Opini
Suriah Jadi Kue Ulang Tahun, Israel Landlordnya

Israel kembali membuat gebrakan, kali ini dengan ide yang lebih “brilian” daripada sekadar menjaga perbatasan: mengundang dunia untuk membahas pembagian wilayah Suriah, seperti membagi kue ulang tahun. Bayangkan, seorang landlord tak terduga mengundang semua orang ke “rumahnya” untuk menentukan bagaimana membagi-bagi warisan yang sudah hancur. Alasannya? Tentu saja demi “keamanan.”
Pemerintah Israel, dalam sesi kabinet pada 9 Januari, tampaknya telah menetapkan dirinya sebagai penguasa Suriah. Dengan dalih “membela diri,” mereka merancang konferensi internasional untuk membahas bagaimana Suriah bisa dipisah menjadi kanton-kanton kecil. Mungkin saja mereka berpikir, “Mengapa harus menguasai semuanya jika sedikit-sedikit saja sudah cukup?”
Namun, mari bertanya: di mana posisi rakyat Suriah dalam peta besar ini? Apakah mereka hanya penonton pasif, menyaksikan tanah air mereka dibagi-bagi oleh kekuatan asing yang mengklaim peduli pada “keamanan”? Setelah lebih dari satu dekade konflik berdarah, Suriah kini menghadapi kenyataan pahit: kebebasan dan kedaulatan lenyap, digantikan oleh kebijakan dari negara yang merasa lebih berhak atas tanah mereka.
Di sisi lain, ada kekuatan baru yang tak kalah menarik: Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Kelompok ini, yang dulunya bercabang dari Al-Qaeda, kini menjadi penguasa de facto Suriah. Namun, anehnya, HTS tidak menunjukkan masalah dengan Israel. Siapa sangka, musuh bebuyutan Israel justru memilih untuk berdamai. Mungkin ini semacam “janji suci” untuk tidak saling senggol. Israel pun tampak nyaman dengan status quo ini.
Apakah ini hasil dari revolusi Suriah selama 13 tahun? Sebuah ironi, perjuangan penuh darah kini berakhir dengan negara yang terpecah-belah dan dikuasai kekuatan asing. Harapan kebebasan dan demokrasi berubah menjadi realitas pahit: Suriah ibarat puzzle yang mustahil dirangkai kembali. Darah yang tertumpah selama revolusi kini hanya menghasilkan peta yang robek dan tidak dikenali.
Israel, seolah-olah, telah berperan sebagai landlord Suriah. Dengan penuh keyakinan, mereka menentukan arah masa depan negara ini, seakan-akan rakyat Suriah hanya penyewa di tanah air mereka sendiri. Dalam lakon baru ini, peran pemilik tanah diambil oleh pemain asing, sementara rakyat asli tidak diberi suara.
Masa depan Suriah kini tampak seperti labirin tanpa pintu keluar. Dominasi HTS yang mengendalikan pemerintahan saat ini berpadu dengan ambisi Israel menyusun peta baru negara ini. Jika ini adalah hasil revolusi, mungkin pertanyaan yang tersisa hanya satu: apakah ini semua layak? Ataukah ini hanya bab lain dari permainan catur besar, di mana rakyat Suriah hanyalah pion kecil yang digerakkan oleh tangan-tangan raksasa?
Namun, satu hal yang jelas—keamanan Israel tampaknya lebih penting daripada segalanya, bahkan jika itu berarti merobek kedaulatan sebuah negara. Jika ini adalah masa depan Suriah, maka mungkin kita harus bertanya kembali: siapa sebenarnya yang menang dalam revolusi ini?