Opini
Suriah: Stabilitas atau Ilusi? Ketika Kedamaian Jadi Beban

Di sebuah wilayah yang dikuasai Hayat Tahrir al-Sham (HTS) pasca-perang di Suriah, di mana jalan-jalan yang dulu penuh dengan debu dan kehancuran kini mulai kembali dihiasi dengan sedikit ketertiban, ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri: stabilitas adalah hal yang sangat relatif. Seperti yang kita tahu, ketika sebuah kelompok yang sebelumnya disebut militan beralih menjadi aktor politik, hal-hal baru pun mulai muncul—termasuk kebijakan yang lebih rapi dan sistem sosial yang, yah, bisa diterima oleh beberapa kalangan.
Namun, mari kita berhenti sejenak dan bertanya, stabilitas versi mereka itu seperti apa? Masyarakat sipil di sana, yang sebelumnya hidup dalam bayang-bayang perang, mulai menyesuaikan diri dengan tatanan yang baru. Mereka bisa berjalan di pasar tanpa takut bom meledak atau rumah mereka dihancurkan. Namun, ada satu hal yang mereka lupakan: kebebasan. Di balik kedamaian ini, terdapat ideologi yang semakin menguat, yang mengharuskan setiap orang untuk mengikutinya tanpa banyak ruang untuk perbedaan.
Misalnya, di daerah yang dikuasai HTS, jika Anda ingin hidup tenang, Anda harus tunduk pada sistem dan aturan yang mengikat. Anda tak bisa sembarangan berbicara tentang politik atau agama tanpa takut dilihat sebagai ancaman. Sebagai contoh, di banyak wilayah, diskusi atau perbedaan pendapat tentang interpretasi agama sangat dibatasi. Seseorang yang memilih pandangan agama yang berbeda, bahkan jika itu sebatas perbedaan kecil dalam tafsir, bisa dianggap sebagai pembangkang yang mengancam stabilitas yang sedang dibangun.
Kemudian ada kebijakan ekonomi yang dicanangkan HTS. Mereka tampaknya telah memutuskan untuk menjadi lebih dari sekadar kelompok militan; mereka juga bertransformasi menjadi pengelola pasar. Dulu, pasar di wilayah ini kacau balau—perdagangan yang penuh ketidakpastian dan ancaman dari kelompok-kelompok lain. Sekarang, dengan kontrol yang lebih ketat, ada semacam “kemajuan” ekonomi: pedagang yang ingin berjualan harus mengikuti aturan-aturan yang sudah ditentukan oleh HTS. Produk yang mereka jual harus sesuai dengan norma ideologi yang dianut. Jika tidak, mereka bisa saja kehilangan izin untuk berdagang.
Misalnya, pedagang yang menjual barang-barang yang dianggap “tidak sesuai” dengan prinsip-prinsip mereka—seperti pakaian yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran mereka—dapat diancam atau bahkan dipaksa untuk menutup toko mereka. Dalam sistem ini, meski roda perekonomian sedikit bergerak, itu hanya terjadi bagi mereka yang sepenuhnya mendukung sistem yang ada. Mereka yang terjebak di luar batasan ini terpaksa berjuang dengan sangat sulit untuk bertahan hidup. Ini bukanlah kebebasan ekonomi yang sejati, melainkan perekonomian yang sangat dikendalikan dengan sedikit ruang bagi mereka yang ingin berinovasi atau mengekspresikan diri.
Mungkin, bagi sebagian orang, ini adalah langkah maju. Mereka merasa lebih aman. Mereka bisa bekerja tanpa takut ditembak atau dikejar-kejar. Tetapi kita harus bertanya, apakah kehidupan yang “lebih aman” ini juga berarti “lebih terkekang”? Mereka yang tinggal di wilayah ini tahu betul bahwa mereka tidak sepenuhnya bebas. Mereka hanya diberikan gambaran tentang kebebasan, tapi di bawahnya ada kontrol yang lebih ketat dari yang bisa mereka bayangkan.
Bukan hanya soal kebebasan berpendapat dan ekonomi, tapi juga soal sosial. HTS mungkin merasa telah berhasil menjaga keamanan, tetapi dengan kekuasaannya yang makin besar, mereka juga semakin meminimalisir ruang bagi perbedaan. Di saat yang sama, mereka terus memperkuat citra diri mereka sebagai pelindung—sebuah wajah damai yang terbungkus oleh kontrol dan pengawasan. Maka, pertanyaannya adalah, apakah HTS benar-benar berhasil menciptakan masyarakat yang stabil, atau mereka hanya membangun sebuah tatanan sosial di mana orang-orang hidup dalam bayang-bayang ketakutan, terjebak dalam aturan yang tak pernah mereka pilih?
Ketika kita berbicara tentang HTS dan wilayah yang mereka kuasai, kita tak bisa lepas dari fakta bahwa kehidupan yang dijanjikan lebih tenang dan stabil hanyalah wajah lain dari sebuah sistem yang penuh dengan pengawasan. Sementara mereka yang tinggal di sana belajar menari dengan batasan-batasan, kita di luar bisa hanya menonton dengan tanya: “Apakah mereka benar-benar bebas, atau hanya sekadar diuntungkan oleh ketenangan palsu?”