Opini
Suriah: Komandan ISIS Jadi Pahlawan, Dunia Tersenyum Miris

Di tengah puing-puing Suriah yang masih berderit setelah dekade perang, pemerintah interim di Damaskus memutuskan untuk menabuh genderang absurditas: Ahmad al-Hayes, seorang pria dengan darah di tangannya dan bayang-bayang ISIS di punggungnya, diangkat sebagai komandan divisi tentara di utara. Dunia terhenyak. Amerika Serikat, dengan nada yang seolah lupa cermin, menyebut langkah ini “kesalahan serius.” Seolah-olah Suriah, negeri yang terkoyak, tiba-tiba jadi panggung teater politik paling ganjil, di mana penutup luka justru dibuka oleh tangan yang sama yang menusuknya.
Bayangkan, seorang Ahmad al-Hayes—atau Abu Hatem Shaqra, nama yang lebih cocok untuk legenda urban penuh horor—kini memimpin Divisi 86 di Deir Ezzor, Hasakah, dan Raqqa. Dia bukan sembarang komandan. Dia adalah mantan pimpinan Ahrar al-Sharqiya, cabang dari Ahrar al-Sham yang berteman akrab dengan Al-Qaeda. Kelompok ini, penuh mantan anggota ISIS, pernah membuat dunia bergidik dengan video pembunuhan Hevrin Khalaf, politisi Kurdi yang ditembak di pinggir jalan pada 2019. Kini, pria yang terlibat dalam kekejaman itu, yang disanksi AS karena menjual perempuan Yazidi, malah diberi seragam resmi dan wewenang. Ini bukan sekadar ironi; ini adalah tamparan bagi akal sehat.
Laporan dari The Cradle, yang menjadi pijakan cerita ini, menggambarkan pemerintahan interim di bawah Ahmad al-Sharaa, mantan komandan Al-Qaeda yang kini jadi presiden de facto, sebagai kapal yang oleng. Sharaa, yang menggulingkan Bashar al-Assad pada Desember lalu, seolah ingin membuktikan bahwa revolusi bisa lebih kacau daripada tirani. Memilih Hayes sebagai komandan divisi adalah seperti menyerahkan kunci rumah sakit jiwa kepada pasien paling gelisah. Adalat Omar, tokoh dari administrasi Rojava, berteriak: “Bagaimana pembunuh Hevrin Khalaf bisa dihadiahi jabatan?” Pertanyaan yang sama bergema di benak siapa pun yang masih percaya pada keadilan.
Tapi, tunggu dulu, cerita ini bukan sekadar tentang Hayes. Ini tentang Suriah yang masih terperangkap dalam lingkaran setan ekstremisme dan kekerasan. Farhad Shami dari Pasukan Demokratik Suriah (SDF) menyebut penunjukan ini “langkah tak bisa diterima” yang mencoreng institusi negara. SDF, yang baru saja menandatangani kesepakatan dengan pemerintah interim untuk bergabung ke institusi federal, pasti merasa seperti tamu yang diundang ke pesta, lalu disuguhi racun. Hayes, dengan rekam jejaknya, bukan hanya ancaman bagi Kurdi, tapi juga simbol bahwa pemerintahan baru belum mampu—orang mungkin bilang, tak mau—melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu.
Lalu ada Amerika, yang dengan penuh semangat mengkritik langkah ini. Tammy Bruce, juru bicara Departemen Luar Negeri, mengatakan Hayes “melemahkan misi kami melawan ISIS.” Kata-kata yang terdengar mulia, tapi agak lucu jika kita ingat tuduhan dalam laporan yang sama: AS pernah membantu ISIS merebut Mosul pada 2014, bahkan bekerja sama dengan Masoud Barzani, sekutu mereka, dalam genosida Yazidi. Benar atau tidak, tuduhan ini seperti cermin yang memantulkan hipokrasi. AS marah karena Suriah memeluk ekstremis, tapi tangan mereka sendiri tak sepenuhnya bersih. Dunia politik memang panggung komedi tragis.
Di tengah semua ini, minoritas di Suriah jadi korban yang paling menderita. Laporan menyebut gelombang penculikan perempuan Alawit sejak Sharaa berkuasa, termasuk kasus Mira Jalal Thabat di Homs, yang diduga diculik dan dipaksa menikah dengan keterlibatan pasukan keamanan Suriah. Ini bukan sekadar kejahatan; ini adalah tanda bahwa institusi negara, yang seharusnya melindungi, malah jadi bagian dari masalah. Alawit, Yazidi, Kurdi—semua terjebak dalam permainan kekuasaan yang tak kenal belas kasihan. Suriah, negeri yang pernah jadi mozaik budaya, kini seperti lukisan yang dicoret-coret tanpa ampun.
Konteks lokal membuat cerita ini makin pahit. Bayangkan hidup di Deir Ezzor atau Raqqa, di mana suara bom sudah jadi lagu pengantar tidur. Penduduk setempat, yang sudah lelah dengan perang, kini harus menerima kenyataan bahwa komandan baru mereka adalah pria yang pernah menjual anak-anak Yazidi. Ini bukan sekadar kegagalan politik; ini adalah pengkhianatan terhadap harapan rakyat. Saya bisa membayangkan seorang ibu di Hasakah, memandang anak-anaknya, bertanya dalam hati: “Apa bedanya pemerintahan baru dengan yang lama?”
Tapi, mari kita adil sejenak. Situasinya memang rumit. Pemerintahan interim, yang baru berdiri, mungkin terpaksa mengakomodasi faksi-faksi bersenjata untuk mencegah perang saudara baru. Hayes, dengan pengikutnya dari suku Shaitat, mungkin dianggap sebagai jembatan untuk menjaga stabilitas di timur Suriah. Tapi, oh, betapa mahalnya harga stabilitas itu! Memberi jabatan kepada penjahat perang bukanlah kompromi; itu seperti menyiram bensin ke api yang sudah membakar negeri ini selama bertahun-tahun.
Sindiran terbesar, mungkin, adalah bahwa dunia internasional masih berpura-pura kaget. PBB, yang sibuk dengan resolusi-resolusi, tak kunjung menemukan cara untuk menekan Damaskus. Turki, pendukung utama kelompok seperti Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), diam seribu bahasa. Sementara itu, rakyat Suriah terus membayar harga dari permainan geopolitik ini. Kita bisa tersenyum miris: di negeri yang penuh penderitaan, pahlawan dan penjahat sering kali hanya beda seragam.
Refleksi atas semua ini membawa kita pada pertanyaan besar: apa artinya membangun negara di tengah reruntuhan? Suriah bukan sekadar peta dengan garis-garis perbatasan; ia adalah mozaik luka, harapan, dan pengkhianatan. Penunjukan Hayes adalah cermin dari kegagalan kolektif—bukan hanya pemerintahan interim, tapi juga dunia yang membiarkan negeri ini tenggelam. Kita bisa menyalahkan Sharaa, Hayes, atau bahkan AS, tapi itu tak akan mengembalikan nyawa Hevrin Khalaf atau menyelamatkan Mira Jalal Thabat.
Saya teringat ungkapan lama dari kampung: “Jangan percaya janji elang, kalau cakarnya masih berdarah.” Suriah, dengan pemerintahan barunya, mungkin sedang mencoba terbang, tapi cakar-cakar seperti Hayes menunjukkan bahwa sayapnya masih patah. Untuk benar-benar lepas dari ekstremisme, Damaskus harus berani memutus rantai masa lalu—bukan dengan kata-kata manis, tapi dengan tindakan nyata. Hukum para penjahat perang, lindungi minoritas, dan dengarkan suara rakyat yang sudah terlalu lama dibungkam.
Narasi ini, pada akhirnya, adalah undangan untuk berpikir. Tersenyumlah, kalau Anda mau, atas absurditas politik Suriah. Tapi di balik senyum itu, rasakan kegelisahan: sebuah negeri sedang berjuang untuk lahir kembali, tapi bayang-bayang maut masih menari di atasnya. Kita, sebagai pengamat, tak bisa hanya menonton. Kita harus bertanya: sampai kapan dunia membiarkan Suriah jadi laboratorium kekacauan? Dan kita harus menjawab, dengan suara yang tak takut berseru: cukup sudah.