Connect with us

Opini

Suriah Tanpa Assad: Kemerdekaan atau Kehancuran?

Published

on

Dalam 24 jam terakhir, 72 nyawa melayang di Suriah, terbunuh dalam serangkaian pembunuhan brutal yang menyasar warga sipil dan personel militer. Laporan dari Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) mencatat bahwa 58 korban berasal dari pedesaan Tartus dan Latakia, dengan pembantaian dilakukan oleh kelompok bersenjata yang terafiliasi dengan Keamanan Umum dan faksi militer Suriah. Sisa korban tersebar di Aleppo, Daraa, Deir Ezzor, Damaskus, dan Homs, tanpa rincian lebih lanjut mengenai pelaku.

Di tengah lautan darah ini, kita melihat potret kekuasaan al-Sharaa yang tidak hanya lalai, tetapi dengan sengaja membiarkan kebrutalan ini berlangsung. Rezim ini, yang menggantikan Assad dengan janji reformasi dan keamanan, kini justru membiarkan teror merajalela dengan dalih perang melawan “sisa-sisa rezim lama.” Alih-alih menghadirkan keadilan, ia menciptakan medan perang baru di mana kepentingan sektarian dan kekuasaan absolut menjadi prioritas.

Pemerintahan al-Sharaa seolah kehilangan daya kendali atas milisi-milisi yang didukungnya sendiri. Kaum Alawi, yang dahulu dipandang sebagai pilar kekuatan Assad, kini menjadi sasaran eksekusi massal. Rekaman video yang didapat SOHR memperlihatkan eksekusi pemuda-pemuda Alawi tak bersenjata di desa Shir, Latakia. Para pelaku? Tidak lain adalah aparat keamanan Suriah yang kini didominasi oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan milisi pro-Turki. Ironis, bahwa kelompok yang dulu mengklaim sebagai oposisi terhadap kediktatoran Assad kini mengulang kebrutalan yang sama, hanya dengan aktor yang berbeda.

Di sisi lain, rezim al-Sharaa tampak tak berkutik menghadapi agresi Israel. Saat tank-tank Zionis bergerak ke Quneitra dan serangan udara menghujani pangkalan militer Suriah, tidak ada satu pun tanggapan berarti dari pemerintahan baru ini. Militer yang seharusnya menjadi garda pertahanan justru sibuk menghabisi rakyatnya sendiri. Sementara rakyat dieksekusi di pedesaan Latakia, jet-jet tempur Israel bebas menghancurkan infrastruktur militer Suriah tanpa perlawanan berarti. Ini bukan hanya soal kelemahan, tetapi bukti konkret bahwa al-Sharaa tidak memiliki niat untuk mempertahankan kedaulatan Suriah.

Mari kita gunakan empat pisau analisis untuk membedah lebih dalam tragedi ini. Pertama, pendekatan Realisme Politik menjelaskan bahwa negara adalah aktor utama yang bertindak berdasarkan kepentingan kekuasaan dan keamanan. Dalam konteks ini, al-Sharaa telah gagal total. Ia tidak mampu menjaga stabilitas internal, apalagi mempertahankan kedaulatan dari intervensi asing. Jika Assad, dengan segala kebrutalannya, masih mampu menahan dominasi asing, al-Sharaa justru menyerahkan Suriah ke tangan milisi sektarian dan invasi luar.

Kedua, analisis Strukturalisme mengungkapkan bahwa perubahan rezim tidak serta-merta menghapuskan struktur kekuasaan lama. Meskipun Assad tumbang, warisan represi tetap berlanjut dengan wajah baru. Rezim HTS yang kini berkuasa hanya mengganti simbolisme, tanpa mengubah pola kekerasan dan penindasan. Justru, sektarianisme semakin tajam karena al-Sharaa memberi ruang bagi ekstremisme agama sebagai alat kontrol politik.

Ketiga, Teori Kegagalan Negara (Failed State Theory) sangat relevan dalam menjelaskan situasi ini. Negara yang gagal ditandai oleh hilangnya monopoli kekerasan sah, tidak berfungsinya institusi negara, serta ketidakmampuan dalam memberikan keamanan bagi warga. Semua indikator ini terpenuhi dalam pemerintahan al-Sharaa. Kegagalannya menanggapi serangan Israel dan membendung kekerasan sektarian menunjukkan bahwa Suriah bukan lagi negara berdaulat, melainkan arena bagi milisi dan kekuatan asing untuk berebut pengaruh.

Keempat, Perspektif Post-Kolonialisme membantu kita melihat bagaimana Suriah pasca-Assad tetap menjadi medan permainan geopolitik bagi kekuatan luar. Jika Assad dikritik karena terlalu dekat dengan Iran dan Rusia, maka al-Sharaa justru membiarkan intervensi Turki dan Barat semakin dalam. HTS, sebagai tulang punggung rezim ini, tidak lebih dari alat geopolitik yang digunakan untuk melemahkan struktur sosial-politik Suriah. Rakyat bukan lagi subjek dalam negaranya sendiri, melainkan sekadar angka dalam statistik korban perang.

Dengan semua analisis ini, pertanyaan besar pun muncul: apakah pemerintahan al-Sharaa lebih buruk daripada Assad? Jawabannya: ya, dan bahkan jauh lebih buruk. Assad mungkin dikenal sebagai diktator brutal, tetapi ia masih memiliki visi nasionalisme yang terstruktur. Sementara al-Sharaa? Ia adalah figur kosong yang membiarkan negara terpecah belah di bawah milisi sektarian. Ia bukan hanya gagal melindungi rakyatnya, tetapi juga menghancurkan kemungkinan rekonsiliasi nasional.

Suriah kini bukan hanya berada dalam krisis kemanusiaan, tetapi juga dalam pusaran kehancuran struktural yang hampir mustahil diperbaiki. Pembantaian terhadap warga Alawi menegaskan bahwa pemerintahan ini tidak hanya represif, tetapi juga selektif dalam menargetkan siapa yang layak hidup dan siapa yang harus dimusnahkan. Pada saat yang sama, kebisuannya terhadap agresi Israel menunjukkan bahwa al-Sharaa hanyalah boneka yang tidak punya keberanian atau strategi untuk mempertahankan negaranya.

Proyeksi masa depan Suriah semakin suram. Dengan pemerintahan yang tidak memiliki kejelasan arah, Suriah kemungkinan besar akan mengalami fragmentasi lebih lanjut. Wilayah utara akan semakin dikendalikan oleh Turki dan milisi pro-Barat, sementara bagian selatan menjadi arena bagi konflik sektarian yang tidak kunjung usai. Iran, Rusia, dan bahkan Cina mungkin akan meninjau ulang peran mereka dalam konflik ini, mengingat rezim al-Sharaa tidak menunjukkan keberpihakan yang jelas terhadap aliansi mana pun.

Dampak ekonomi juga tidak bisa diabaikan. Dengan infrastruktur yang hancur dan institusi negara yang lumpuh, Suriah akan semakin bergantung pada bantuan asing yang sering kali disertai dengan agenda politik terselubung. Rakyat Suriah akan terus berada dalam kondisi darurat kemanusiaan, dengan kemiskinan dan kelaparan yang semakin memburuk.

Apa yang terjadi di Suriah bukan sekadar transisi kekuasaan, tetapi pergantian tirani dengan bentuk yang lebih liar dan tidak terkendali. Jika Assad adalah monster yang bisa diprediksi, maka al-Sharaa adalah ketiadaan kepemimpinan yang membawa Suriah ke dalam jurang yang lebih dalam. Rezim ini bukan hanya tidak memiliki kapasitas, tetapi juga tidak memiliki kemauan untuk menyelamatkan Suriah dari kehancuran total.

Dan dengan itu, kita harus bertanya: jika ini adalah “kemerdekaan” yang dijanjikan oleh revolusi, apakah Suriah benar-benar lebih baik tanpa Assad?

 

Daftar Referensi:

  1. Al-Mayadeen –Israeli occupation infiltrates Quneitra, strikes sites in Homs (https://english.almayadeen.net/news/politics/israeli-occupation-infiltrates-quneitra–strikes-sites-in-ho)
  2. Al-Mayadeen – 72 killed in Syria in 24 hours amid rising assassinations (https://english.almayadeen.net/news/politics/72-killed-in-syria-in-24-hours-amid-rising-assassinations)
  3. The Cradle – Syrian government forces kill 72 Alawites in new wave of sectarian massacres (https://thecradle.co/articles/syrian-government-forces-kill-72-alawites-in-new-wave-of-sectarian-massacres)
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *