Opini
Suriah: Revolusi atau Kudeta yang Membungkam Rakyat?

Dari rumah-rumah di Sweida, terdengar jeritan yang tidak akan pernah terekam oleh kamera berita mainstream. Video yang dikumpulkan Amnesty International memperlihatkan adegan yang tak hanya mengerikan, tetapi juga absurd: orang-orang yang tidak bersenjata, dipertemukan dengan eksekutor berpakaian militer, ditanya, “Kamu Muslim atau Druze?” dan ketika jawaban itu keluar, pelatuk ditembakkan. Sekilas, itu terlihat seperti adegan film thriller—hanya saja ini nyata. Nyawa menjadi taruhan identitas. Dan kita, dari jauh, hanya bisa menatap layar dengan rasa tak percaya bercampur marah.
Sekurangnya 46 orang telah dibunuh dengan cara yang sama—dengan sengaja, secara ilegal, di rumah, di sekolah, bahkan di rumah sakit. Seorang pekerja medis, Mohammed Rafiq al-Bahsas, mencoba menahan tangan-tangan bersenjata itu dengan logika dan kemanusiaan. Nyawanya tidak dihargai. Saat itu, kita harus bertanya: revolusi macam apa ini yang konon akan membebaskan rakyat? Apakah ini kemenangan rakyat? Atau hanya pergantian elit, kudeta terselubung yang membungkam mereka yang berharap perubahan nyata?
Kekerasan semacam ini mengingatkan kita bahwa revolusi bukan sekadar pergantian wajah di kursi kekuasaan. Revolusi berarti perubahan yang terasa oleh orang biasa. Ketika pemerintah baru dibentuk, janji-janji tentang reformasi dan stabilitas harusnya terasa di jalanan, di sekolah, di rumah sakit, bukan hanya terdengar dalam pidato yang diulang-ulang di televisi. Namun di Sweida, rakyat masih diburu berdasarkan identitas mereka, minoritas masih menjadi target, dan aparat yang konon menegakkan hukum justru menjadi eksekutor. Apakah ini kemenangan rakyat? Rasanya tidak.
Yang lebih ironis, pemerintah interim Suriah di bawah Ahmed al-Sharaa mengumumkan pembentukan komite untuk menyelidiki pelanggaran ini, tetapi sejarah panjang Suriah memberi kita sedikit alasan untuk optimis. Investigasi internal di Suriah biasanya berakhir dengan laporan yang rapi di atas meja, sementara korban tetap menunggu keadilan. Dan sementara itu, narasi resmi tetap menekankan “melawan upaya separatisme” seolah kekerasan sektarian bisa dibenarkan demi menjaga persatuan. Sementara rakyat? Tetap menjadi pion dalam catur kekuasaan.
Tidak berhenti di situ, pola kekerasan ini adalah lingkaran sektarian yang mengerikan. Sebelumnya, di Latakia, Alawi menjadi korban serangan balasan dari komunitas lain, sebagian diprovokasi oleh loyalis rezim sebelumnya. Sweida hanyalah babak berikutnya dari siklus ini. Dua ribu orang tewas di Juli. Sekitar 1.500 Alawi tewas beberapa bulan sebelumnya. Angka-angka ini bukan statistik abstrak; mereka adalah keluarga yang hancur, impian yang tercerai berai, dan trauma yang tidak bisa ditimbang dengan laporan internasional semata. Kita semua tahu, korban yang tak terdengar ini adalah jiwa-jiwa yang hilang di tengah permainan kekuasaan yang jauh dari kontrol rakyat.
Dan di atas semua itu, dunia luar—terutama aktor regional seperti Israel—tidak kehilangan kesempatan untuk memainkan perannya. Penyerangan, pencaplokan wilayah, dan klaim politik turut menambah kompleksitas yang membuat agenda revolusi rakyat semakin terselubung. Revolusi ideal seharusnya memungkinkan rakyat untuk menentukan nasib mereka sendiri. Namun, di Suriah saat ini, rakyat tampaknya hanya menjadi penonton sekaligus korban dari pertarungan kekuasaan yang dimainkan oleh aktor internal maupun eksternal.
Sementara itu, pemilihan yang akan datang, dikontrol oleh komite-komite yang dipilih pemerintah, menegaskan satu hal: kekuasaan baru ini lebih mementingkan kelangsungan dirinya sendiri daripada aspirasi rakyat. Ketika demokrasi hanya menjadi formalitas, ketika politik hanyalah pertukaran kursi di antara elit, revolusi kehilangan makna. Kita seharusnya bisa menyebut ini kudeta terselubung: pergantian rezim tanpa perubahan substantif untuk rakyat.
Dan di tengah semua absurditas ini, masyarakat lokal tetap bertahan. Komunitas Druze mencoba menjaga tradisi mereka, menghadapi penghinaan simbolik seperti pemaksaan mencukur kumis yang memiliki makna religius. Mereka berhadapan dengan logika brutal yang menilai manusia bukan dari tindakan atau kemanusiaannya, tetapi dari label identitas yang dilekatkan. Ini adalah tragedi moral yang memaksa kita untuk bertanya: apakah “revolusi” masih relevan ketika rakyatnya sendiri tidak merasa aman dalam rumah mereka sendiri?
Maka, kita di sini, sebagai pengamat, harus reflektif. Revolusi yang sejati bukan sekadar pergantian rezim atau pidato heroik; revolusi adalah perubahan yang dirasakan oleh mereka yang paling rentan. Ketika eksekusi sewenang-wenang masih terjadi, ketika minoritas masih menjadi sasaran, ketika lembaga negara lebih mengutamakan kekuasaan daripada keadilan, maka istilah “revolusi rakyat” menjadi retorika kosong. Dan kita, yang menatap layar dengan berita dan video yang menyayat hati, hanya bisa menulis dan berbicara, berharap satu hari rakyat Suriah bisa merasakan revolusi yang sebenarnya: kebebasan dari ketakutan, keadilan, dan hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Sweida bukan hanya nama di peta. Sweida adalah cermin dari realitas Suriah yang lebih luas—realitas di mana perubahan yang konon diperjuangkan oleh rakyat malah membawa mereka ke dalam lingkaran kekerasan baru. Kita bisa menyebutnya revolusi, tapi saya rasa, jika melihat fakta dan data di lapangan, yang terjadi sejauh ini adalah pergantian elit dengan janji kosong. Kemenangan rakyat? Masih jauh. Dan jika revolusi tidak mampu menghentikan eksekusi di rumah sakit, tidak mampu melindungi minoritas, dan tidak mampu memberikan rakyat kendali atas nasib mereka sendiri, maka mungkin kita harus jujur: ini bukan kemenangan, ini kudeta yang dibalut retorika.
Di situlah letak tragedi sekaligus ironi Suriah. Orang-orang berjuang untuk kebebasan, tapi kebebasan itu tampaknya hanya ditimbang oleh jarak pelatuk dan seberapa loyal seseorang kepada kekuasaan baru. Kita bisa menulis laporan, membuat analisis, mengutuk dunia internasional yang diam, tetapi pada akhirnya, yang merasakan kekejaman itu tetap rakyat biasa. Revolusi tanpa rakyat yang menang adalah absurditas. Dan absurditas itu kini hidup di jantung Sweida.
Pingback: Pencabutan Caesar Act dan Wajah Baru Penindasan Suriah