Opini
Suriah: Diplomasi Tanpa Nyawa

Baru-baru ini, Arab Saudi dengan penuh semangat mengumumkan bahwa mereka sedang menggencarkan pembicaraan dengan negara-negara Barat dan AS untuk mencabut sanksi ekonomi terhadap Suriah. Hal ini dilakukan dalam rangka membuka jalan bagi pemulihan negara yang sudah hancur akibat perang yang tak kunjung usai. Namun, jika kita melirik lebih jauh ke lapangan, sebuah kenyataan pahit nampaknya terabaikan. Sementara diplomat sibuk dengan diplomasi, di kota-kota seperti Homs, komunitas minoritas masih harus berjuang setiap hari agar hak dan nyawa mereka tidak tercabut begitu saja.
Di balik pembicaraan hangat mengenai pencabutan sanksi, rakyat Suriah, khususnya yang tergolong dalam kelompok minoritas, hidup dalam ketakutan. Pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi tanpa henti di Homs, dengan laporan mengenai pembunuhan, penangkapan sewenang-wenang, dan penyerangan terhadap simbol-simbol keagamaan. Tentu saja, ini bukan masalah baru, tapi jika kita melihatnya dalam konteks diplomatik yang sedang berlangsung, ada sesuatu yang terasa sangat tidak seimbang.
Memang, di tingkat politik, pencabutan sanksi mungkin terlihat seperti langkah menuju stabilitas ekonomi. Saudi dan negara-negara Barat berusaha menciptakan solusi yang lebih rasional untuk negara yang porak-poranda. Tapi, di tengah semua pembicaraan itu, ada sebuah ironi yang sulit untuk diabaikan. Di tingkat lapangan, kelompok minoritas yang terpinggirkan terus berjuang untuk bertahan hidup, meski perundingan antar negara sedang mengalir dengan lancar.
Pembicaraan di meja diplomatik seolah melupakan satu hal yang sangat mendasar: hidup manusia. Sementara pembesar dunia sibuk mengatasi masalah ekonomi dan politik, nyawa dan hak-hak sipil tetap menjadi taruhan. Keberadaan mereka yang terpinggirkan tak lebih dari statistik dalam hitungan waktu yang hilang di meja perundingan. Sanksi mungkin akan dicabut, tetapi untuk apa jika rakyat Suriah tetap dilanda ketidakadilan yang berkepanjangan?
Dalam beberapa minggu terakhir, pelanggaran hak asasi manusia di Homs semakin meningkat. Tak hanya soal kekerasan fisik, tapi juga pembunuhan yang dilakukan dengan kejam, hingga serangan terhadap rumah ibadah. Setiap hari adalah hari penuh ketegangan, di mana nyawa bisa terenggut hanya karena berbeda keyakinan. Inilah gambaran nyata dari realitas Suriah, yang begitu jauh dari apa yang dibicarakan di tingkat internasional.
Jika kita melihat kenyataan ini, tentu timbul pertanyaan: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari pencabutan sanksi? Apakah rakyat Suriah yang tengah menderita akibat sanksi dan perang akan merasakan perubahan signifikan? Atau justru, ini hanya akan menjadi ajang permainan kekuatan antara negara-negara besar yang sibuk dengan kalkulasi ekonomi dan politik mereka, sementara rakyat di bawah terus tenggelam dalam ketidakpastian?
Lebih dari itu, pencabutan sanksi yang diupayakan oleh Saudi dan negara-negara Barat seakan menegaskan bahwa politik internasional lebih peduli pada stabilitas ekonomi daripada stabilitas kemanusiaan. Tanpa adanya perubahan yang nyata dalam perlindungan hak asasi manusia, pencabutan sanksi ini hanya akan menjadi formalitas belaka. Bahkan, jika kekerasan terus merajalela di Homs, apa arti dari stabilitas ekonomi jika banyak orang masih hidup dalam ancaman setiap hari?
Seiring dengan itu, kita juga harus mengingatkan diri bahwa pembicaraan di meja diplomatik tidak bisa menghapuskan kenyataan yang ada di lapangan. Masyarakat sipil yang terpinggirkan, yang seringkali menjadi korban dari setiap perubahan politik, harus mendapatkan perhatian lebih besar. Ketika para diplomat berbicara tentang pencabutan sanksi dan pemulihan ekonomi, suara-suara mereka yang terpinggirkan harus didengarkan lebih keras.
Tidak ada yang lebih buruk dari ketidakpedulian terhadap mereka yang menderita. Dan tidak ada yang lebih mengerikan daripada melihat para pemimpin dunia sibuk dengan kepentingan mereka sendiri, sementara mereka yang di bawah masih berjuang untuk sekadar bertahan hidup. Inilah paradoks dunia internasional—di mana kebijakan ekonomi dan politik seringkali lebih berbicara keras daripada hak-hak kemanusiaan yang seharusnya lebih didahulukan.
Pencabutan sanksi mungkin membawa angin segar bagi Suriah, namun jika ini tidak disertai dengan langkah-langkah untuk melindungi hak asasi manusia, maka perdamaian dan stabilitas yang diinginkan hanya akan menjadi angan-angan. Sebuah dunia yang lebih baik seharusnya tidak hanya terwujud dalam kebijakan luar negeri, tetapi juga dalam keadilan bagi semua warganya, terutama yang terpinggirkan. Di sinilah, di antara perundingan yang bergulir, kita harus berani bertanya: siapa yang sebenarnya berjuang untuk mereka yang tidak memiliki suara dalam diplomasi ini?