Connect with us

Opini

Suriah: Investasi di Tengah Kekacauan

Published

on

Dalam dunia penuh absurditas politik, Suriah kini mencoba memainkan peran baru sebagai magnet investasi global. Bayangkan, negeri yang baru saja mengusir Assad kini mengklaim bahwa yang mereka butuhkan adalah modal asing. Asaad Hassan al-Shibani, mantan anggota Nusra Front yang sekarang tampil rapi sebagai Menteri Luar Negeri, muncul di The World Economic Forum’s (WEF) Annual Meeting 2025 di Davos-Klosters, Swiss, seperti pedagang kaki lima yang menjual saham perusahaan tanpa kantor. Ia berbicara tentang “diversifikasi ekonomi” dan “geografi strategis”, seolah-olah Suriah adalah Disneyland Timur Tengah — bukan negara yang baru saja dirundung perang dan masih dilanda kekacauan.

Namun, sebelum kita terlalu terbuai dengan janji investasi itu, mari kita tengok ke realitas: di bagian utara, Pasukan Demokratik Suriah (SDF), dengan dukungan Amerika Serikat, masih mendominasi. Bagaimana Suriah bisa menawarkan peluang investasi sementara sebagian besar wilayahnya masih diperebutkan? Ini seperti membuka restoran di medan perang sambil berharap pelanggan datang tanpa terkena peluru.

Lalu ada Israel, yang memanfaatkan kekacauan ini untuk meluncurkan serangan dan memperkuat cengkeramannya di Dataran Tinggi Golan dan wilayah sekitarnya. Situasinya seperti mencoba menjual rumah sementara sebagian dari rumah itu sudah dikuasai tetangga yang tidak diundang. Israel, dengan oportunisme militer yang mencolok, membuat janji investasi ini terdengar seperti mencoba menjual lahan sengketa.

Shibani, dengan ironi yang sulit diabaikan, meminta dunia mencabut sanksi ekonomi, mengklaim sanksi itu hanya menyengsarakan rakyat biasa. Ironisnya, sanksi tersebut awalnya diberlakukan untuk mendorong rakyat menggulingkan Assad — yang sudah terjadi. Namun, sanksi itu tetap membayangi ekonomi seperti hantu. Sekarang, mereka berharap investor asing datang dengan modal, seolah-olah Suriah adalah pasar malam di mana permainan sudah diatur untuk dimenangkan, hanya saja bom digantikan dengan sanksi.

Kemudian ada HTS (Hay’at Tahrir al-Sham), penguasa de facto yang kini menjanjikan dialog nasional inklusif. Di lapangan, mereka mungkin lebih sibuk menyusun rencana untuk negara agama. Janji dialog ini terasa seperti mengundang tamu ke pesta di rumah yang pintu masuknya masih dikepung pertempuran. Geir Pedersen dari PBB mungkin masih berharap pada kedamaian dan demokrasi, tetapi yang terlihat adalah Suriah mencoba menjadi pusat investasi tanpa landasan untuk membangun kembali negara.

Tak lupa, ada hubungan Suriah dengan negara-negara Teluk terkait energi dan listrik. Gambaran ini seperti melihat dua orang yang baru saja bertengkar mencoba memulai bisnis bersama, berharap laba akan menyelesaikan konflik. Namun, sejarah panjang konflik dan kecurigaan membuat upaya ini terasa seperti menunggu es mencair di Sahara.

Di tengah segala absurditas ini, Suriah berupaya meyakinkan dunia bahwa mereka siap untuk investasi besar-besaran. Mereka menjanjikan keadilan dan transparansi, tetapi situasi ini lebih mirip membeli mobil bekas dari seseorang yang baru keluar dari penjara. Kita tinggal menunggu apakah investor akan datang membawa uang dan harapan, atau sekadar keberanian untuk menanam modal di negeri di mana puing-puing masih hangat, konstitusi masih kabur, dan wilayah-wilayah masih menjadi ajang perebutan antara SDF dan Israel.

Dengan semua ini, Suriah memberikan kita bahan untuk satir yang tajam dan jenaka — sebuah cerita di mana politik, ekonomi, dan militer bertemu dalam tarian absurd yang hanya mungkin terjadi di era modern ini.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *