Opini
Suriah di Pusaran Intrik: AS Mengancam, Eropa Merayu

Departemen Intelijen Nasional AS akhirnya mengakui bahwa pemerintah Suriah, yang kini dikendalikan oleh Ahmad al-Sharaa, terlibat dalam pembantaian minoritas di pesisir Suriah. Laporan itu, yang tampaknya ditulis dengan tinta kemunafikan, menyoroti bagaimana rezim baru melakukan eksekusi massal terhadap ratusan warga sipil Alawite dan Kristen. Namun, yang lebih menarik dari laporan ini bukan isinya, melainkan siapa yang mengatakannya. AS—negara yang selama ini dikenal sebagai arsitek kehancuran Suriah—tiba-tiba memposisikan diri sebagai hakim moral. Sungguh menggelikan, jika tidak ingin disebut memuakkan.
Sementara AS melancarkan serangan verbal dan ancaman sanksi terhadap al-Sharaa, di sisi lain Jerman dengan santainya membuka kembali kedutaan besarnya di Damaskus, diikuti oleh Prancis yang sibuk merancang skema bantuan bagi pemerintahan baru. Jika seseorang masih percaya bahwa Barat adalah satu entitas yang utuh, mungkin sudah saatnya mereka bangun dari mimpi. AS dan Eropa kini terlibat dalam pertarungan pengaruh di Suriah, dan al-Sharaa, si mantan jihadis yang kini berlagak sebagai pemimpin transisi, berada tepat di tengah pertempuran itu.
Washington dan sekutunya di Eropa selalu menyebut diri mereka sebagai pejuang kebebasan, pelindung hak asasi manusia, dan penjaga stabilitas global. Namun, setiap langkah mereka di Suriah membuktikan bahwa mereka tidak peduli pada nilai-nilai yang mereka khotbahkan. Jika mereka benar-benar peduli pada kejahatan perang, mereka tidak akan mendukung kelompok bersenjata yang sebelumnya terafiliasi dengan Al-Qaeda dan ISIS. Mereka tidak akan menutup mata ketika oposisi bersenjata menyembelih minoritas atau ketika ‘pemberontak moderat’ membakar desa-desa yang dihuni oleh komunitas Syiah dan Kristen. Tetapi mereka melakukannya. Mereka menyuplai senjata, dana, dan propaganda untuk memastikan bahwa Suriah tetap terjebak dalam kekacauan.
Ketika al-Sharaa akhirnya naik ke tampuk kekuasaan setelah jatuhnya Bashar al-Assad, AS menghadapi dilema klasik: apakah harus merangkulnya sebagai boneka baru atau menggunakannya sebagai musuh yang bisa dieksploitasi? Awalnya, AS memilih jalur pragmatis—menawarkan ‘kesempatan’ bagi rezim baru untuk bergabung dalam orbitnya. Namun, tampaknya al-Sharaa tidak cukup patuh atau cukup bodoh untuk menyerahkan kendali penuh kepada Washington. Maka, seperti yang sering terjadi dalam sejarah, AS mengubah taktiknya. Mereka menuduhnya melakukan pembantaian, menekannya dengan ancaman sanksi, dan mulai mencari cara untuk menyingkirkannya jika perlu.
Eropa, di sisi lain, melihat situasi ini sebagai peluang. Tidak seperti AS, yang menikmati kekacauan di Timur Tengah karena memastikan dominasi militernya, Eropa lebih suka stabilitas—setidaknya cukup stabil untuk menghindari gelombang pengungsi baru. Jerman dan Prancis, dengan pendekatan khas mereka, memilih jalan diplomasi. Mereka membuka kanal komunikasi dengan al-Sharaa, menawarkan bantuan ekonomi, dan membangun kembali hubungan diplomatik. Mereka ingin memastikan bahwa pemerintahan baru Suriah tidak jatuh sepenuhnya ke dalam genggaman AS, Rusia, atau bahkan Turki. Ini adalah strategi klasik: jika tidak bisa mengontrol sepenuhnya, setidaknya dapat mempengaruhi.
Dari perspektif al-Sharaa, pertarungan antara AS dan Eropa adalah berkah sekaligus kutukan. Di satu sisi, ia bisa memainkan kedua belah pihak untuk mendapatkan konsesi terbaik. Ia bisa menerima bantuan ekonomi dari Eropa sambil tetap bernegosiasi dengan AS untuk menghindari tekanan yang lebih besar. Namun, di sisi lain, ia juga harus waspada terhadap ancaman terselubung. Jika terlalu dekat dengan Eropa, Washington bisa saja mulai mendukung oposisi baru untuk menggulingkannya. Jika terlalu tunduk pada AS, ia akan kehilangan kredibilitas di mata rakyatnya sendiri dan mungkin ditendang keluar begitu tidak lagi berguna.
AS, tentu saja, tidak akan tinggal diam melihat Eropa membangun kembali pengaruhnya di Suriah. Tuduhan keterlibatan al-Sharaa dalam pembantaian minoritas bukan hanya soal keadilan atau HAM; ini adalah alat tawar-menawar. Washington ingin memastikan bahwa jika Eropa ingin berbisnis dengan rezim baru, mereka harus melakukannya dengan restu AS atau setidaknya dengan kompromi tertentu. Tuduhan ini adalah kartu negosiasi, bukan panggilan moral. Sebab, jika memang AS peduli pada HAM, mereka tidak akan menghapus hadiah $10 juta atas kepala al-Sharaa segera setelah ia menjadi pemimpin Suriah.
Di balik semua ini, ada pertanyaan yang lebih besar: bagaimana nasib Suriah di tengah permainan ini? Jika sejarah mengajarkan sesuatu, maka jawabannya tidak menyenangkan. Sejak perang dimulai, Suriah tidak pernah benar-benar memiliki kendali atas nasibnya sendiri. Setiap keputusan besar ditentukan oleh aktor asing—AS, Rusia, Iran, Turki, dan sekarang Eropa. Setiap pemimpin, termasuk al-Sharaa, harus menavigasi jalur yang dipenuhi jebakan diplomatik dan tekanan geopolitik. Jika ia berhasil bertahan, itu bukan karena ia seorang pemimpin besar, tetapi karena ia cukup licik untuk memainkan semua pihak sekaligus.
Namun, dalam jangka panjang, permainan ini bisa berakhir buruk bagi semua pihak. Jika AS terus menekan al-Sharaa dan menghasut ketidakstabilan baru, Eropa mungkin akan semakin frustasi dan mulai mencari alternatif yang lebih agresif. Jika Eropa terlalu banyak berinvestasi dalam stabilitas Suriah tanpa jaminan keamanan, mereka bisa saja mengulangi kesalahan di Libya—di mana mereka mendukung perubahan rezim hanya untuk melihat negara itu hancur lebih dalam. Dan jika al-Sharaa tidak bisa menemukan keseimbangan yang tepat, ia bisa bernasib sama seperti Assad: dikepung dari segala arah, dituduh melakukan semua kejahatan yang bisa dibayangkan, dan akhirnya ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Pada akhirnya, Suriah tetap menjadi papan catur di mana para pemain besar beradu strategi. AS ingin mempertahankan pengaruhnya dengan ancaman dan tekanan. Eropa ingin membangun kembali hubungan melalui diplomasi dan bantuan ekonomi. Sementara itu, al-Sharaa, mantan jihadis yang kini menjadi presiden, harus memainkan permainan ini dengan hati-hati jika ingin bertahan. Di dunia politik global, tidak ada yang benar-benar peduli pada Suriah atau rakyatnya. Yang ada hanya kepentingan, permainan kekuasaan, dan hipokrisi yang terus berulang tanpa henti.