Connect with us

Opini

Suriah: Katak Rebus dalam Panci Penjajahan Israel

Published

on

Suriah sedang direbus perlahan-lahan, dan pemerintah barunya tampaknya tidak menyadarinya. Seperti katak dalam panci air dingin yang dipanaskan sedikit demi sedikit hingga mendidih, rezim Ahmad al-Sharaa tampaknya nyaman dalam kepasifan mereka, membiarkan Israel terus mengukir jalannya ke jantung negeri yang seharusnya berdaulat. Serangan demi serangan menghantam Deraa, Palmyra, dan berbagai titik strategis lainnya, sementara alasan yang digunakan Israel untuk melancarkan agresi semakin terdengar seperti lelucon yang diulang-ulang.

Pada tanggal 25 Maret, setidaknya tujuh orang tewas dalam serangan udara Israel di Koya, Deraa. Tank-tank Israel menembaki wilayah itu, memaksa warga melarikan diri ke desa-desa terdekat. Beberapa jam sebelumnya, jet-jet tempur Israel menggempur Palmyra dan T4, mengklaim bahwa mereka sedang “menghancurkan sisa-sisa kekuatan Syrian Arab Army (SAA).” SAA? Bukankah setelah jatuhnya Bashar al-Assad, SAA telah berada di bawah kendali Ahmad al-Sharaa? Atau mungkin, Israel sendiri tidak terlalu peduli pada kenyataan, selama dalih itu cukup untuk menutupi ekspansi mereka.

Lebih dari satu dekade konflik telah membuat Suriah terpecah-belah, tapi sekarang negeri itu menghadapi ancaman lain yang lebih berbahaya: penjajahan bertahap. Israel tidak sekadar melakukan serangan sporadis untuk menghancurkan ancaman, mereka sedang menciptakan realitas baru di lapangan. Dengan membangun pangkalan militer di selatan Suriah, mereka menegaskan bahwa kehadiran mereka bukan sementara, melainkan permanen. Dan yang lebih mengejutkan, pemerintah Suriah diam saja. Mungkin mereka mengira bahwa dengan diam, Israel akan puas dan berhenti. Sejarah menunjukkan bahwa itu tidak akan terjadi.

Jika ini bukan strategi okupasi terselubung, lalu apa? Seperti penjajahan Israel di Palestina yang dimulai dengan pemukiman kecil hingga mencaplok seluruh tanah air bangsa itu, kini pola yang sama terlihat di Suriah. Awalnya hanya serangan udara, lalu serangan darat, kemudian pendirian pos militer permanen. Semuanya berjalan dengan dalih keamanan, dengan klaim bahwa mereka hanya ingin melindungi diri dari “teroris” di perbatasan. Teroris? Siapa yang lebih pantas disebut teroris dalam situasi ini? Mereka yang membela tanah airnya atau mereka yang merampasnya?

Pemerintah Ahmad al-Sharaa seharusnya sadar bahwa kebisuan mereka adalah bentuk persetujuan. Tidak ada agresor yang akan berhenti hanya karena korbannya memilih untuk diam. Israel memahami ini dengan sangat baik. Setiap serangan yang tidak mendapat perlawanan hanya akan mempercepat proses pendudukan. Hari ini, mereka menembaki Deraa. Besok, mungkin mereka sudah menancapkan bendera di Aleppo. Dan ketika Damaskus mulai terasa panas oleh agresi ini, barulah pemerintah Suriah sadar bahwa mereka telah masuk perangkap.

Situasi ini adalah bentuk dari apa yang bisa kita sebut sebagai Sindrom Katak Rebus. Pemerintah baru Suriah tampaknya mengira bahwa selama serangan ini tidak menyentuh mereka secara langsung, mereka aman. Mereka percaya bahwa Israel hanya menargetkan sisa-sisa kekuatan Assad, sehingga mereka tidak perlu bereaksi. Tapi kenyataannya, air dalam panci terus memanas. Setiap serangan yang didiamkan hanya semakin memperlemah posisi mereka. Setiap wilayah yang dibombardir akan menjadi bagian dari ekspansi Israel yang lebih besar.

Israel telah melakukan ini berkali-kali. Mereka menggunakan strategi pencaplokan sistematis, membuat fakta baru di lapangan sebelum dunia sempat bereaksi. Jika dunia Arab masih belum belajar dari pengalaman Palestina, maka mereka benar-benar gagal memahami pola permainan ini. Israel tidak tertarik hanya pada keamanan. Mereka tertarik pada tanah, sumber daya, dan kekuasaan. Dan selama pemerintah Suriah diam, mereka akan terus mengambil lebih banyak lagi.

Salah satu faktor yang memperburuk situasi ini adalah ketidakmampuan negara-negara Arab lainnya untuk bertindak. Liga Arab, yang seharusnya menjadi garda depan dalam melindungi kedaulatan negara-negara anggotanya, hanya menjadi forum kosong yang tak lebih dari sekadar panggung diplomasi tanpa aksi nyata. Mereka mengecam, mereka mengutuk, mereka mengeluarkan pernyataan keras, tetapi tidak ada satu pun langkah konkret yang diambil untuk menghentikan agresi ini. Sementara itu, Israel terus maju, sedikit demi sedikit menegaskan dominasinya.

Lebih parah lagi, negara-negara Barat yang selama ini menggembar-gemborkan nilai demokrasi dan hak asasi manusia justru mendukung langkah Israel. Mereka menutup mata terhadap pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel di Suriah, sebagaimana mereka lakukan terhadap Palestina. Dalam narasi mereka, setiap serangan Israel selalu memiliki dalih keamanan, sementara setiap perlawanan dari pihak lawan selalu dianggap sebagai ancaman teroris. Inilah standar ganda yang terus dipertahankan demi melanggengkan kepentingan geopolitik mereka di kawasan Timur Tengah.

Pemerintah Ahmad al-Sharaa kini dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka bisa terus diam dan membiarkan Suriah jatuh ke tangan Israel secara perlahan, atau mereka bisa mengambil langkah tegas untuk mempertahankan kedaulatan mereka. Namun, sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang memilih jalan kepasifan dalam menghadapi agresi biasanya berakhir dengan kehilangan segalanya. Jika al-Sharaa tidak segera bertindak, maka kemungkinan besar Suriah akan mengalami nasib yang sama seperti Palestina—dijajah sedikit demi sedikit hingga akhirnya hanya tinggal nama di peta.

Pada akhirnya, katak dalam panci yang terus dipanaskan akan mati jika tidak segera melompat keluar. Pemerintah Ahmad al-Sharaa memiliki pilihan. Mereka bisa menunggu hingga seluruh Suriah menjadi milik Israel, atau mereka bisa bertindak sekarang sebelum semuanya terlambat. Namun, jika mereka terus percaya bahwa diam adalah strategi, maka mereka akan berakhir seperti Palestina—terusir dari tanah mereka sendiri, dengan hanya kenangan tentang sebuah negara yang dulu mereka sebut rumah. Dan ketika mereka akhirnya sadar bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar, semuanya sudah terlambat.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *