tengah lanskap Suriah yang penuh puing dan debu, suara helikopter Israel menggema di langit Daraa, menyisakan jejak asap dan kehancuran. Di Nawa, masjid-masjid bergema dengan seruan jihad, menggetarkan udara yang sudah tebal oleh ketegangan. Sementara itu, di Ankara, Menteri Luar Negeri Hakan Fidan menegaskan bahwa Turki tak menginginkan konflik, namun siap bertindak demi keamanan nasional. Di balik semua ini, Ahmad Al-Sharaa—presiden transisi Suriah yang naik berkat dukungan Hayat Tahrir al-Sham (HTS)—berdiam dalam keheningan yang membingungkan, seolah menonton drama regional ini dari pinggir panggung.

Laporan terbaru menyoroti situasi yang rumit. Fidan mengkritik Israel atas “penghancuran sistematis” pangkalan udara Suriah selama empat bulan terakhir, menyebutnya sebagai agresi tak beralasan sejak tumbangnya Assad. Serangan di Daraa pada Rabu lalu menewaskan sembilan orang dan melukai sebelas lainnya, menurut Al-Mayadeen, sekaligus memicu perlawanan dari “sabotase Suriah.” Turki, yang sebelumnya telah memetakan tiga pangkalan udara untuk pakta pertahanan bersama Damaskus, mendapati rencananya hancur akibat serangan udara Israel di malam yang sama—sebuah eskalasi yang kini melibatkan Trump sebagai mediator potensial. Namun Al-Sharaa dan rakyat Suriah tetap absen dari narasi perlawanan, kecuali ketika kepentingan Turki terganggu.

Keheningan Al-Sharaa bukan tanpa konteks. HTS—kelompok yang awalnya terafiliasi dengan Al-Qaeda sebelum memutus hubungan pada 2016—menggulingkan Assad pada Desember 2024 lewat serangan kilat yang didukung Turki. Sebagai figur transisi sejak 29 Januari 2025, Al-Sharaa dihadapkan pada tantangan besar: menyatukan faksi-faksi oposisi dan membangun kembali negara yang porak-poranda. Dalam pidatonya, ia menjanjikan pembentukan angkatan bersenjata nasional dan pemilu dalam empat tahun. Namun hingga April 2025, militer nasional masih jauh dari harapan, tertatih akibat serangan Israel terhadap pangkalan-pangkalan utama seperti T4, yang membuat Suriah nyaris tanpa pertahanan udara.

Israel memanfaatkan kekosongan ini dengan cermat. Sejak Desember 2024, lebih dari 350 serangan udara—menurut perkiraan Channel 12 Israel—telah melumpuhkan infrastruktur militer Suriah. Koordinasi strategis dengan Turki, mirip pola lama bersama Rusia, menunjukkan pendekatan pragmatis untuk menghindari bentrok langsung, sembari tetap menekan Suriah. Pernyataan Netanyahu kepada Trump bahwa Israel “siap menghadapi Turki jika perlu”—dikutip dari sumber senior Israel—menegaskan kepercayaan diri mereka, sekaligus memperlihatkan lemahnya posisi Al-Sharaa yang tak mampu membalas.

Sementara itu, rakyat Suriah—yang semestinya menjadi ujung tombak perlawanan—tampak terpecah dan lelah. Setelah 13 tahun perang saudara, sebagian besar hanya ingin bertahan hidup, bukan mengangkat senjata. Ketika serangan Israel datang pasca-tumbangnya Assad, tak ada mobilisasi nasional yang berarti. Namun ketika pangkalan militer Turki di Hama diserang pada Maret 2025, warga di Nawa dan Daraa mengangkat senjata, didorong oleh seruan jihad dari masjid-masjid setempat. Ini memunculkan pertanyaan: apakah mereka melawan demi Suriah, atau demi investasi Turki di wilayah mereka?

Turki memainkan peran sentral dalam dinamika ini. Sebagai penyokong utama HTS dan Al-Sharaa, Ankara menggelontorkan sumber daya untuk menjadikan Suriah zona pengaruhnya. Fidan menyebut kerja sama dengan Damaskus sebagai sesuatu yang alami. Namun serangan Israel ke pangkalan-pangkalan yang ingin mereka kendalikan—sebagaimana dilaporkan Reuters—memaksa Turki mengevaluasi ulang posisinya. Meski retorika Fidan keras terhadap Netanyahu, pengakuannya bahwa ada koordinasi teknis reguler dengan Israel menunjukkan bahwa Ankara lebih memilih jalur pragmatis ketimbang konfrontasi terbuka.

Al-Sharaa, di sisi lain, terjebak dalam ketergantungan pada Turki. Dalam wawancara dengan Al-Arabiya pada Februari 2025, ia menyatakan bahwa Suriah tidak akan mengancam negara tetangga, termasuk Israel, meski menyebut ekspansi Israel “tak dapat diterima.” Tanpa militer yang tangguh dan dukungan internasional—sementara Rusia sibuk di Ukraina dan AS di bawah Trump permisif terhadap Israel—Al-Sharaa tidak memiliki daya tawar yang nyata. Keheningannya bisa jadi strategi bertahan, tapi sekaligus cerminan ketidakmampuan mengendalikan nasib negaranya.

Ironi terbesar tampak dalam respons masyarakat. Selama berbulan-bulan sejak Desember 2024, serangan Israel tidak memicu jihad massal. Namun ketika kepentingan Turki terganggu pada April 2025, seruan jihad mendadak menggema dari masjid-masjid. Seorang warga Damaskus, dikutip BBC, mengatakan, “Kami ingin damai, bukan perang lagi”—sebuah pernyataan yang tampaknya lebih mencerminkan loyalitas faksi pro-Turki daripada kehendak rakyat secara keseluruhan. “Jihad semu” ini lebih menyerupai instrumen politik ketimbang panggilan perjuangan nasional.

Israel, dengan keunggulan militernya, membaca kelemahan ini. Serangan di Daraa yang menewaskan sembilan orang dan incursi ke hutan Jabaliya Dam dengan kendaraan lapis baja menunjukkan tingkat kebebasan operasi yang hampir tanpa batas. Media Israel melaporkan bentrokan dengan “sabotase Suriah” di Daraa, namun semua itu hanyalah perlawanan lokal—bukan gerakan nasional terkoordinasi. Israel terus memperluas pengaruh, memanfaatkan kekosongan kekuasaan dan minimnya tekanan internasional untuk menetralisasi ancaman sebelum Suriah bisa bangkit kembali.

Trump, dalam pertemuan dengan Netanyahu, menawarkan diri sebagai mediator antara Israel dan Turki, sembari memuji Erdogan karena “berhasil mengambil alih Suriah” melalui HTS. Tapi tawaran itu terdengar simbolik semata. AS tak menekan Israel, dan Turki, meski keras dalam kata, belum menunjukkan tanda-tanda konfrontasi militer langsung. Di tengah semua ini, Al-Sharaa tetap menjadi figur pinggiran—bergantung pada Turki, tanpa kekuatan untuk mengarahkan bangsa sendiri, sementara rakyatnya terus menjadi pion dalam konflik yang lebih besar.

Inilah paradoks tragis Suriah. Al-Sharaa, simbol kedaulatan baru, malah menyaksikan negaranya jadi ladang perebutan pengaruh antara Israel dan Turki. Seruan jihad yang muncul lebih mencerminkan kepentingan Ankara daripada perlawanan nasional. Rakyat Suriah, setelah bertahun-tahun penderitaan, terpaksa menjalani peran yang ditentukan oleh pihak luar. Seorang warga Homs, dikutip Al-Mayadeen, menyuarakan kelelahan kolektif: “Kami lelah menjadi pion.” Namun kenyataan menunjukkan bahwa peran itu belum bergeser—dengan atau tanpa Assad.

Apakah ada jalan keluar dari siklus pesimisme ini? Membangun militer nasional independen jelas bukan hal instan. Tapi bukan berarti harapan benar-benar padam. Masyarakat sipil, diaspora yang mulai pulang, atau aktor netral seperti Qatar bisa jadi katalis perubahan—asal diberi ruang. Saat ini, Israel mungkin mendominasi langit dan tanah, dan Turki memobilisasi jihad demi kepentingannya. Namun suara rakyat Suriah—jika benar-benar terorganisir dan independen—masih punya potensi untuk mengubah narasi di masa depan.

Pada akhirnya, keheningan Al-Sharaa dan respons selektif rakyat Suriah mengungkap satu kenyataan getir: kedaulatan sejati masih jauh dari jangkauan, tetapi bukan mustahil. Israel bertindak semaunya, Turki memainkan peran pelindung yang sekaligus oportunis, dan Suriah tetap terpuruk. “Jihad semu” hanyalah babak lain dari kisah panjang ketidakberdayaan. Namun sejarah Suriah juga mencatat ketahanan yang tak terduga. Barangkali, di antara reruntuhan itu, benih perubahan sedang tumbuh—asal diberi kesempatan.

 

*Sumber:

https://english.almayadeen.net/news/politics/t%C3%BCrkiye-has-no-intention-of-conflict-in-syria–fm-hakan-fida

https://english.almayadeen.net/news/politics/-israel–will-confront-turkiye-militarily-if-necessary–isra

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *