Connect with us

Opini

Suriah Dijual Murah: Turki dan Israel Jadi Pemilik Baru

Published

on

Langit Suriah masih kelabu, bukan karena musim, tapi karena drone yang lalu-lalang, rudal yang meledak, dan helikopter yang melintas tanpa izin. Di jalanan Homs, reruntuhan bangunan sudah jadi bagian dari lanskap kota, bercampur dengan debu dan bekas jelaga. Tak ada suara anak-anak bermain di taman, hanya derit besi yang dipotong dan gemuruh tank yang sesekali lewat. Di sudut lain, sekelompok pria berseragam—entah tentara, milisi, atau sekadar tentara bayaran—sibuk bercakap di bawah bendera yang bukan milik mereka. Suriah, negeri yang dulu merdeka, kini tak ubahnya seperti lapangan parkir bagi kekuatan asing.

Middle East Eye melaporkan bahwa Turki kini bersiap menguasai Pangkalan Udara Tiyas di Homs, lengkap dengan sistem pertahanan Hisar dan drone bersenjata yang katanya untuk “memerangi ISIS.” Seolah Suriah ini negeri tanpa pemilik, Ankara masuk begitu saja, membawa pesawat tempur, membangun pangkalan baru, dan melatih tentara yang katanya untuk kedaulatan Suriah. Sementara itu, di selatan, Israel sibuk membuldoser Daraa, membangun pagar keamanan, dan meledakkan ladang ranjau di Golan. Tak ada yang protes, tak ada yang mencegah. Dunia seakan sepakat bahwa Suriah adalah taman bermain geopolitik, tempat siapa saja bisa masuk, memilih wilayah, dan bertindak sesuka hati.

Di tengah semua ini, Ahmad al-Sharaa, mantan bos Al-Qaeda yang kini naik tahta sebagai presiden interim Suriah, duduk manis. Entah apa yang ia pikirkan—mungkin sedang menyeruput teh Turki sambil membaca laporan perkembangan dari Ankara. Negeri yang ia pimpin kini dikuasai dua kekuatan asing, namun reaksi Sharaa hanya sebatas diplomasi dingin dan janji-janji kosong. Negara hancur, dua tamu tak diundang masuk, dan pemimpinnya cuma bisa bilang, “Silakan, ambil apa saja.”

Coba bayangkan jadi rakyat Suriah sekarang: rumah sudah rata, listrik mati, air bersih jadi barang langka, dan tiba-tiba Turki bilang, “Kami bawa drone untuk damai!” sementara Israel menjawab, “Kami bawa bom untuk keamanan!” Sharaa, yang dulu garang di Nusra Front, kini jadi bagian dari diplomasi paling antiklimaks sepanjang sejarah. Turki bersiap melatih tentara Suriah baru dengan 50 F-16, katanya agar angkatan udara Suriah lebih mandiri. Mandiri? Kalau pilotnya dilatih Turki, pesawatnya Turki, dan pangkalannya milik Turki, itu namanya outsourcing, bukan kedaulatan.

Media Turki memberitakan Ankara bakal membangun dua pangkalan baru di Suriah. Seolah sedang bermain Monopoly edisi Timur Tengah: “Beli Homs, tambah hotel di T4!” Semua ini, kata mereka, demi “stabilitas regional.” Coba tanyakan pada petani Daraa yang ladangnya diratakan buldoser Israel—stabil apa yang mereka rasakan? Israel, seperti biasa, tetap setia pada taktik klasiknya: bombardir dulu, duduki kemudian, lalu bilang, “Kami tinggal selamanya, ada masalah?” Dan Sharaa? Ia hanya membalas, “Kami tidak mau ribut.” Padahal, negaranya sudah jadi ring tinju.

Yang paling lucu adalah alasan Turki masuk ke Suriah: katanya untuk melawan ISIS. Padahal, Syrian National Army (SNA)—milisi pro-Turki—penuh dengan eks-jihadis yang dulunya berswafoto dengan bendera hitam. Sharaa, yang dulunya bagian dari Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), pasti tahu ini. Tapi mungkin ia berpikir, “Biarlah, yang penting Turki bayar tagihan.” Sementara itu, Israel terus menghajar T4 dan Latakia. Pesan mereka jelas: “Turki boleh main drone, tapi langit Suriah tetap milik kami.” Dan Ahmad al-Sharaa? Mungkin ia cuma sibuk memperbarui status: “Lagi koordinasi sama Ankara, sabar ya, guys.”

Pernah bayangkan jadi pemimpin negara yang tanahnya dipotong-potong seperti kue ulang tahun? Sharaa pasti juara dalam hal poker face. Turki masuk sejak 2016, awalnya bilang mau mengusir Kurdi, tapi sekarang malah jadi kontraktor pertahanan Suriah. Israel, yang sudah lama mengklaim Golan sebagai miliknya, kini ekspansi ke selatan dengan alasan “keamanan.” Sementara itu, Sharaa cuma bisa berkata, “Oke, asal jangan ganggu Damaskus.”

Turki bilang mau memasang sistem pertahanan di T4—anti-jet, anti-drone, anti-misil—katanya biar Israel kapok. Tapi Israel, yang sudah ratusan kali membombardir Suriah tanpa takut, mungkin cuma tertawa dari Tel Aviv: “Silakan pasang, kami punya bom baru minggu depan.” Sharaa, yang katanya didukung Turki penuh, malah sibuk berfoto dengan diplomat, seolah-olah kedaulatan bisa diganti dengan jabat tangan dan konferensi pers.

Sekarang, bayangkan rakyat Suriah bertanya, “Pak Sharaa, kenapa Turki dan Israel bisa bebas keluar masuk?” Jawabannya mungkin, “Tenang, ini cuma sementara, kami sedang membangun tentara baru.” Tentara baru? Yang dilatih Turki, dipersenjatai Turki, dan tunduk pada Ankara? Kalau ini definisi “mandiri,” maka Suriah mungkin juga sudah “merdeka” sejak era mandat Prancis dulu.

Di selatan, Israel sedang membangun pagar baru dari Golan hingga Yordania. The Times of Israel menyebutnya “proyek keamanan.” Hebat, membangun tembok di tanah orang lain dan menyebutnya sebagai langkah defensif. Lalu ada ledakan ranjau di Quneitra, katanya cuma “rutinitas.” Rutinitas bagi Israel, tapi mimpi buruk bagi rakyat Suriah yang hanya ingin hidup tenang. Dan Sharaa? Mungkin ia hanya berkata, “Biarlah, yang penting HTS kuat di utara.”

Pemerintah transisi ini memang menggelikan. Sharaa, yang dulu berteriak jihad, kini menjadi simbol pragmatisme yang memalukan: “Turki masuk? Oke. Israel bombardir? Sabar.” Stabilitas? Mana ada stabilitas jika bom masih berjatuhan dan drone Turki menguasai langit? Rekonstruksi? Uang dari mana, jika Turki dan Israel sibuk membagi wilayah? Identitas Islam? Rakyat mungkin akan bertanya, “Islam macam apa yang diam saja melihat Israel menduduki Golan?”

Bayangkan jadi warga Damaskus sekarang. Kedutaan AS mengeluarkan peringatan bahwa Idulfitri bisa menjadi ajang serangan teroris. PBB menutup kantor, Jerman waspada, sementara Sharaa hanya berkata, “Tenang, kami koordinasi dengan Turki.” Koordinasi apa? Jika tentara Suriah hanya jadi kepanjangan tangan SNA dan HTS, yang setengahnya eks-ekstremis, maka rakyat mungkin berpikir, “Dulu Assad zalim, tapi setidaknya langit bukan milik tetangga.”

Hitung saja: Turki menduduki utara sejak 2016, Israel mengambil Golan dan kini selatan, Rusia masih menguasai Latakia, dan Sharaa cuma punya Damaskus yang penuh peringatan keamanan. Kedaulatan Suriah kini hanya tinggal cerita dongeng bagi anak-anak: “Dulu, kami punya negara…” Sharaa mungkin berjanji, “Sabar, nanti kami kuat, Turki dan Israel akan pergi.” Tapi rakyat tidak bodoh—mereka tahu bahwa “nanti” itu hanya kode untuk “tidak akan pernah.”

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *