Connect with us

Opini

Suriah Diam, Turki-Israel Sibuk Ukir Peta Kekuasaan

Published

on

Di suatu sudut dunia yang penuh debu perang dan bau intrik, Turki dan Israel duduk santai di Azerbaijan, mengobrol soal Suriah—tanah yang compang-camping, kini jadi panggung drama geopolitik terbaru. Menurut laporan AP News, keduanya menggelar “pembicaraan teknis” untuk mencegah bentrokan di Suriah, merancang mekanisme de-eskalasi agar tentara mereka tak saling serempet. Lucunya, pemerintah Suriah yang baru—hasil kompromi kelompok oposisi pasca tumbangnya rezim Assad di penghujung tahun lalu—tak diundang ke meja perjamuan ini.

Pemandangan itu mirip dua tetangga berdebat soal siapa yang boleh parkir di halaman rumah orang lain, sementara si empunya rumah cuma bisa mengintip dari balik jendela, tak punya kuasa untuk bersuara. Turki, yang dengan bangga jadi “penyelamat” pemerintah baru Suriah—dipimpin oleh kelompok seperti Hayat Tahrir al-Sham (HTS), mantan pemberontak yang mereka dukung selama 13 tahun perang sipil—sepertinya merasa berhak bicara atas nama tuan rumah. Sementara Israel, yang gemar membom pangkalan udara Suriah, tak sudi melirik kepemimpinan Islamis yang kini pegang tampuk kekuasaan.

Pangkalan T4 di Palmyra adalah simbol sempurna dari nasib Suriah saat ini. Pangkalan yang dulu jadi pusat operasi militer kini berubah menjadi ajang tarik-menarik dua kepentingan regional. Turki ingin memperbaikinya, mungkin untuk memperluas pengaruh militernya atau sekadar pamer bahwa mereka kini penutur cerita di kawasan itu. Israel, yang sudah bertahun-tahun menjadikan pangkalan itu target jet tempur mereka, tak rela melihatnya bangkit—dulu karena Iran, kini karena Turki dan sekutunya. Jadi, sementara Turki bermimpi menjadikannya pos strategis, Israel memastikan itu tak lebih dari tumpukan puing.

Di tengah semua ini, pemerintah Suriah yang baru—yang muncul setelah Assad runtuh, dipimpin oleh figur transisi dari faksi pemberontak yang akhirnya menang—hanya bisa menonton. Mereka sudah punya presiden sementara, tapi apa artinya jabatan itu kalau tanah mereka diperundingkan oleh dua negara lain tanpa sepengetahuan mereka? Ankara dan Tel Aviv sibuk mengukir garis merah di peta Suriah, sementara Damaskus bahkan tak punya pulpen untuk ikut corat-coret. Ini bukan cuma soal pangkalan; ini soal harga diri yang tercerabut.

Turki, dengan Erdogan sebagai sutradara utama, tampaknya menganggap Suriah sebagai perpanjangan halaman belakangnya. Dukungan mereka pada pemerintah baru—yang kini dipimpin oleh kelompok Islamis yang dulu bertempur melawan Assad—bukan cuma bantuan, tapi investasi. Mereka ingin Suriah jadi panggung di mana Turki bisa unjuk gigi sebagai kekuatan regional, melawan ISIS sekaligus menjaga Israel tetap waspada. Tapi, dalam prosesnya, pemerintah Suriah jadi seperti boneka kayu yang digerakkan tali, tak punya suara meski duduk di kursi kekuasaan.

Israel, sementara itu, tak kalah sinis dalam permainan ini. Netanyahu, dengan nada cemas, bilang pangkalan Turki di Suriah adalah “bahaya” bagi negaranya. Mereka sudah membuat zona penyangga di wilayah Suriah, langkah yang jelas melanggar kedaulatan tetangga, tapi dibalut rapi dengan alasan keamanan. Jadi, sementara Turki sibuk membangun mimpi, Israel tak henti menghancurkan apa yang mereka anggap ancaman—dan Suriah, lagi-lagi, cuma jadi penonton di tanahnya sendiri.

