Opini
Suriah Diam Dihantam Israel, Baru Marah Saat Turki Terancam

Langit Suriah kembali membara. Serangan udara menghantam lima lokasi strategis, meninggalkan puing-puing yang berserakan dan kobaran api yang melahap sisa-sisa infrastruktur militer. Di Bandara Militer Hama, pesawat-pesawat yang tersisa kini tak lebih dari rangka logam yang menghitam. Pangkalan T4 dekat Palmyra tak jauh berbeda, luluh lantak setelah rentetan rudal yang datang tanpa peringatan. Di balik asap dan debu, Kementerian Luar Negeri Suriah akhirnya bersuara lantang, mengecam Israel sebagai perusak stabilitas yang melanggar hukum internasional dan kedaulatan nasional.
Namun, ada sesuatu yang janggal dalam sikap Damaskus. Sejak kejatuhan Bashar al-Assad pada Desember 2024, Israel telah melancarkan ratusan serangan, menghancurkan infrastruktur militer dan menduduki wilayah selatan Suriah. Selama berbulan-bulan, Damaskus memilih bungkam. Baru ketika T4—pangkalan yang menjadi bagian dari ambisi militer Turki—diserang, mereka menunjukkan kemarahan. Apakah ini benar-benar tentang kedaulatan Suriah, atau sekadar pembelaan atas kepentingan Ankara?
Laporan dari berbagai sumber, seperti Al Mayadeen dan Syria TV, merinci serangan ini: lebih dari selusin serangan udara menghantam pusat penelitian Barzeh di luar Damaskus, Bandara Hama, dan T4, menewaskan 11 orang dan meluluhlantakkan aset militer. Media Israel, termasuk Channel 12 dan Army Radio, menyebut serangan ini sebagai “peringatan” langsung kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Menurut Middle East Eye, Turki berencana menguasai T4, melengkapinya dengan sistem pertahanan udara Hisar, drone bersenjata, dan fasilitas canggih untuk memperluas pengaruhnya di Suriah tengah. Sebelumnya, serangan Israel—seperti di hutan al-Jubailiyah Daraa yang membunuh 10 orang—tak memicu reaksi keras. Tapi saat T4 terancam, Suriah tiba-tiba vokal. Pola ini mencurigakan dan mengundang pertanyaan.
Konteks historis memperjelas dinamika ini. Pemerintah Suriah saat ini naik melalui kudeta Desember 2024 yang didukung Turki dan negara-negara Teluk. Mantan komandan Al-Qaeda, Abu Mohammad al-Julani atau Ahmad al-Sharaa dari Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kini berkuasa, dan Turki memainkan peran sentral dalam transisi ini. Laporan Turkiye Daily pada Maret 2025 menyebut Ankara akan mendirikan dua pangkalan militer baru di Suriah, melatih angkatan bersenjata, dan menyediakan 50 jet F-16 untuk membangun angkatan udara Suriah. Investasi ini menunjukkan ambisi Turki menjadikan Suriah sebagai satelit strategis. Ketika Israel menyerang T4, kecaman Suriah seolah menjadi cerminan kepentingan Ankara, bukan respons organik terhadap agresi yang sudah berlangsung lama.
Inkonsistensi sikap Suriah terlihat jelas jika kita menelusuri kronologi pasca-Assad. Sejak Desember 2024, Israel telah menggempur Suriah tanpa henti. Laporan menyebutkan serangan di al-Kiswah dekat Damaskus menargetkan Brigade 75, sementara artileri di Tal al-Ahmar, Quneitra, dan Tasil Forest di Daraa menyebabkan korban sipil—10 tewas dan 10 luka di Nawa saja. Namun, Damaskus tetap pasif. Sebaliknya, mereka tegas di front lain: respons bersenjata di perbatasan Lebanon—mungkin melawan Hizbullah atau kelompok bersenjata—dan represi brutal terhadap minoritas Alawi yang dianggap ancaman internal. Ketegasan ini kontras dengan sikap lunak terhadap Israel, kecuali saat T4, aset kunci Turki, menjadi sasaran.
Pernyataan pejabat Israel mempertegas ketegangan ini. Menteri Pertahanan Israel Katz memperingatkan “Julani” agar tidak mengizinkan kekuatan bermusuhan masuk Suriah, mengancam “harga mahal.” Israel, yang telah menduduki Dataran Tinggi Golan dan memperluas zona keamanan di selatan, melihat Turki sebagai ancaman potensial. The War Zone mengutip pejabat Israel yang khawatir atas rencana Turki di Palmyra, sementara Kementerian Luar Negeri Turki pada hari yang sama menyebut Israel sebagai “ancaman terbesar” bagi kawasan. Kecaman Suriah muncul bersamaan, menunjukkan bahwa pemicu utamanya bukan pendudukan berkepanjangan atau korban sipil, melainkan serangan yang mengganggu agenda Turki di T4.
Israel melancarkan lebih dari 15 serangan di Hama, menghancurkan depot senjata, pesawat militer, dan kendaraan di sekitar bandara, menurut Al Mayadeen. Serangan di T4, yang disebut Israeli Channel 12 sebagai salah satu target utama, terjadi dua kali dalam beberapa pekan, dengan klaim menghancurkan “kapabilitas strategis.” Sementara itu, Suriah hanya bereaksi keras setelah T4 dihantam—tepat ketika Turki mulai bergerak untuk menguasainya. Jerusalem Post melaporkan Israel berkata kepada Turki, “Kami tidak akan membiarkan kalian berkuasa di Suriah.” Sinkronisasi ini terlalu jelas untuk diabaikan.
Ketegasan Suriah di front lain menambah bobot pada inkonsistensi ini. Di perbatasan Lebanon, mereka menggunakan senjata untuk menekan pengaruh Iran via Hizbullah—sesuai dengan kepentingan Turki yang anti-Iran. Terhadap rakyatnya sendiri, khususnya Alawi yang historis terkait Assad, represi mereka brutal, mencerminkan prioritas menjaga kekuasaan internal. Tapi terhadap Israel, yang telah menghancurkan militernya dan menduduki tanahnya, mereka diam selama berbulan-bulan. Laporan menyebut Brigade 474 Israel beroperasi di Tasil, membunuh militan tanpa korban di pihak mereka—bukti dominasi Tel Aviv yang tak ditentang. Baru saat T4 diserang, Suriah bersuara—dan itu pun hanya kata-kata, bukan aksi.
Turki adalah kunci dari ketergantungan ini. Sebagai arsitek kudeta, Ankara mengikat Suriah melalui dukungan militer dan politik. Rencana mereka untuk T4—dengan sistem pertahanan kompleks dan drone—dan pelatihan angkatan bersenjata Suriah menempatkan Damaskus dalam posisi subordinasi. Ketika Israel menyerang T4, kecaman Suriah bisa jadi sinyal dari Turki untuk menunjukkan solidaritas tanpa Ankara harus langsung berhadapan dengan Tel Aviv. Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar menuduh Turki ingin menjadikan Suriah “protektorat,” dan meski hubungan energi Turki-Israel via Ceyhan tetap terjaga, respons Suriah tampak terpaku pada agenda Turki, bukan penderitaan rakyatnya.
Narasi ini adalah tentang rezim yang terjebak dalam bayang-bayang sekutu. Suriah, yang tanahnya diduduki, militernya hancur, dan rakyatnya menderita, seharusnya punya alasan kuat melawan Israel. Tapi data menunjukkan mereka lebih siap menghukum Alawi, mengamankan perbatasan Lebanon, atau bersuara untuk Turki ketimbang menghadapi Tel Aviv. Serangan Israel di Tasil, yang dilaporkan tanpa korban di pihak mereka, menegaskan kelemahan Suriah. Jika Suriah terus pasif terhadap agresi Israel dan hanya bereaksi ketika kepentingan Turki tersentuh, kedaulatan mereka hanyalah ilusi di bawah dominasi Ankara.