Opini
Suriah di Ambang Kekacauan: Janji Baru, Nyawa Terenggut Lagi

Di sebuah negeri yang pernah menggenggam harapan akan damai, Suriah kini justru terperosok dalam pusaran kekerasan yang tak kunjung reda. Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh hari, dua puluh tujuh nyawa—dari berbagai latar belakang sektarian yang seharusnya menjadi warna-warni harmoni—direnggut tanpa ampun. Bayangkan, dalam keheningan yang mestinya diwarnai ketentraman pasca-rezim lama, justru berdentang suara tembakan, jeritan duka, dan bisik balas dendam. Seolah-olah hukum dan keadilan telah menjadi kata-kata usang yang tak berarti di tanah ini.
Suriah yang seharusnya menjadi taman yang menghijaukan harapan, kini berubah jadi hutan belantara liar, di mana siapa yang kuat mendikte aturan, dan yang lemah terkapar tanpa perlindungan. Negara yang dahulu dijuluki “permata Timur Tengah” kini hanyalah sekadar nama yang tersisa di halaman sejarah. Bagaimana bisa sebuah bangsa tenggelam dalam kegelapan, padahal dunia telah menyaksikan tragedi panjangnya?
Yang paling menyakitkan adalah ketidakhadiran aparat keamanan yang seharusnya menjadi penjaga perdamaian. Ke mana mereka? Apakah mereka terjebak dalam labirin politik yang rumit atau sudah menyerah pada kekuatan gelap yang merajalela? Yang pasti, rakyat Suriah tak bisa lagi berharap pada perlindungan resmi. Hukum yang konon menjadi payung keadilan, kini hanya menjadi ilusi yang membiarkan para pelaku pembunuhan dan penyiksaan beraksi sesuka hati tanpa takut akan hukuman.
Mereka yang jatuh bukan hanya orang-orang yang pernah berafiliasi dengan rezim lama, melainkan warga sipil yang tak berdosa dari beragam etnis dan agama. Di mata para pembunuh, tidak ada perbedaan antara yang bersalah dan yang tak berdosa, yang terlibat politik dan yang hanya ingin hidup damai. Semua menjadi sasaran, seperti ikan-ikan kecil yang terjebak dalam jaring berduri kekerasan.
Tidak heran jika kebencian dan dendam membara di antara kelompok-kelompok yang selama ini hidup berdampingan dalam ketegangan. Setiap nyawa yang hilang menjadi bara api yang semakin mengobarkan perpecahan, mengubur impian persatuan dan rekonsiliasi yang pernah terpatri dalam ingatan kolektif bangsa. Betapa ironisnya, dalam keadaan yang katanya “transisi menuju pemerintahan baru,” rakyat justru semakin terpuruk dalam perang saudara yang tak ada habisnya.
Lalu ada peran yang sangat disayangkan dari pemerintah transisi baru di bawah pimpinan Ahmad al-Sharaa. Sudah hampir setahun sejak rezim Assad runtuh, dan gilirannya penguasa baru diharapkan membawa perubahan. Namun, apa yang terjadi? Keadaan masih stagnan, atau malah memburuk. Suriah bukanlah lukisan yang bisa diganti warna dengan sekali goresan kuas. Tapi bila tak ada langkah konkret dan tegas, negeri ini akan terus tenggelam dalam lumpur kekacauan yang sama.
Masyarakat menjadi saksi bisu dari kegagalan ini. Mereka yang dulu berharap perubahan, kini hanya bisa menatap dengan getir bagaimana ketidakadilan, kekerasan, dan ketakutan menjadi penguasa baru di jalan-jalan Suriah. Orang kuat berkuasa, orang lemah kehilangan segalanya, bahkan nyawa. Sebuah rezim baru yang katanya lahir dari asa dan perubahan, ternyata belum mampu menciptakan perlindungan paling dasar: keamanan.
Jika dunia masih percaya bahwa sebuah pemerintahan transisi bisa menyembuhkan luka Suriah, kenyataannya menunjukkan sebaliknya. Perang sunyi ini bukan hanya melibatkan senjata dan pasukan, tapi juga reputasi dan harapan sebuah bangsa. Tapi apakah ada yang mau mendengar? Seruan untuk membawa pelaku kekerasan ke pengadilan seolah hilang dalam angin yang berlalu.
Lebih ironis lagi, ketika seluruh perhatian terfokus pada kekerasan internal, pengkhianatan terbesar datang dari luar negeri. “Israel” dengan sombong terus melanggar kedaulatan Suriah, membangun pos militer di tanah yang bukan miliknya. Penduduk lokal yang sudah lelah bertarung dengan ketakutan, kini harus menghadapi ancaman baru dari penjajah yang tak kenal lelah. Keamanan yang diperebutkan Suriah di dalam negeri, kini juga terusik oleh kekuatan asing yang menginjak-injak tanah air mereka.
Bagaimana mungkin sebuah negara bisa membangun masa depan jika tanahnya terus diinjak oleh pihak luar, dan rakyatnya dihantui oleh bayang-bayang kematian dari dalam? Sebuah pertanyaan yang harus membuat siapa pun yang peduli terjaga, dan mungkin menggelengkan kepala dengan pilu.
Sungguh, kenyataan Suriah saat ini seolah menjadi sinetron tragis yang tanpa henti. Para aktor utama bukan hanya para politikus dan militer, tapi juga rakyat kecil yang setiap hari berjuang melawan ketakutan, kehilangan, dan ketidakpastian. Mereka yang terperangkap dalam situasi di mana hukum tak berlaku, keadilan tak didengar, dan perdamaian hanyalah mimpi yang semakin menjauh.
Kita bisa bertanya, apa arti sebuah transisi politik bila rakyatnya masih hidup dalam ketakutan, dan nyawa bisa hilang begitu saja? Apa arti sebuah pemerintahan baru jika hanya menjadi pengamat pasif dari kehancuran yang berlangsung? Ironi ini cukup menusuk: di atas kertas, pemerintahan baru ada, tapi di lapangan, yang berkuasa adalah kekuatan tanpa hukum dan rasa kemanusiaan.
Maka, Suriah hari ini adalah pengingat keras bahwa sebuah bangsa tidak cukup hanya mengganti nama atau wajah pemimpinnya. Dibutuhkan keberanian, strategi, dan komitmen nyata untuk mengubah realitas brutal menjadi harapan yang hidup. Tanpa itu, Suriah akan terus menjadi labirin kekerasan tanpa ujung, di mana korban terus bertambah dan perdamaian hanyalah bayangan yang sulit diraih.
Dan buat para pemimpin baru, pesan ini jelas: jangan biarkan sejarah mencatat bahwa kalian hanyalah pengganti sementara dalam panggung yang sama, tanpa perubahan berarti. Jangan biarkan Suriah tetap menjadi hutan rimba, di mana hukum dan keadilan hanyalah mimpi yang tak pernah terwujud. Rakyat sudah terlalu lama menunggu — dan mereka pantas mendapatkan lebih dari sekadar janji kosong.
Jadi, mari kita pikirkan bersama: apakah kita akan terus diam melihat tragedi ini berjalan tanpa arah? Atau saatnya mengambil langkah nyata untuk mengakhiri siklus kekerasan dan membangun masa depan yang layak bagi Suriah dan rakyatnya? Terserah kita, karena pada akhirnya, sejarah akan mengingat siapa yang bertindak dan siapa yang hanya jadi penonton.
Pingback: Suriah di Ujung Pedang Tahta Baru - vichara.id