Lucu sekaligus tragis, hubungan Turki-Israel yang dulu mesra kini membeku, diperparah oleh perang Gaza. Erdogan, yang lantang mengkritik Israel, membuat Netanyahu geram, tapi di Azerbaijan, mereka tetap duduk bersama—membahas Suriah, bukan Gaza. Sementara itu, Trump, yang dipanggil Netanyahu untuk dukungan, malah memuji Erdogan karena “mengambil alih Suriah” dan menawarkan diri jadi penutur damai. Suriah, dalam narasi ini, tak lebih dari properti yang diperebutkan, bukan negara dengan rakyat dan sejarah.

Pemerintah Suriah yang baru—yang seharusnya jadi harapan setelah perang panjang, kini dipimpin oleh mantan pemberontak yang didukung Turki—pasti merasakan getirnya situasi ini. Mereka lahir dari perjuangan berdarah, tapi kini diperlakukan seperti anak kecil yang tak boleh ikut rapat orang dewasa. Turki dan Israel, dengan segala kepentingan mereka, mengukir nasib Suriah tanpa memberi mereka mikrofon. Presiden transisi mungkin sudah dilantik dan duduk di kursi kekuasaan, tapi tanpa kuasa, jabatan itu hanyalah formalitas yang sunyi.

Bayang-bayang kedaulatan Suriah kini tipis seperti asap. Rakyat mereka, yang sudah lelah oleh perang, mungkin bertanya: untuk apa kami bertahan kalau tanah ini bukan milik kami lagi? Turki bicara soal de-eskalasi dengan Israel, tapi eskalasi yang sebenarnya adalah hilangnya suara Suriah dari percakapan tentang masa depan mereka. Pemerintah baru, yang seharusnya jadi penutup luka, malah jadi cermin betapa rapuhnya kekuasaan tanpa kendali.

Pernahkah ada ironi yang lebih menusuk dari ini? Negara yang baru bangkit dari puing perang sipil kini jadi karpet yang diinjak dua raksasa regional. Turki dan Israel, dengan segala ambisi mereka, mungkin berhasil mencegah bentrokan di antara mereka sendiri, tapi harga yang dibayar adalah martabat Suriah. Mekanisme de-eskalasi yang mereka rencanakan mungkin menyelamatkan tentara mereka, tapi tak ada yang menyelamatkan Suriah dari jadi penutup kaki dalam permainan ini.

Di balik meja perundingan di Azerbaijan, ada peta Suriah yang dipenuhi garis dan tanda silang—tapi tak ada wakil Suriah yang memegang spidol. Pangkalan T4, yang diperebutkan dengan penuh hasrat, mungkin hanya satu babak dalam drama ini. Turki ingin membangun, Israel ingin menghancurkan, dan Suriah? Mereka cuma diam, menanti kapan giliran mereka bicara—kalau memang ada giliran. Ini bukan cuma soal tanah; ini soal identitas yang terkoyak.

Pada akhirnya, pemerintah Suriah yang baru—yang muncul dari kemenangan pemberontak atas Assad, kini dipimpin oleh figur transisi yang seharusnya membawa harapan—mungkin bertanya pada diri sendiri: apa arti kemerdekaan kalau kami tak punya kuasa atas tanah kami? Turki dan Israel mungkin duduk sebagai pemenang dalam pembicaraan ini, tapi yang kalah adalah rakyat Suriah—yang, setelah semua pengorbanan, masih jadi penutup cerita orang lain. Satir ini bukan cuma lucu; ini cermin dari dunia di mana kedaulatan hanyalah kata kosong bagi yang lemah.

Dan begitulah, di tengah hiruk-pikuk ambisi regional, Suriah berdiri sebagai penonton bisu. Pemerintah mereka, yang lahir dari perjuangan melawan Assad dan kini dipimpin oleh kelompok yang pernah jadi musuh rezim, tak lebih dari dekorasi di panggung yang dikuasai Turki dan Israel. Pangkalan T4 mungkin jadi simbol perjuangan mereka, tapi juga lambang ketidakberdayaan. Dunia menonton, mungkin tertawa, tapi bagi Suriah, ini lelucon yang terlalu pahit untuk ditertawakan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *