Connect with us

Opini

Suriah: Negeri di Mana Kedamaian Selalu Ditunda

Published

on

Sebuah mobil meledak di pinggiran Manbij, menewaskan 19 orang, sebagian besar perempuan. Ini bukan kejadian pertama, dan tampaknya juga bukan yang terakhir. Seperti tontonan horor yang diputar ulang tanpa henti, Suriah terus menyuguhkan adegan-adegan penuh darah dengan pemeran yang berubah-ubah. Presiden Assad sudah tumbang, tapi ketakutan tetap berkeliaran di jalan-jalan. Oposisi berhasil menggulingkan diktator, tapi anehnya, bom tetap saja meledak. Jadi, kemenangan macam apa ini?

Seharusnya, setelah Assad jatuh, Suriah berubah menjadi negeri dongeng yang damai. Tapi, yang terjadi justru negeri yang terus-menerus dirundung mimpi buruk. Kelompok yang dulu meneriakkan kebebasan kini justru berkuasa dengan metode yang tak jauh beda dari pendahulunya. Mereka berjanji membawa keadilan, tetapi yang datang justru lebih banyak bom, lebih banyak saling tuduh, lebih banyak kehancuran. Jika tujuan mereka hanya mengganti wajah di poster tanpa mengubah isi film, lantas apa gunanya semua ini?

Setiap ledakan, selalu ada jari yang menunjuk. Kali ini, SDF dan Syrian National Army (SNA) saling menuding. Padahal, SDF selama ini justru menjadi target kelompok teror seperti ISIS. Logika sederhana pun seharusnya bertanya, mengapa mereka tiba-tiba berubah menjadi pelaku? Tapi siapa peduli dengan logika? Di Suriah, yang penting adalah siapa yang lebih cepat menuduh, bukan siapa yang benar. Sementara itu, warga sipil yang terbunuh tetaplah hanya angka dalam laporan berita, sama seperti dulu, sama seperti sekarang.

Sementara darah masih basah di jalanan Manbij, Turki punya ide besar: membangun pangkalan militer di Suriah, lengkap dengan F-16 yang siap berpatroli di langit. Katanya, ini untuk membantu stabilitas. Kedengarannya seperti memasang kipas angin di tengah badai. Bagaimana mungkin kehadiran Turki yang jelas punya agenda sendiri akan membawa ketenangan? Mereka datang dengan target, mereka punya musuh yang harus dihancurkan, dan itu jelas bukan demi kepentingan rakyat Suriah. Ketika satu pihak mendukung satu kelompok dan menyerang yang lain, itu bukan perdamaian. Itu hanya memperpanjang perang dengan cara yang lebih canggih.

Turki berjanji akan melatih tentara Suriah, menguatkan perbatasan, dan bahkan memasok drone dan radar. Namun, di tengah semua itu, mereka tetap memusuhi Kurdi, tetap menargetkan SDF, dan tetap membawa konflik lama ke panggung baru. Jika ini disebut solusi, maka dunia sepertinya punya definisi baru tentang perdamaian: sebuah kondisi di mana perang tidak dihentikan, hanya dikendalikan oleh tangan yang berbeda. Dan lucunya, semua orang diminta untuk percaya bahwa ini adalah jalan keluar.

Lalu, bagaimana dengan rakyat Suriah? Mereka masih harus hidup dalam ketidakpastian, masih harus mendengar suara ledakan, masih harus bertanya apakah esok hari akan lebih baik atau justru lebih buruk. Mereka yang dulu menginginkan revolusi kini hanya menginginkan hidup tanpa ketakutan. Sayangnya, di negeri ini, bahkan mimpi sekecil itu pun tampaknya terlalu mewah. Dengan setiap bom yang meledak, harapan mereka ikut terkubur di bawah reruntuhan.

Maka, jika ada satu hal yang tak berubah di Suriah, itu adalah kenyataan bahwa perdamaian selalu ditunda. Dulu Assad yang dianggap sebagai penghalang kedamaian, kini para penguasa baru justru meneruskan jejaknya dengan cara yang berbeda. Suriah terus bergerak dalam lingkaran setan, di mana janji-janji baru hanyalah pengulangan dari janji-janji lama, dan di mana perang tak pernah benar-benar berhenti—hanya berganti seragam dan bendera. Jika ini adalah definisi dari kebebasan, maka mungkin dunia harus belajar ulang apa arti kata itu.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *