Connect with us

Opini

Suriah di Persimpangan: Otoritarianisme atau Runtuh?

Published

on

Mantan kepala MI6, John Sawers mengingatkan dunia bahwa Suriah sedang menuju kehancuran di bawah Ahmad al-Sharaa, seorang pemimpin yang lebih sibuk mengamankan kursi kekuasaannya daripada menyatukan rakyatnya. Ironisnya, ia menjanjikan pemerintahan inklusif, tetapi realitas di lapangan menunjukkan bahwa Suriah hanyalah puzzle berdarah dari ambisi pribadi dan kepentingan sektarian.

Setelah menobatkan dirinya sendiri sebagai penguasa, al-Sharaa menempuh jalur klasik diktator-diktator dunia: membersihkan oposisi, membubarkan tentara lama, dan mengangkat tangan kanan dari kelompoknya sendiri ke posisi strategis. Ia bukan hanya mengulang kesalahan Amerika di Irak, tetapi mempercepat kehancuran Suriah dengan menanam benih perang saudara yang lebih parah.

Konsep negara gagal bukan lagi sekadar wacana akademik bagi Suriah; ini adalah kenyataan yang makin brutal setiap harinya. Ketika pemerintahan kehilangan legitimasi, ketika penguasa lebih sibuk memperkuat genggamannya daripada mengurus rakyatnya, negara itu bukan lagi negara. Suriah sekarang hanyalah sekumpulan wilayah yang dikuasai faksi-faksi bersenjata.

Keamanan rakyat? Itu hanya mimpi buruk yang terus berulang. Warga sipil kini terjebak di antara pasukan al-Sharaa dan milisi yang menolak tunduk. Mereka menjadi pion dalam perang eksistensial antara kelompok-kelompok yang merasa berhak atas Suriah. Ketakutan adalah mata uang baru yang beredar lebih cepat dari makanan dan air bersih.

Jika al-Sharaa memang ingin membangun pemerintahan inklusif, mengapa ia mengangkat para kader Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) ke posisi militer dan politik utama? Bagaimana mungkin ia berharap membangun kepercayaan ketika jejak ideologi yang diusungnya sendiri masih berakar pada ekstremisme yang bahkan ditolak oleh mayoritas Sunni? Ia bukan pemersatu; ia hanya wajah baru dari rezim lama.

Konflik sektarian di Suriah sudah seperti api di ladang kering, dan al-Sharaa justru menyiramnya dengan bensin. Ia mungkin berpikir bahwa mengabaikan kepentingan minoritas seperti Alawit, Kurdi, dan Kristen adalah strategi yang bisa bertahan. Tapi sejarah Timur Tengah membuktikan bahwa eksklusi hanya melahirkan perlawanan yang lebih brutal. Ia sedang menggali kuburannya sendiri.

Persoalannya bukan sekadar bagaimana al-Sharaa memerintah, tetapi bagaimana ia mempertahankan ilusi bahwa ia memegang kendali. Nyatanya, wilayah-wilayah di Suriah tidak tunduk pada satu otoritas pusat. Ia bisa menyebut dirinya presiden, tapi di luar kantornya, ada lebih banyak pria bersenjata yang tidak mengakuinya dibanding yang mendukungnya.

Lalu ada intervensi asing, bumbu wajib dalam setiap kisah kehancuran negara Timur Tengah. Rusia, Turki, Iran, dan Amerika Serikat masing-masing memiliki kepentingan yang bertabrakan di Suriah. Al-Sharaa bukan hanya harus menghadapi oposisi domestik, tetapi juga permainan catur geopolitik yang bisa menggilasnya dalam sekejap jika ia salah langkah.

Kesepakatan dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) mungkin terlihat seperti kemenangan diplomasi, tetapi ini hanya satu langkah kecil di atas lapisan es yang rapuh. Milisi tidak akan pernah menyerahkan senjata mereka kecuali ada jaminan konkret bahwa komunitas mereka tidak akan dipinggirkan atau dibantai. Al-Sharaa hanya menunda ledakan yang tak terhindarkan.

Lalu ada masalah ekonomi yang membusuk di bawah permukaan. Sanksi Barat masih mencengkeram Suriah, dan selama pemerintahan tetap represif serta tidak inklusif, tidak ada insentif bagi dunia untuk membantu. Suriah bukan hanya berisiko runtuh secara politik, tetapi juga akan tersedak dalam krisis ekonomi yang akan membuat rakyatnya semakin putus asa.

Di dunia di mana otokrasi sering kali berdalih demi stabilitas, al-Sharaa harus memahami bahwa stabilitas yang dipaksakan adalah bom waktu. Ketika rakyat dipaksa tunduk melalui ketakutan dan represi, mereka akan mencari jalan keluar. Dan sejarah Suriah sendiri menunjukkan bahwa mereka lebih memilih memberontak daripada hidup dalam bayang-bayang seorang diktator.

Jadi pertanyaannya bukan apakah Suriah bisa keluar dari krisis ini di bawah kepemimpinan al-Sharaa, tetapi kapan ia akan menjadi korban dari kekacauan yang ia ciptakan sendiri. Ia bisa terus berpegang pada kekuasaannya, tetapi takdir semua pemimpin otoriter di dunia menunjukkan bahwa cepat atau lambat, ia akan tersapu oleh gelombang perlawanan.

Sementara itu, rakyat Suriah tetap menjadi pihak yang paling menderita. Mereka bukan hanya korban dari tirani domestik, tetapi juga dari kepentingan internasional yang menjadikan negara mereka sebagai arena perang proxy. Di meja negosiasi, mereka hanyalah angka-angka, tetapi di medan perang, mereka adalah nyawa yang terus berjatuhan.

Jika al-Sharaa memiliki sedikit kebijaksanaan, ia akan melihat bahwa satu-satunya jalan keluar adalah membuka ruang politik bagi semua kelompok. Tapi jika sejarah bisa menjadi petunjuk, ia akan tetap berpegang pada ilusi kekuasaannya hingga ia disingkirkan oleh mereka yang lebih kejam dan lebih lapar akan kekuasaan daripada dirinya.

Suriah bukan hanya berada di ambang fragmentasi; ia sudah terpecah. Al-Sharaa mungkin membayangkan dirinya sebagai pemimpin yang akan menyatukan kembali negara itu, tetapi pada kenyataannya, ia hanya mempercepat kehancurannya. Dan jika ia berpikir bahwa ia bisa selamat dari badai ini, ia sebaiknya mulai membaca sejarah para diktator yang datang sebelum dirinya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *