Connect with us

Opini

Suriah Ditangan Asing: Kapan Kedaulatan Bangkit?

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Jadi, ternyata Suriah, yang selama ini kita kenal sebagai negara dengan sejarah panjang dan penuh perjuangan, sekarang malah jadi “rumah” bagi para pahlawan dari luar negeri. Ini bukan drama sinetron dengan plot yang membingungkan, ini nyata. Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok yang dulunya terkenal dengan kegigihannya dalam menebar kekacauan, kini tidak hanya mengambil alih medan perang, tapi juga kursi-kursi pemerintahan Suriah. Dalam pengumuman yang dikeluarkan pada 30 Desember, mereka mengangkat sejumlah pejabat asing ke posisi penting dalam tentara baru Suriah. Ah, tampaknya sekarang Suriah bukan lagi milik orang Suriah, tapi sebuah negara yang dikelola oleh pasukan internasional yang datang untuk “menyelamatkan”—atau mungkin “mengambil alih”—negara yang sudah lelah berperang itu.

Coba bayangkan, di tengah negara yang porak-poranda karena bertahun-tahun konflik, ada seorang Abd al-Rahman Hussein Khatib, seorang warga negara Jordan yang berkelana ke Suriah dari Palestina, yang kini menjadi letnan di tentara baru Suriah. Bukan hanya satu orang. Sejumlah tokoh asing lainnya—dari Tajikistan, Albania, hingga Turki—juga mendapatkan kedudukan tinggi di pemerintahan dan militer negara ini. Kalau negara ini sudah mulai dipimpin oleh orang-orang yang bukan warga negaranya, lantas di mana kedaulatan Suriah itu? Kalau suriah tak bisa mengurus rumah tangganya sendiri, kenapa malah mengundang orang luar untuk mengatur segala sesuatunya?

Tentu, ini semua berawal dari situasi yang sudah sangat terdesak. Pemerintahan Bashar al-Assad jatuh, dan HTS, dengan kedekatannya dengan berbagai pihak internasional, mulai mengisi kekosongan. Namun, seharusnya negara yang ingin merdeka dan berdiri sendiri tidak bisa menerima begitu saja kehadiran pejabat-pejabat asing yang tak punya ikatan dengan tanah Suriah. Bukan hanya kedaulatan yang dirusak, tapi juga nasionalisme yang seharusnya menjadi dasar dari sebuah negara, seakan hilang begitu saja. Suriah yang selama ini kita dengar sebagai simbol perlawanan, sekarang malah mengundang pihak luar untuk datang dan menyusun tata kelola pemerintahan.

Satu hal yang benar-benar menggelitik adalah bagaimana orang luar ini tiba-tiba menjadi tokoh penting. Lihat saja, mereka yang dulu datang untuk “berjuang” (atau lebih tepatnya berperang) kini mendapat tempat yang lebih tinggi di Suriah. Seorang Abd al-Aziz Daud Khudaberdi, seorang yang berasal dari Turkistan, kini menjadi letnan. Jangan salah, ia bukan sekadar “warga negara asing yang kebetulan ada di Suriah”, tapi seseorang yang berjuang untuk kepentingan sendiri, dan kini diberi tempat dalam struktur yang menentukan masa depan Suriah. Jadi, apakah kita harus percaya bahwa bangsa Suriah tidak lagi memiliki orang yang cukup kompeten untuk memimpin negara mereka sendiri? Atau lebih tepatnya, apakah ini pertanda bahwa nasionalisme mereka sudah tak berlaku lagi?

Jika kita kembali melihat konsep nasionalisme, kita akan sadar bahwa suatu negara harus dikelola oleh mereka yang memiliki ikatan kuat dengan negara itu—baik itu dari segi budaya, sejarah, dan tentu saja identitas. Begitu kita memberi posisi penting pada orang luar, identitas itu hilang. Suriah menjadi sebuah proyek internasional yang bisa dikelola oleh siapa saja yang kebetulan memiliki kemampuan atau pengaruh besar. Hasilnya? Sebuah negara yang kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.

Jadi, apakah ini yang disebut “kemerdekaan”? Ataukah ini adalah bentuk pendudukan halus? Seperti halnya tetangga yang datang ke rumah Anda dan mulai memutuskan apa yang harus ada di dalam rumah Anda, siapa yang harus tinggal di sana, dan bagaimana cara Anda menjalani hidup Anda, HTS seakan memberi pelajaran penting tentang bagaimana negara lain boleh menentukan arah negara Suriah. Tentunya, ini adalah pertanyaan besar bagi nasionalisme Suriah—apakah mereka benar-benar masih bisa disebut sebagai negara merdeka jika kepemimpinannya sudah jatuh ke tangan orang luar?

Mungkin yang perlu kita tanyakan adalah: jika Suriah tak bisa mengurus rumah tangganya sendiri, siapa lagi yang akan mengurusnya? Apakah kita akan terus menerimanya sebagai sebuah “normalisasi” atau justru melihatnya sebagai suatu ancaman bagi kedaulatan dan identitas negara itu sendiri? Kini, Suriah tidak hanya berjuang melawan para ekstremis, tetapi juga berjuang melawan campur tangan asing yang seakan-akan berhak menentukan apa yang terbaik untuknya.

Namun di balik semua ini, satu hal yang pasti—nasionalisme Suriah, seakan-akan, sudah terkubur di bawah lapisan-lapisan keputusan internasional yang tampaknya lebih peduli pada agenda mereka sendiri ketimbang masa depan bangsa Suriah.

 

*Sumber: The Cradle

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *